SELAMAT DATANG DI "TEOLOGI KAUMAWAM"

Salam dalam Kasih Tuhan Yesus Kristus. Terimakasih telah mampir di blog yg sederhana ini. Kami sangat berterimakasih bila saudara berkenan memberi tanggapan atas tulisan yang saudara baca di blog ini. Karena dengan tanggapan itu kami akan dapat belajar dan berbagi, sebab untuk itulah blog ini dibuat agar hidup kita tetap terpelihara dalam persekutuan. Semua tulisan dalam blog ini dapat dikutip dengan tetap mencantumkan sumbernya. Kiranya Tuhan Yesus memberkati kita. Pax Vobiscum, Erianto Hasibuan

Rabu, 03 Desember 2008

Guru yang terlalu cepat menghukum

Akhir bulan November yang lalu, saya dikagetkan oleh sebuah hasil ujian anak bungsu ku yang masih duduk di kelas 1 SD. Selembar hasil ujian materi lokal bahasa Sunda tertulis nila dengan warna merah 100, tetapi dibawahnya dibarengi dengan asesoris NYONTEK. Tersentak aku melihatnya setelah isteriku mempertontonkannya kepada ku. Bawah sadarku sepontan bertanya, apakah aku sudah gagal dalam mendidik anakku ? ataukah aku terlalu keras mendidik mereka, hingga muncul karakter takut gagal hingga menghalalkan segala cara ?.

Sejenak aku bertanya kepada anak ku Yohana Romauli Sayekti Hasibuan (Uli) apakah ia benar melakukan pencontekan, ternyata dia menolak untuk dikatakan menyontek, tetapi memang dia berkomunikasi dengan temannya saat ujian karena si teman meminjam penghapus (eraser) darinnya. Belum terlalu yakin, aku meminta isteriku untuk melakukan uji ulang atas materi pelajaran yang sama, dan ternyata ia memang dapat menjawab pertanyaan sesuai dengan nilai yang ada.

Sesaat saya merenung, apakah hal ini saya diamkan saja atau saya bicarakan dengan sang guru. Tetapi setelah saya menerima penjelasan dari anak saya bahwa posisi sang guru ada di depan dan anak saya ada di belakang, serta banyak teman temannya yang juga mendapatkan tulisan yang sama, maka saya putuskan untuk menemui sang guru keesokan harinya untuk mengklarifikasi.

Pada awalnya sang ibu guru yang manis dan belia, bertahan bahwa ia melihat anak saya menyontek. Tetapi setelah aku pertanyakan dimana posisi si ibu guru dan dimana posisi anak ku, serta menceritakan track record anak ku, ia mulai melunak, utamanya saat aku memintanya untuk melakukan uji ulang untuk membuktikan kebenaran apakah Uli menyontek atau tidak. Dan aku meminta surat resmi dari sekolah bagaimana hasil penilaian mereka, apakah Uli benar menyontek atau tidak. Singkat cerita anak ku di tes ulang dan ia mendapat nilai 98, kesalahan satu soal yang dilakukannya adalah kesalahan dalam sebuah pemenggalan kata dalam penulisan jawabannya. Dan sehari setelah ujian ulang, kami mendapat surat permohonan maaf secara resmi dari sekolah atas kekilafan si ibu dalam membuat penilaian.

Lebih baik salah memberi hadiah dari pada salah dalam menghukum.

Saya menuliskan ini, karena memang sejak semula tekad yang ada di benak saya untuk kedua anak saya adalah mendidik mereka untuk menjadi anak yang JUJUR (ANTI BOHONG), sehingga nilai rendah sekalipun yang mereka peroleh atau kegagalan untuk meraih juara dalam pertandingan, selalu saya apresiasi sepanjang mereka tidak melakukan kecurangan, saya hanya tinggal mendoronga upaya mereka karena prosesnya sudah benar. Saya berharap kelak mereka menjadi orang dewasa yang senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran. Berbekal itu saya percaya, sekalipun mereka aneh tetapi mereka menjadi orang yang aneh karena mereka dapat menunjukkan secercah harapan bahwa mentalitas anak bangsa ini pada dasarnya adalah baik.

Andai saya mendiamkan peristiwa di atas, maka pada saatnya setelah ia mengerti apa yang dimaksud dengan meyontek, hal itu akan dapat memberikan efek negatif pada dirinya dimata dirinya sendiri atau dimata temannya. Karakter yang akan ia bangun kelak akan ternodai oleh kenangan pahit nyontek (sama dengan mencuri menurut saya) yang secara formal ia lakukan, sekalipun fakta tidak pernah ia lakukan. Efek ini akan terbalik jika seorang guru memberi nilai 100 kepada seorang murid, sekalipun sesungguhnya anak itu hanya mendapat nilai 70. Si anak boleh jadi akan menjadi lebih percaya diri karena ia merasa ternyata ia dapat melakukan dengan sempurna.

Saya mempunyai pengalaman lain akan hal ini, kakak saya diwaktu SD selalu dicemooh oleh gurunya, bahwa ia tidak pintar dan tidak dapat bernyanyi. Pada akhirnya kakak saya menjadi minder dan prestasinya disekolah tidak terlalu baik, bahkan ia tidak berani menyanyi. Pada saat ia telah dewasa, bahkan ia dapat ikut kelompok vokal yang dikelola oleh tetangga kami seorang pelatih musik. Kelompok ini bahkan sering manggung diberbagai acara. Tetapi usaha si Om untuk membangkitkan semangatnya bahwa ia memiliki suara yang tidak kalah dengan orang lain cukup melelahkan.

Alangkah baiknya bagi kita untuk lamban dalam menghukum dan cepat dalam menghargai, utamanya bagi seorang guru SD, bukankan menurut Sigmund Freud bahwa masa kecil si anak akan sangat mempengaruhi kepribadian nya ke depan ? artinya, akan lebih baik jika kita memberikan masa kecil yang indah bagi si anak daripada masa kecil yang penuh dengan hukuman atau hal yang negatif. Ini yang juga saya sampaikan kepada si ibu guru, bahwa LEBIH BAIK SALAH DALAM MEMBERI HADIAH DARIPADA SALAH DALAM MENGHUKUM. SEMOGA !