SELAMAT DATANG DI "TEOLOGI KAUMAWAM"

Salam dalam Kasih Tuhan Yesus Kristus. Terimakasih telah mampir di blog yg sederhana ini. Kami sangat berterimakasih bila saudara berkenan memberi tanggapan atas tulisan yang saudara baca di blog ini. Karena dengan tanggapan itu kami akan dapat belajar dan berbagi, sebab untuk itulah blog ini dibuat agar hidup kita tetap terpelihara dalam persekutuan. Semua tulisan dalam blog ini dapat dikutip dengan tetap mencantumkan sumbernya. Kiranya Tuhan Yesus memberkati kita. Pax Vobiscum, Erianto Hasibuan

Minggu, 21 Juli 2013

Masih adakah waktu buat Tuhan ?


Oleh : P. Erianto Hasibuan, M. Div

            Pagi tadi saat mengikuti kebaktian di gereja, hati ini terusik saat menyaksikan seorang bapak paruh baya yang duduk di sebelah. Entah karena sibuknya si bapak, ia ke gereja dengan bekal dua gadget dan satu tablet. Sejak awal kebaktian ia sudah disibukkan dengan kedua gadgetnya dan satu tablet saat mulai kotbah. Entah sepenting apa aktivitasnya hingga ia sibuk mengirimkan pesan secara bergantian dari gadget yang satu ke yang lain.

            Mungkin pemandangan seperti ini banyak ditemukan di tempat lain. Tetapi peristiwa itu menjadi inspirasi penulis untuk menulisan karena kebetulan kotabah di mimbar tadi berkaitan dengan peristiwa Marta dan Maria. (Luk. 10 : 38-42)
           
            Ada benarnya apa yang banyak dibicarakan orang menyangkut kehadiran smart phone akhir-akhir ini, apakah itu HP, BB, iPhone, iPad, Tablet dan apapun jenis dan namanya yaitu “menjauhkan yang dekat dan mendekatkan yang jauh”.  Sudah lazim melihat sebuah keluarga duduk di rumah makan sambil menunggu pesanan, tetapi tidak satu pun dari mereka yang berkomunikasi satu sama lain, tetapi masing-masing tertunduk menatap gadgetnya dengan serius sambil tersenyum sendiri. Padahal semula tujuan mereka makan ke luar bukan semata karena tidak ada  makanan di rumah, tetapi untuk “wisata kuliner” dan menjalin keakraban, karena sepanjang hari bahkan minggu masing-masing telah disibukkan oleh urusan masing-masing.  Sayangnya, makna kebersamaannya hilang karena di renggut oleh kehadiran gadget yang lebih memesona dibandingkan dengan keakraban “live” tiap individu.

            Tak ayal lagi dengan si bapak di sebelah  penulis, dia memang ke gereja untuk memuji dan memuliakan Nama Tuhan. Secara fisik yah, tetapi apakah dia memberi waktu dan hatinya pada hadirat Tuhan yang tidak lebih dari dua jam ?  Itulah yang dilakukan Marta, saat Yesus mampir ke rumahnya, ia sibuk dgn urusan yang dia anggap penting bagi Tuhan, tanpa pernah bertanya “apakah yang Tuhan ingin aku lakukan buat Tuhan?”  

            Saat ia merasa tidak diperhatikan oleh Tuhan Yesus, sementara kelelahan melingkupi dirinya, ia mulai protes kepada Tuhan.  Protes tanda kecemburuan mulai hadir saat ia mempersalahkan saudaranya Maria yang hanya duduk manis di dekat Yesus. Mari kita lihat lebih jauh produk karakter Marta. Orang banyak akan melihat Marta adalah orang yang dekat dengan Yesus dan mengenal Yesus dengan baik, karena Tuhan kerap mampir di rumahnya. Tetapi sesungguhnya Marta tidak mengenal Yesus dengan baik, perhatikan saat saudaranya Lazarus meninggal dunia dan Yesus datang, keraguan Marta mempertegas “aku tahu bahwa ia akan bangkit pada waktu orang-orang bangkit pada akhir zaman” (Yoh. 11:24b).

            Marta ternyata tidak mengenal Yesus dengan baik, walaupun ia kerap ada di mana Yesus ada. Ia hadir tetapi tidak memberi hatinya, ia ada tetapi seolah tiada. Berapa banyak kita memberi waktu “untuk Tuhan” menurut pemikiran kita, bukan menurut Tuhan. Kita mungkin menghabiskan waktu berjam-jam untuk melayani dan bekerja untuk aktivitas gerejawi atau rohani, tetapi kita melupakan memberikan hati dan telinga kita buat mendengar apa yang Tuhan mau kita lakukan.

            Saat kita lelah dan harapan-harapan kita tidak tergapai, kita mulai memprotes Tuhan seperti Marta mempersalahkan saudaranya Maria yang duduk saja. Kita mulai memperbandingkan diri kita dengan orang lain yang “kelihatannya” tidak seaktif kita di gereja atau aktivitas lainnya. Pada hal sesungguhnya Tuhan justru menertawakan kita, sebagai mana Yesus menjawab Marta : “Marta, Marta, Engkau kuatir dan menyusahkan diri dengan banyak perkara,  tetapi hanya satu yang perlu : Maria telah memilih bagian yang terbaik, yang tidak akan diambil daripadanya.” (Luk. 10: 41b-42)
           
            Masih adakah waktu untuk Tuhan? Bukan dimaksudkan untuk menghitung kuantitas semata, tetapi kualitas. Saat kita menyatakan bahwa waktu ini untuk Tuhan di Gereja, Kebaktian Rumah Tangga, PA dan apapun itu, biarlah itu seratus persen untuk Tuhan.  Jika Gadget membuat hatimu terpaut tinggalkanlah itu, tidak sekedar silent. Jika kebaktian Rumah tangga atau PA dimulai, lupakanalah seluruh aktivitas yang lain, ikutilah dengan baik, jika memang belum siap lebih baik kita tunda. Anak kecil sekalipun harus dididik untuk memberi waktu untuk Tuhan secara utuh. Bukan hanya kehadiran semata tanpa makna dan pemahaman.

Semoga tidak perlu lagi ada tulisan di gereja sebelum ibadah untuk menonaktifkan HP atau sejenisnya, karena seluruh jemaat telah “mengharamkannya” untuk ikut ibadah bersamanya.  erh-bth, 21072013.

Minggu, 19 Mei 2013

Masih adakah kasih tanpa syarat ?

-->
Oleh : P. Erianto Hasibuan
Saat isteri ku menanyakan bahwa ia mengasihi aku sejak awal tanpa syarat, rasanya seperti utopia, walau ia bukan tipe yang idealis. Kalimat “kasih tanpa syarat” menjadi kalimat yang langka saat ini, karena yang lebih populer adalah kata saling, dalam arti, saling memberi dan menerima (take and give).
Tidak hanya di dunia sekular, bahkan masuk melampaui pintu gereja dan memberi corak dalam kehidupan berjemaat. Saling mengasihi dimaknai dengan senantiasa membalas kebaikan dengan kebaikan, menjadi kelaziman bahkan mengarah kepada kewajiban. Itulah etika dan pengajaran yang diterima secara universal.
Seolah tidak ada yang salah, tetapi pada kenyataanya yang terjadi adalah semakin meningkatnya keegoisan setiap individu, karena pada dasarnya kebaikan yang dilakukan berpusat pada kepentingan diri sendiri.  Saat kebaikan yang ditebar tidak menghasilkan seperti yang diharapkan, maka hadirlah sejumlah kekecewaan, bahkan cercaan.
Kasih tidak ubahnya bagaikan iklan yang senantiasa menyertakan syarat ketentuan berlaku. Bahkan sejak dalam PL (Perjanjian Lama) hingga masa Yesus, kasih bersyarat tumbuh subur. Lihat saja bagaimana ketatnya peraturan (tradisi) kaum Yahudi yang melarang keras mereka bergaul dengan kaum Samaria, demikian halnya dengan bangsa nonyahudi lainnya. Penulis kitab Kisah Para Rasul bahkan dengan gamblang menceriterakan, bagaimana perselisihan pengikut Kristus dari golongan bersunat (sebutan untuk kaum Yahudi) dan tak bersunat (sebutan untuk kaum bukan Yahudi) atas peristiwa pertemuan Petrus dengan Kornelius (Kis. 11 : 1-18).
Rasul Petrus sendiri yang pernah hidup bersama Yesus, mengalami pergumulan mendalam untuk memahami bahwa Kasih itu tanpa batasan, konon lagi para pengikutnya. Bersyukurlah kita yang hidup di era ini, yang memiliki Alkitab yang menyaksikan bagaimana Rasul Petrus diubahkan sudut pandangnya dalam melihat tradisi nenek moyangnya dalam relasinya dengan bangsa lain. Kasih yang dipahami Rasul Petrus berikutnya adalah kasih yang tanpa dibatasi syarat asal bangsa (Kis. 11:17-18).
Penyaliban Yesus, merupakan karya keselamatan terbesar sepanjang sejarah, Yesus memperdamaikan semua orang, tanpa peduli ia percaya atau tidak kepadanya, bahkan mereka yang menyalibkan dan menyiksanya, Ia memberikan diriNya untuk menjadi korban tebusan agar mereka memperoleh jalan mencapai keselamatan.  Coba lihat, adakah Yesus meminta syarat kepada Sang Bapa saat Ia berdoa di bukit getsemani? Ditengah kegundahanNya untuk melaksanakan tugasNya, Ia hanya menyatakan bahwa “Jangan kehendak ku tetapi kehendak Mulah yang jadi”, artinya Ia tidak meminta apapun sebagai syarat agar umat  manusia di perdamaikan dengan Bapa. Kasih Nya nyata, senyata Allah memberikan sinar mentari kepada siapa saja, yang percaya atau tidak, baik atau jahat.  Lalu mengapa saat ini kita selalu meminta syarat dalam mengasihi ? Seolah kita mendapatkan kasih itu dengan usaha kita.
Pemahaman kita akan kasih tanpa syarat (Agape, kasih yang tidak tergantung pada objeknya) pada masa ini memudar dengan cepat. Seolah terhimpit oleh kelaziman dan pengajaran universal atas saling, lihat saja sebuah acara PA (Pemahaman Alkitab) yang dibuat di gereja, pesertanya tidak lebih dari jumlah jemari, tetapi kala PA di buat di rumah jemaat, jumlahnya akan meningkat drastis bahkan tak lagi dapat dihitung dengan jemari tangan dan kaki. Mengapa demikian? Karena kita perlu saling menghargai, jika kita tidak hadir di rumah si A, bisa jadi pada saat di rumah kita si A juga tidak hadir, itulah dahsyatnya formula saling.
Mari melihat kembali pengajaran Yesus tentang Penghakiman Terakhir (Mat. 25 : 31-46).  Saat Raja itu mengatakan kepada mereka yang disebelah kanan Nya: Mari, hai kamu yang diberkati oleh BapaKu, terimalah Kerajaan yang telah disediakan bagimu sejak dunia dijadikan (Mat. 25: 35), Siapakah mereka yang masuk dalam kelompok itu? yaitu mereka yang memberi makan kepada yang lapar, memberi minum kepada yang haus, memberi tumpangan kepada orang asing, memberi pakaian kepada yang telanjang, melawat yang sakit,  mengunjungi orang dipenjara.  Apakah semua orang yang melakukan hal demikian mendapat bagian dalam Kerajaan yang telah disediakan?  Ternyata tidak, karena mereka yang melakukan dengan tulus itu pun bertanya. Tuhan bila manakah kami melihat Engkau lapar dan kami memberi Engkau makan, atau haus dan memberi Engkau minum? … (Mat. 25 :38 …) 
Yesus menjelaskan dengan  tegas “ Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudaraKu yang paling hina ini, kamu melakukannya untuk Aku”. (Mat 25: 40).  Kebaikan sebagai wujud rasa kasih yang kita lakukan kepada mereka yang paling hina, tentu tanpa kata saling.  Sebab mereka yang paling hina, hanya dapat menerima tanpa memberi. Pada saat itulah kita dapat menyatakan kasih tanpa syarat.  Pengajaran Yesus ini menjelaskan kepada kita dengan tegas, bahwa hanya dengan kasih yang demikian kita dapat merefleksikan kasih Allah (Agape) kepada sesama.
Seorang pengkotbah mengelompokkan kasih dengan kalimat yang sederhana, menjadi tiga, yaitu kasih jika, kasih karena dan kasih walaupun.  Kasih jika, adalah kasih yang diberikan kepada pihak lain, jika pihak lain melakukan sesuatu untuk kita. Bagi muda mudi misalnya, seorang pria mengatakan akan mengasihi si wanita itu, jika ia menerima ku sebagai kekasihnya.  Kasih karena, adalah kasih yang kita berikan kepada seseorang karena ia adalah saudara ku, atau karena ia adalah atasanku. Kedua kasih ini sarat dengan kelaziman saat ini, yaitu untuk Saling. Sedang kasih walaupun, merupakan kasih yang murni. Aku mengasihi dia walaupun ia orang yang paling hina dan aku tidak dapat berharap apapun darinya. Lebih jauh lagi, seperti Yesus mengasihi kita walaupun kita masih berdosa.
Selama ada hitungan matematis dalam kita berbuat baik kepada orang lain, itu adalah kasih yang masih berpusat pada diri sendiri atau kasih dengan tujuan saling, bukan kasih tanpa syarat. Misalnya aku memberi seratus agar aku mendapatkan seratus atau bahkan lebih, atau tidak masalah aku mendapatkan sepuluh. Tetapi kasih tanpa syarat adalah memberi seratus dengan berharap nol, karena pemberian itu didasarkan pada rasa syukur atas besarnya Kasih Tuhan yang sudah kita terima melalui penebusanNya.
Seyogianya demikianlah kita di dalam kehidupan kita, kasih terhadap sesama biarlah lahir karena kita sudah merasakan kasih Yesus yang begitu besar untuk kita, sehingga kita dapat mengasihi sesama, bukan lagi untuk kepentingan kita, tetapi lebih untuk menyatakan kasih Yesus kepada kita. Itulah makna Paskah sesungguhnya dalam keseharian kita, yaitu untuk menyatakan bahwa kasih tanpa syarat itu masih ada dan nyata, senyata terang mentari dan cahaya rembulan yang dapat dinikmati siapa saja tanpa syarat. SELAMAT PASKAH  (ERH Bth 10032012)
Tulisan ini dimuat dalam Buletin Mercusuar edisi 28 Maret 2013.

Rabu, 28 November 2012

Masikah keluarga menjadi tempat menabur asa ?

Oleh : P. Erianto Hasibuan

Judul tulisan di atas bukan untuk menggambarkan pesimisme bahwa keluarga bukanlah tempat yang nyaman lagi utuk menabur asa (harapan), atau dengan kata lain bukanlah suatu padangan yang mereduksi peran keluarga. Tetapi mencoba melihat, apakah ditengah-tengah perubahan era seperti hadirnya finger generation yang lebih menikmati bermain gadget daripada bercengkrama satu sama lain. Masikah kebersamaan di dalam keluarga efektif menjalin komunikasi satu sama lain, ditengah persaingan hiburan yang mengasikkan seperti televise, game dan gadget. Setiap anggota keluarga seolah kehabisan waktu untuk bercengkrama satu sama lain, sekalipun jarak tak membatasi mereka. Dalam kondisi tersebut, apakah keluarga masih mampu menjadi tempat untuk menabur asa ?
Belajar dari Keluarga Timotius
Sebab aku teringat akan imanmu yang tulus ikhlas, yaitu iman yang pertama-tama hidup di dalam nenekmu Lois dan di dalam ibumu Eunike dan yang aku yakin hidup juga di dalam dirimu. (2 Tim. 1:5)

Menarik untuk mengenal lebih jauh keluarga Timotius di era heteroginitas saat ini, Timotius dilahirkan oleh seorang ibu Yahudi yang telah menjadi percaya sedangkan ayahnya seorang Yunani. Alkitab tidak mencatat secara eksplisit apakah ayah Timotius orang percaya atau tidak. Tetapi Alkitab menegaskan secara eksplisit, bahwa iman yang tulus ikhlas dalam diri Timotius tidak lepas dari peran nenknya Lois dan ibunya Eunike
Sebagai seorang Yahudi, Lois dan Eunike tentu sangat kental dengan ajaran Musa yang memerintahkan umatnya untuk mengajarkan hukum Taurat kepada anak-anak mereka (Ul. 32:45) sebagaimana mereka sendiri harus memperkatakan kitab Taurat dan merenungkannya siang dan malam, agar mereka dapat bertindak hati-hati dengan demikian mereka akan mendapatkan keberhasilan (Yos. 1:8). Berlandaskan pada perintah tersebut dapat dipastikan bahwa Lois dan Eunike sejak usia dini, kerap memperbincangkan Firman Allah kepada Timotius, sehingga Timotius muda mendapatkan pengajaran sejak dini untuk mengenal kebenaran Firman Tuhan.
Pertanyaan kepada kita pribadi lepas pribadi, masihkah suasana seperti itu ada dalam keluarga kita ? Masikah kita memiliki waktu untuk memperbincangkan Firman Tuhan dengan keluarga kita? ataukah kita lebih banyak menghabiskan waktu untuk menikmati permainan yang begitu mengasyikkan dan memperbincangkan kenikmatan dari permainan tersebut?.
Memperbincangkan kebenaran Firman Tuhan di dalam keluarga tentu bukan sekedar sebuah pengajaran yang monolog, tetapi menjadi diskusi yang hangat dan bahkan terefleksi dari prilaku orang tua sebagai pemberi contoh. Lihat misalnya pengakuan Paulus akan ketulusan iman Timotius yang diperoleh pertama-tama dari neneknya Lois dan di dalam ibunya Eunike. Artinya Nenek dan Ibu Timotius sesungguhnya telah memberikan contoh (teladan) kepada Timotius muda untuk tumbuh dengan asa yang kuat akan penyertaan Tuhan dalam hidupnya. Faktor itulah yang membuat Timotius memiliki karakter terpuji, sehingga ia dikenal baik oleh saudara-saudara di Listra dan Ikonium (Kis. 16 :2)
Asa Vs Disiplin
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi adalah sebuah keniscayaan, perkembangan itu senantiasa mempengaruhi pola pikir dan pola hidup insan sesuai eranya. Tidak ada yang salah dengan perkembangan tersebut sepanjang tidak merubah karakter ke imanan.  Bagaimana agar karakter ke imanan tersebut tetap bertahan ? Carl Jung  dengan teori kepribadian psikoanalitiknya mengemukakan bahwa tingkah laku manusia ditentukan tidak hanya oleh sejarah individu dan rasi (kasualitas) tetapi juga oleh tujuan-tujuan dan aspirasi-aspirasi (teologi).
Teori ini setidaknya membantu kita untuk menjelaskan secara ilmiah bahwa apa yang dilakukan Lois dan Eunike kepada Timotius adalah penguatan atas asa yang berupa tujuan-tujuan yang disampaikan secara berulang dan terus menerus. Alam bawa sadar Timotius dibentuk oleh asa yang dibangun oleh Ibu dan neneknya.
Tidak sedikit keluarga saat ini yang membangun kepribadian anak bukan dengan menabur asa, tetapi melalui pembiaran. Membiarkan si anak melakukan apapun demi alasan memberi kebebasan berkembangnya kepribadiaan si anak. Tidak jarang orang tua memberikan apa saja yang si anak inginkan, sekalipun si anak belum mampu untuk menyeleksi dengan baik kemanfaatan akan benda tersebut.
Membiarkan si anak berteriak sekerasnya di keramaian, atau melakukan sesuatu yang tidak sewajarnya dan mengusik ketenangan orang lain, atau mengizinkan si anak membawa dan memainkan gadget ataupun game di sekolah minggu, atau di tempat lain, di mana seharusnya si anak harus mendengarkan dengan tekun, menurut penulis hal ini bukanlah bagian dari pendewasaan karakter, karena pembentukan karakter disamping dengan memberi asa namun juga dengan disiplin. Hanya dengan kedisiplinan seorang ibu seperti Eunike dapat memiliki waktu dengan Timotius muda bercengkrama dan berdiskusi akan imannya kepada anaknya.
Tanpa dibarengi dengan kedispilinan adalah kemustahilan bagi sebuah keluarga untuk memiliki waktu bersekutu bersama. Menjadikan persekutuan di dalam keluarga menjadi sebuah kebutuhan memerlukan disiplin dan konsistensi, tetapi manakala hal itu tercipta, anak dan anggota keluarga secara tidak langsung sedang mengasah kompetensi yang dimilikinya, setidaknya setiap individu akan belajar untuk berani mengemukakan pendapat dan menghargai pendapat orang lain dan tentunya menjadi bertanggung jawab. Penulis melihat perilaku ini dilakukan oleh Ompung (kakek/nenek dalam etnis Batak) penulis semasa hidupnya, mereka tidak pernah keluar rumah sebelum bersekutu bersama, demikian juga saat sebelum tidur. Seorang isteri (nenek) yang buta huruf, pada akhirnya mampu membaca sendiri Alkitab (Bibel-Alkitab berbahasa Batak) karena ketekunan dan kedisiplinan si suami (kakek) untuk mengajarinya. Contoh ini membekas sangat jelas bagi penulis, sekalipun beliau tidak pernah meminta penulis untuk melakukan hal demikian, tetapi contoh yang penulis saksikan saat masih kanak-kanak menjadi pelajaran yang tak pernah lekang dari ingatan.
Harapan
Dalam era perkembangan teknologi informasi dan hiburan yang sangat pesat saat ini, seolah menjadi kemustahilan untuk memiliki waktu bersama meski hanya kurang dari lima belas menit, tanpa ditemani oleh peralatan teknologi informasi. Ketergantungan itu terjadi, selain karena fungsi tetapi juga karena mengasikkan. Orang tua sebagai pemimpin keluarga perlu lebih kreatif lagi untuk membuat acara bersekutu bersama keluarga menjadi menarik dan diminati anggota keluarga lainnya. Saat acara itu menjadi kebutuhan, maka keluarga akan menjadi tempat menabur asa yang paling efektif bukan hanya pada acara bersekutu bersama untuk membahas Firman Tuhan, tetapi dalam setiap interaksi dalam keluarga, merupakan ajang pemberi asa tanpa terkesan menggurui. 
Semoga persekutuan yang dibangun di setiap keluarga dapat mendekatkan yang jauh dan mengakrabkan yang dekat. (erh 25082012bdj).

Tulisan ini dimuat dalam Buletin Mercusuar  Edisi 26 September 2012  p. 30-32

Minggu, 28 Oktober 2012

Bocah yang tak pernah memberi

Oleh : P. Erianto Hasibuan
“Dan barangsiapa menyambut seorang anak seperti ini dalam nama-Ku, ia menyambut Aku." (Mat. 18:5)

                Persaingan untuk mendapatkan posisi terbaik sudah ada sejak era purbakala. Persaingan di dorong oleh ambisi untuk mendapat yang terbaik. Tidak kecuali dengan para murid Yesus, mereka berdebat untuk memperbincangkan, siapa diantara mereka yang terbesar dalam Kerajaan Sorga. Meski yang mereka perdebatkan siapa yang terbesar di dalam Kerajaan Sorga, namun pada pokoknya mereka sedang memperbincangkan siapa yang terbesar diantara mereka.
                Mengapa persaiangan ini senantiasa hadir di dalam setiap lini kehidupan? karena setiap orang ingin mendapatkan lebih, bukankah yang terbesar akan mendapatkan bagian terbesar? Itulah pemahaman yang ada diantara para murid, sebagaimana yang diutarakan “the Venerable Bede” (Barclay, 2005 hal.183) bahwa pertengkaran ini timbul berhubung Yesus telah membawa serta Petrus, Yohanes dan Yakobus ke atas gunung pada waktu Yesus dimuliakan (Mat.17: 1). Murid-murid yang lain merasa iri hati. Penulis injil Matius memang tidak menuliskan pertengkaran ini secara eksplisit, tetapi penulis injil Lukas secara eksplisit menuliskannya. (Luk. 9: 46-48)
                Pemahaman para murid akan persaingan, oleh Yesus diluruskan dengan mengambil contoh seorang anak kecil (bocah). Pertanyaannya tentu kenapa harus bocah? apakah tidak ada ilustrasi lain yang lebih tepat utntuk digunakan Yesus ? Bocah, yang ditempatkan di antara keduabelas murid Kristus itu, tentu saja tidak berdiri di situ penuh kesombongan. Kita dapat bayangkan, bahwa sebaliknya anak itu merasa agak malu ditengah-tengah orang dewasa itu, dan dapatlah dikatakan bahwa anak itu menginsafi kekecilannya (Heer, 2003). Di sinilah kepiawaian Yesus dalam memberikan contoh. Yesus meminta mereka untuk bertobabat dan menjadi seperti anak kecil (bocah) dan merendahkan diri menjadi seperti anak kecil (bocah) (Mat. 18:3-4). Pertengkaran para murid jelas dipicu pada rasa untuk “meninggikan diri”, mereka ingin tahu siapa di antara mereka yang terbesar, apakah Yakobus sebagai saudara Yesus ?, atau Petrus seorang yang memberikan pengakuan spektakuler akan kemesiasan Yesus? atau bahkan murid yang lain. Ambisi ini ternyata tidak hanya sebatas di antara para murid, tetapi meluas ke pada orang tua para murid, lihat saja bagaimana ibu Yakobus dan Yohanes yang secara khusus datang menemui Yesus dan meminta agar kedua anaknya mendapat posisi terhormat (Mat. 20: 21).
                Sifat dasar dari seorang bocah adalah ketulusan hatinya, tergambar dari keluguannya. Kita kerap tertawa melihat tingkah pola seorang bocah, karena reaksinya adalah reaksi spontan tanpa kamuflase (kepura-puraan). Bandingkan sifat itu dengan sifat para murid yang telah melakukan kalkulasi, apa yang akan saya dapatkan dengan mengikut Yesus. Sekalipun tidak dikatakan secara eksplisit tetapi pada kesempatan yang lain, Petrus dengan segala sifat ekspresifnya mempertanyakan, apa yang akan diperolehnya setelah ia mengikuti Yesus. (Mat.19:27)  Adakah seorang bocah yang berkenan bermain atau melakukan sesuatu dengan temannya mempertanyakan upah yang akan diterimanya? Sifat bocah penuh dengan sukacita, ia akan melakukan apapun yang ia sukai dengan suka cita, tanpa memperhitungkan seberapa banyak waktu dan energi yang telah dan akan ia keluarkan atau apa upah yang akan dia dapatkan. Tidak demikian dengan orang dewasa, penuh dengan perhitungan. Demikian halnya dengan peran yang akan dimainkan si bocah, ia tidak akan mempertanyakan apakah ia akan jadi pemimpin atau sekedar penggembira, baginya bisa ikut serta dalam aktivitas kelompok mereka adalah sebuah sukacita besar. Karekter inilah yang ingin dihadirkan Yesus melalui perumpamaan seorang bocah.
                Dengan karakter demikian,  pada akhirnya Yesus sampai pada inti yang akan disampaikan kepada para murid perihal motif menjadi murid Yesus, dengan mengumpamakan menyambut seorang bocah sebagai menyambut Yesus.


Motif Pelayanan
                Anda dan saya tentu memiliki motif yang berbeda untuk mengambil bagian dalam pelayanan. Setiap motif yang disampaikan tentu memiliki alasan masing-masing. Namun bagaimana sesungguhnya alasan untuk melayani sebagai murid Yesus ?
                Seorang bocah adalah orang yang lemah, yang menggambarkan tentang orang yang memerlukan sesuatu (Barclay, 2006 hal. 371). Bocah tidak memiliki apapun yang bersumber dari dirinya, kecuali kalau ia diberi. Motif pelayanan terhadap sesama menurut konteks ini adalah MEMBERI bukan menerima, sebagaimana yang dipertengkarkan para murid. Menjadi yang terbesar menurut persepsi para murid saat itu adalah untuk mendapatkan lebih dari yang lain. Menerima saudara (dalam arti seiman maupun sesama manusia ciptaan Tuhan) menurut konteks pengajaran Yesus adalah memberi kepada mereka yang memerlukan.
                Seorang bocah tidak memiliki kekuasaan untuk memberikan anda kenaikan jabatan, bila anda menerima dan melayaninya, ataupun membantu anda untuk memenangkan sebuah tender, atau menambah pundi-pundi harta anda. Yang dapat anda lakukan kepada bocah hanya memberi dan memberi. Memberi hidup bagi pelayanan adalah membantu dan mencintai orang yang di mata dunia tidak mempunyai apa-apa, maka anda dan saya sudah melayani Allah. Jikalau anda bersedia untuk mengorbankan hidupmu untuk melakukan hal-hal yang kelihatannya tidak penting ini dan tidak pernah mencoba untuk menjadi apa yang oleh dunia disebut besar, maka anda akan besar di hadapan Allah (Barclay, 2005 hal. 183).
                Barclay dengan elok menuliskna cerita A.J Cronin mengenai juru rawat desa yang ia kenal ketika berprakterk sebagai dokter. Selama dua puluh tahun, seorang diri juru rawat itu melayani desa yang jaraknya sepuluh mil. “Saya takjub,” kata dokter itu, “atas keberadaannya, keteguhan hati dan keramahtamahannya”. Ia rasanya tidak pernah merasa lelah pada malam hari untuk memenuhi panggilan yang mendadak. Gajinya hanya pas-pasan saja, dan pada suatu malam yang larut sesudah suatu hari yang sangat giat, saya mengajukan protes kepadanya, “ Suster, kenapa anda tidak meminta mereka untuk membayar lebih banyak lagi? Allah tahu bahwa anda layak untuk itu”.  Juru rawat itu menjawab : ”Kalau Allah tahu bahwa saya layak untuk itu, maka hal itu sudah cukup bagiku.” Ia bekerja bukan hanya bagi manusia, tetapi bagi Allah.
                Tidak masalah apa motif anda dan saya saat ini untuk melayani, tetapi mari memperbaharui motif pelayanan kita hingga kita dapat tidak sekedar mengatakan, tetapi melakukan seperti apa yang disampaikan Paulus “Upahku ialah ini : bahwa aku boleh memberitakan Injil tanpa upah, dan bahwa aku tidak mempergunakan hakku sebagai pemberita Injil”. (1 Kor. 9:  18). Jadi tidak peduli saya menjadi apa dan orang lain menjadi apa, yang penting saya dapat memberi dan memberi tanpa memperdebatkan apakah orang lain juga akan memberi seperti yang saya lakukan. SELAMAT MEMBERI untuk MEMBERI. (erh 19052012 pwt) 
Tulisan ini dimuat dalam Buletin Mercusuar Edisi 25 Juli 2012.   

Bacaan :
Barclay, William, The Daily Bible Study : The Gospel of Mark,  Diterjemahkan oleh Wenas Kalangit, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2006.
Barclay, William, The Daily Bible Study : The Gospel of Luke,  Diterjemahkan oleh A.A Yewangoe, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2005.
Heer, J.J. de, Tafsiran Alkitab : Injil Matius pasal 1-22,  BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2003.
http://teologiawam.blogspot.com  di akses 18 Mei 2012. 

Rabu, 18 Juli 2012

Lima belas tahun


Saat sebelum menikah pernah sekali waktu aku berbincang dengan seorang tua, ia menceritakan dan memberi nasehat bagaimana sebuah pernikahan akan mengalami titik kritis di usia pernikahan 5 tahun, 10 tahun dan 15 tahun. Saat usia pernikahan 5 tahun menurut ybs, sang suami mulai kehilangan perhatian oleh sang isteri karena harus berbagi waktu dengan anak. Anak yang masih kecil akan menghabiskan waktu isteri, sehingga ia tidak lagi memiliki waktu, bukan hanya untuk sang suami, bahkan untuk mengurusi diri sendiri pun sudah tidak ada waktu.
Usia pernikahan yang ke sepuluh, masih menurut si bapak, mulai muncul kebosanan karena tidak ada lagi yang menarik, lihat saja tingkat percaraian sangat tinggi menjelang usia pernikahan ke sepuluh, ujar beliau untuk meyakinkan. Jika lolos dari usia pernikahan tersebut, akan ada fase rawan ketiga, yaitu saat usia pernikahan menuju dan memasuki usia ke lima belas. Banyak hal sudah serasa datar pada situasi ini, pasangan sudah berubah bentuk, komunikasi apa adanya sehingga sang suami mulai mencari ketertarikan yang lain.
Saat mendengar cerita itu, memang langkah menuju pernikahan serasa melemah, tetapi kemudian yang terpikir adalah untuk membuktikan atau mematahkan teori si bapak. Saat setelah menikah aku kerap menceritakan hal ini kepada pasangan ku, dengan tekad untuk mematahkan teori beliau dan merubahnya menjadi fase pernikahan yang menyenangkan.
Sesungguhnya teori si bapak tidak sepenuhnya keliru, yang berbeda adalah sudut pandang kami akan sebuah pernikahan. Beliau melihat sebuah pernikahan yang memiliki opsi break (cerai), sehingga persoalan yang muncul dalam rumah tangga dapat diselesaikan dengan solusi cepat, cari yang lain. Sementara aku tidak melihat opsi tersebut dalam sebuah pernikahan. 
Tanpa opsi perceraian dalam sebuah pernikahan akan mendorong setiap pasangan untuk menyesuaikan diri dengan pasangannya, sekalipun tidak mudah dan kerap menyakitkan (mungkin), tetapi perlahan namun pasti kesesuaian dan saling pengertian akan hadir. 
Pernikahan adalah sebuah kenikmatan jika masing masing pihak mau menikmatinya, tetapi akan menjadi siksaan jika masing-masing atau salah satu pihak merasa terpaksa. 
Saat ini kami memasuki usia pernikahan ke lima belas, tentu penuh liku dan suka duka, tetapi itu akan menjadi perjalanan yang menyenangkan jika masing-masing pihak mau menyesuaikan diri ke arah yang lebih baik, tentu dengan acuan yang sama. Acuannya bagiku adalah Firman yang hidup, Firman itu yang akan mensinkronisasi karakter masing-masing pribadi yang berbeda, bukan yang lain. Tanpa acuan yang sama, mustahil kebahagian yang hakiki dapat dinikmati. (erh,190812).

Kamis, 19 April 2012

Rabu Abu, Lalu Apa ?


Menilik tulisan “Rabu Abu : Upaya mengembalikan tanda pertobatan” pada edisi 23 yang lalu (Desember 2011), Rabu Abu sebagai tanda pertobatan di masa pra paskah menarik untuk diulas lebih lanjut aspek pertobatannya.
                Pertobatan kerap dikaitkan dengan adanya hukuman. Seseorang dengan segera mengakui kesalahannya (dosanya) karena ia takut akan ganjaran yang akan diterimanya sebagai akibat dari kesalahan itu.  Pernah di salah satu stasion televisi nasional ditayangkan sebuah acara yang membuat seorang pendosa menjadi bertobat. Caranya adalah dengan mengubur si pendosa, mensituasikan seolah ia telah berada di alam “sana” dan akan segera mendapatkan siksaan. Pada penghujung acara, jelas terlihat bagaimana si pendosa menjadi bertobat dan menyesali perbuatannya karena rasa takut luar biasa yang dialaminya. Allah dikesankan sebagai hakim yang kecintaan-Nya adalah menghukum.
                Pertobatan demikiankah yang dimaksudkan dari peringatan rabu abu ? Pertobatan yang didasarkan oleh rasa takut, pada hakikatnya bukanlah pertobatan yang sesungghnya. Pertobatan karena rasa takut hanya merupakan upaya untuk menghindarkan diri dari sebuah hukuman, pertobatan demikian terjadi karena yang bersangkutan tidak ingin menderita akibat menerima ganjaran, seperti seorang pengendara yang mematuhi rambu lalulintas hanya pada saat ada petugas. Pertobatan demikian menurut penulis tidak meningkatkan kualitas hidup si petobat maupun lingkungannya.
                Pertobatan yang sesungguhnya adalah pertobatan yang lahir atas dasar kasih, bukan atas dasar ketakutan. Sebagaimana yang dituliskan Yohanes :“Di dalam kasih tidak ada ketakutan: kasih yang sempurna melenyapkan ketakutan; sebab ketakutan mengandung hukuman dan barangsiapa takut, ia tidak sempurna di dalam kasih.” (I Yoh. 4:18)   Kata Kasih yang digunakan di sini berasal dari kata agape.
                Agape kerap digunakan untuk mengambarakan kasih Allah kepada manusia, yang berarti kasih yang tidak tergantung pada objeknya. Artinya kasih yang tidak didasari pada kepentingan diri sendiri, misalnya karena ketakutan terhadap hukuman yang akan diterima. Kasih agape berdasar pada kesadaran untuk berbuat sesuatu yang menyenangkan pihak lain. Dalam kasih inilah tidak lagi ada ketakutan, tidak ada kepentingan diri, melainkan hanya rasa ingin menyenangkan pihak lain.
                Selama tindakan kita didasarkan pada rasa takut, maka tindakan yang mulia dan suci sekalipun akan menjadi sesuatu yang tidak sempurna. Misalnya tindakan memberi derma pada acara di gereja adalah tindakan yang mulia, namun manakala tindakan itu didasari pada rasa takut disebut pelit, ia akan menjadi tindakan manipulatif dan segera berubah menjadi tindakan untuk mencari pahala. Pertobatan juga tidak didasari oleh semangat kemunafikan, tetapi ketulusan. Baik tindakan mencari pahala maupun tindakan yang didorong oleh semangat kemunafikan adalah tindakan yang berpusat kepada diri sendiri, bukan karena rasa ingin menyenangkan pihak lain.
                Lalu pertobatan seperti apakah yang selayaknya dilakukan pada saat memasuki pra paskah yang diawali dengan Rabu Abu? Pertobatan dengan hati sebagaimana yang diingatkan oleh nabi Yoel dalam Yoel 2:13a, “Koyakanlah hatimu dan jangan pakaianmu, …“ Pertobatan dengan hati penuh dengan kesadaran akan kasih Allah yang telah memberi saat kita masih berlumur dosa. Tidak melihat apakah kita sudah baik atau belum, Allah telah menyatakan KasihNya. Bila seseorang membantu kita tanpa diminta saat kita kesusahan, orang tersebut laiknya pahlawan dalam hidup kita ? Bagaimana dengan Tuhan yang telah menghinakan diriNya menjadi manusia (pencipta menjadi ciptaan) bahkan mengorbankan nyawaNya  buat kita? Bukankah Ia lebih layak lagi untuk mendapatkan (terima) kasih kita dalam rupa perilaku kita yang berkenan kepada-Nya dan menyenangkan hati-Nya.
                Ritual rabu abu sebagai tanda pertobatan dilakukan saat memasuki Pra-Paskah, hingga rangkaian peringatan Kamis Putih, Jumat Agung dan Minggu Paskah. Pertobatan dalam konteks ini jelas tidak dikaitkan dengan hukuman, tetapi pada kasih di mana Allah sendiri yang menanggung hukuman untuk membebaskan manusia dari akibat dosa. Rangkaian hari raya gerejawi ini secara tegas mengajarkan kepada kita bagaimana prespektif kasih mendasari pertobatan bukan ketakutan. 
Kecintaan kita akan kasih Allah tersebutlah seyogianya menjadi dasar kita dalam pertobatan. Kita bertobat karena kita sebagai warga kerajaan Allah belum berprilaku sebagai warga kerajaan Allah. Simaklah apa yang dikatakan Rasul Paulus : “Sebab Kerajaan Allah bukanlah soal makanan dan minuman, tetapi soal kebenaran, damai sejahtera dan sukacita oleh Roh Kudus” (Rom. 14:17). Artinya, pertobatan dengan hati dilakukan dengan penuh suka cita untuk dapat hidup dalam kebenaran (dikaiosune) dengan bertindak seturut kehendak Allah, hidup berdampingan dengan penuh damai sejahtera (eirene) dan memancarkan sukacita (khara) karena menjadikan Roh Allah sebagai penguasa hidup.
                Pertobatan dengan hati pada akhirnya membuat kita lebih dekat dengan Allah. Tanpa rasa takut, melainkan rasa rindu senatiasa, kita hidup lebih dekat dan lebih mengenal kebenaran Allah. Bukan rasa takut yang membuat kita menghindar dan bersembunyi dari hukuman. Rasa rindu untuk dekat dengan Allah itulah upaya kita senantiasa untuk dapat hidup kudus sebagai mana Allah kudus adanya. Kekudusan Allah yang mendorong kita untuk senantiasa berupaya hidup kudus.
Selamat Paskah, dengan memaknai pertobatan yang benar, menjalaninya “sepanjang hidup”, dan senantiasa lebih dekat dengan Allah. (erh20022012)
Tulisan ini di muat dalam Buletin Mercusuar Edisi 24;  Maret 2012.

Sabtu, 25 Februari 2012

Tujuh Puluh Tiga


        Tujuh puluh tiga tahun yang lalu, seorang wanita dilahirkan. Sebagai anak wanita satu-satunya, tentu ia mendapatkan kasih sayang penuh dari seluruh keluarga. Tetapi jalan hidup seseorang memenag tidak dapat diduga, semasa sekolah ayahnya menigga, yang kemudian diikuti ibunya.
        Ia dibesarkan dalam keluarga Non Kristen namun tinggal dilingkungan Kristen.  Seorang pria kemudian menyuntingnya, namun tidak lama usia pernikahan mereka, ia ditinggal pergi suaminya untuk selama-lamanya tidak kembali. Ibu muda, dengan usia 26 tahun harus melanjutkan hidup dengan tiga anak yang masih sangat kecil, bahkan si bungsu baru berusia kurang dari sebulan.
         Dengan kegigihan yang dimilikinya, ia tetap setia untuk membesarkan ketiga anaknya. Sekalipun tidak mungkin menurut hitungan manusia, tetapi ia mampu menyekolahkan ketiga anaknya bahkan hingga perguruan tinggi. Ditengah hadirnya harapan, saat anaknya yang sulung telah bekerja, kebahagiaan tersebut tidak berlangsung lama, karena sebuah kecelakaan lalulintas telah merenggut si anak kebanggaan keluarga, untuk selama-lamanya tidak kembali. Itupun tidak mengurunkan niat si Ibu untuk tetap berjuang dan berusaha tanpa banyak kata-kata, karena memang sangat pemalu.
         Yang menakjubkan, sekalipun si Ibu mengenal Kekristenan saat ia tealah dewasa, tetapi, ia, dengan kebersahajaannya menanamkan kekristenan kepada ketiga anaknya. Kedua anaknya yang masih berkarya saat ini, memiliki latar belakang teologia, bahkan yang wanita memilih profesi sebagai guru agama dan melayani dilingkungan gereja.
         Tanpa banyak kata-kata ia telah mengajarkan arti kesetiaan, setia pada pilihan, setia pada komitmen, bahkan setia untuk tidak pernah meminta-minta kepada siapapun kecuali kepada Sang Khalik, walaupun permintaannya (Doanya) sejak anak-anaknya  masih SD hingga saat ini, masih tetap sama. Doa makan, doa mau tidur, doa bangun tidur, "nyaris sama". Mungkin itu bentuk kesetiaan nya juga.  Namun  ternyata Sang Khalik memahami bahasa manusia walau diucapkan secara keliru, tetapi Roh Allah ada pada manusia, mengerti keinginan manusia bahkan yang tidak terucapkan, itulah yang telah dibuktikan ibu dalam perjalanan hidupnya.
         Ibu itulah Mamaku, yg berjuang seorang diri membesarkanku sejak usia 10 hari. Memungkiri kepentingan pribadinya demi kami anak-anaknya. Selamat Ulang Tahun Mama, Horas jala gabe. (ERH14092011)
Tulisan ini dimuat dalam Buletin Mercusuar Edisi 23 Desember 2011.

                                                                                              Pematang Siantar September 2011