SELAMAT DATANG DI "TEOLOGI KAUMAWAM"

Salam dalam Kasih Tuhan Yesus Kristus. Terimakasih telah mampir di blog yg sederhana ini. Kami sangat berterimakasih bila saudara berkenan memberi tanggapan atas tulisan yang saudara baca di blog ini. Karena dengan tanggapan itu kami akan dapat belajar dan berbagi, sebab untuk itulah blog ini dibuat agar hidup kita tetap terpelihara dalam persekutuan. Semua tulisan dalam blog ini dapat dikutip dengan tetap mencantumkan sumbernya. Kiranya Tuhan Yesus memberkati kita. Pax Vobiscum, Erianto Hasibuan

Minggu, 29 Mei 2011

Acara Diskusi Sabda "Yang Terhilang"

Bacaan : Lukas 15 :11-32

Tujuan : Untuk mendiskusikan bagaimana kita bersikap terhadap mereka yang terhilang.

Pengantar

Jika anda mengetahui keluarga, teman atau tetangga kita jatuh kedalam dosa, apakah respon anda? Sebagian mungkin akan menjawab, saya akan berdoa buatnya agar cepat sadar dan bertobat, yang lain mengatakan saya akan mencari tahu mengapa dia sampai pada situasi tersebut, atau ada yang akan menjawab, saya akan menolongnya untuk kembali kepada jalan yang benar, atau mungkin saja ada yang menjawab, biarkan saja, toh dia sudah dewasa jadi tak perlu dicampuri karena dia sudah tahu apa yang seharusnya dilakukannya.
Lalu jika anda yang secara sadar atau tidak sadar ada dalam situasi tersebut, apa yang anda harapkan dilakukan orang sekitar anda terhadap anda?

Domba, Dirham dan Anak yang hilang

Di dalam injil Lukas pasal 15, terdapat 3 perumpamaan yang secara berturut-turut disampaikan, yaitu domba yang hilang (1-7); dirham yang hilang (8-10) hingga puncaknya pada anak yang hilang (11-32).

Berdasarkan ketiga perumpamaan tersebut, dapat digambarkan bagaimana upaya yang dilakukan untuk mendapatkan kembali seseorang yang hilang. Perumpamaan domba yang hilang dengan jelas menunjukkan upaya sang gembala yang meninggalkan kumpulan sembilanpuluh sembilan dombanya untuk mencari seekor domba yang terhilang. Inisiatif berasal dari sang gembala karena dengan kebodohannya seekor domba tak mampu kembali ke kawanannya jika telah terpisah.

Perumpamaan tentang Dirham menggambarkan upaya si pemilik dirham untuk berusaha mendapatkan kembali dirham nya yang hilang, karena dirham itu begitu berarti baginya, baik sebagai perhiasan maupun sebagai alat tukar. Dirham yang hilang di sini dapat menggambarkan seseorang yang jatuh dalam dosa karena terpengaruh atau karena tekanan pihak lain, bukan karena kemauannya sendiri. Untuk mendapatkan dirhamnya kembali, si pemilik akan menyalakan pelita untuk menerangi rumahnya dan membersihkannya.

Pada akhirnya, adalah anak yang hilang, menggambarkan bahwa inisiatif bukan berasal dari si Bapa, tetapi dari si anak yang hilang untuk menyadari keadaannya. Anak yang hilang menggambarkan pemberontakan yang datang atas kesadaran sendiri, bukan karena ketidaktahuan atau tekanan pihak lain. Pertobatan anak yang hilang, hadir saat ia tidak lagi dapat memenuhi kebutuhan dasarnya, yaitu makan. Pada saat itu ia menyadari keadaannya hingga ia mengambil inisiatif untuk kembali ke rumah bapanya walau sebagai orang upahan sekalipun.

Bapa yang mengasihi Vs Anak sulung

Kembali ke Lukas 15 :11-32 perumpamaan tentang anak yang hilang, si Bapa sama sekali tidak mempertanyakan apapun tentang kesalahan si anak, yang ia lakukan adalah mengembalikan posisi si anak “ Tetapi ayah itu berkata kepada hamba-hambanya: Lekaslah bawa ke mari jubah yang terbaik, pakaikanlah itu kepadanya dan kenakanlah cincin pada jarinya dan sepatu pada kakinya. (22) Jubah adalah pertanda penghormatan si bapa terhadap langkah yang di ambil anaknya, si bapa mengampuni anaknya tanpa tuduhan-tuduhan. Adalah buruk, ketika seseorang diampuni, tetapi senantiasa disertai dengan kata dan ancaman mengenai dosa yang ditanggungkan kepadanya.

Cincin adalah tanda kedudukan yang tinggi dan kekuasaan yang diberikan, sekalipun si anak telah terlebih dahulu meminta bagian warisannya, tetapi si bapa tetap memperlakukannya sebagai anak yang memiliki hak waris. Sepatu menunjukkan bahwa si bapa tidak menganggap ia sebagai orang upahan (misthios) sebagaimana harapan si anak, tetapi menjadi orang merdeka yaitu sebagai anak (huios).

Si anak sulung yang selama ini tinggal bersama sang bapa, ternyata tidak melihat hubungannya sebagai hubungan anak dan bapa, tetapi lebih kepada hubungan yang penuh dengan kewajiban laiknya hubungan majikan dan buruh, seperti pengakuannya sendiri : “Telah bertahun-tahun aku melayani bapa dan belum pernah aku melanggar perintah bapa, tetapi kepadaku belum pernah bapa memberikan seekor anak kambing untuk bersukacita dengan sahabat-sahabatku(29). Demikian pula pandangannya akan hubungannya dengan sang adik, ia tidak memandang sebagai saudara tetapi ia mengatakan: Tetapi baru saja datang anak bapa yang telah memboroskan harta kekayaan bapa bersama-sama dengan pelacur-pelacur, … (30). Ia termasuk pada jenis orang yang mempunyai watak membenarkan diri, yang suka untuk menjatuhkan orang yang sudah jatuh untuk jatuh seterusnya.

Yang lebih memprihatinkan adalah, cara si anak sulung memandang hubungannya dengan sang bapa sebagai hubungan yang penuh dengan kewajiban, bukan hubungan atas dasar kasih, sebagaimana pandangan bapanya : Anakku, engkau selalu bersama-sama dengan aku, dan segala kepunyaanku adalah kepunyaanmu (31).

Perumpamaan ini dengan jelas memperlihatkan kepada kita sebuah kebenaran, bahwa lebih mudah untuk mengaku kepada Allah dari pada kepada manusia, bahwa Allah lebih berbelas-kasih dalam penghakimannya daripada kebanyakan manusia, bahwa Allah dapat mengampuni dimana manusia menolak untuk mengampuni.
Pertanyaan Panduan Diskusi :
1. Menurut anda sebagai atasan, dapatkah karakter bapa ini di implementasikan dalam pekerjaan sehari-hari ?
2. Sebagai bawahan, bila anda mendapatkan karakter si sulung apakah tindakan yang akan anda lakukan ?

Disampaikan pada Acara PA Bapekris PT. Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk. Gedung Menara BTN lt. 12  Jumat, 28 Mei 2011.