SELAMAT DATANG DI "TEOLOGI KAUMAWAM"

Salam dalam Kasih Tuhan Yesus Kristus. Terimakasih telah mampir di blog yg sederhana ini. Kami sangat berterimakasih bila saudara berkenan memberi tanggapan atas tulisan yang saudara baca di blog ini. Karena dengan tanggapan itu kami akan dapat belajar dan berbagi, sebab untuk itulah blog ini dibuat agar hidup kita tetap terpelihara dalam persekutuan. Semua tulisan dalam blog ini dapat dikutip dengan tetap mencantumkan sumbernya. Kiranya Tuhan Yesus memberkati kita. Pax Vobiscum, Erianto Hasibuan

Minggu, 02 Januari 2011

Satu dalam Kepelbagaian

Oleh : P. Erianto Hasibuan, M. Div

Pengantar

Saat kembali ke Medan beberapa saat yang lalu, penulis menemui salah seorang anggota gereja yang merupakan pendiri sebuah Gereja. Si Bapak menceritakan bagaimana “perpecahan” yang terjadi di antara anggota jemaat dan majelis jemaat. Program kerja majelis tidak lagi berjalan dengan baik, karena jika kelompok yang satu duduk di sebuah kepanitian, kelompok yang lain tidak lagi berkenan untuk ambil bagian.

Kisah jemaat tersebut adalah akumulasi dari sebuah persoalan kecil yang tidak pernah diselesaikan dengan tuntas, sehingga menjadi akar pahit bagi persoalan-persoalan lain yang muncul. Di tempat lain mungkin tidak seekstrim persoalan di atas, tetapi boleh jadi pembiaran atas pelbagai aktivitas mulai terasa bahkan mulai mengkawatirkan berbagai pihak, walau hanya dihati belaka.

Konflik mungkin belum hadir secara kasat mata, tetapi konflik batin mulai terasa di antara anggota jemaat. Pembiaran hal demikian hanya masalah waktu untuk menjadi disharmoni diantara sesama jemaat.

Keprihatinan Paulus

Dalam Alkitab, kita temukan bahwa Paulus memberikan perhatian yang besar terhadap perpecahan di dalam jemaat. Setidaknya ada dua surat yang dikirimkan Paulus yaitu surat Roma dan Surat kepada jemaat Korintus yang mengangkat persoalan perpecahan di dalam jemaat, dengan pola yang berbeda.

Pertama, dalam Surat Paulus kepada jemaat Roma, keprihatinan Paulus didasari pada kejadiaan yang ada di lingkungan Yunani-Romawi. Dalam masyarakat Roma ada cerita mengenai pemberontakan kaum plebeii (rakyat kecil) yang merasa tertekan oleh kaum patricii, golongan atas. Mereka meninggalkan kota Roma dan hendak mendirikan kota yang baru. Lalu seorang wakil dari golongan patricii mendatangi mereka dan menceritakan kepada mereka kisah anggota tubuh (tangan dan kaki) yang tidak mau lagi capai mencari makanan bagi perut, sebab mereka tidak kebagian. Laparlah perut. Tetapi sesudah beberapa lama, waktu semua anggota tubuh termasuk tangan dan kaki, ikut menderita. Maka sadarlah tangan dan kaki maka mereka kembali menunaikan tugasnya.

Perumpamaan tersebut dikutip Paulus untuk menggambarkan keprihatinannya atas ketidak peduliaan jemaat Roma terhadap satu dengan lainnya. (Rom. 12 :4-5). Karunia yang dimiliki seolah hanya untuk dimiliki sendiri, kalaupun seseorang mengambil peran di dalam jemaat karena karunia yang dimilikinya, peran itu tidak lagi dilakukan dengan sepenuh hati (Rom.12 :6-8).

Kondisi jemaat Roma yang terdiri dari Yahudi dan non Yahudi, sangat memungkinkan terbentuknya pengelompokkan berdasarkan kebangsaan (baca etnis) maupun berdasarkan keadaan ekonomi, hal ini dimungkinkan mengingat kota Roma adalah kota kosmopolitan yang dihuni para saudagar kaya dan juga buruh serta budak yang miskin.

Kondisi masyarakat yang majemuk, semula diharapkan menjadi kekuatan dalam persekutuan di jemaat, pada kenyataannya yang terjadi adalah hal yang sebaliknya, setidaknya menurut pandangan Paulus. Karunia seseorang tidak dijadikan sebagai berkat yang mempersatukan bagi jemaat, tetapi menghadirkan dinding pemisah.

Kedua, surat Paulus kepada jemaat di Korintus yang didasari adanya perselisihan di dalam jemaat karena adanya keberpihakan terhadap aliran-aliran yang mereka kagumi, seperti Apolos dan Paulus (1Kor.3 :4-5). Mereka menonjolkan aliran masing-masing, para pengikut Apolos merasa memiliki keunggulan dibandingkan dengan pengikut Paulus. Mereka larut pada “dogma” masing-masing sehingga gagal untuk memahami bahwa kabar yang dibawa Apolos dan Paulus adalah kabar yang sama yang disampaikan oleh Yesus Kristus.

Demikian halnya dengan ketidak mampuan mereka untuk berbagi satu sama lain (1Kor.11: 21), perjamuan malam yang seyogianya untuk memperlihatkan kesetaraan dan kesehatian mereka, serta melatih mereka untuk berbagi satu sama lain, pada kenyataannya hanya menjadi ajang untuk mempertontonkan kemampuan masing-masing individu dan kelompoknya, menurut Paulus hal ini menjadi cerminan kegagalan mereka untuk memahami kesatuan dalam kepelbagaian (1Kor.12 :12-26).

Hakekat Pelayanan

Paulus menyadari adanya rupa-rupa pelayanan (1Kor. 12 :5) yang bersumber pada satu Tuhan. Paulus tidak melihat pelayanan seperti memperlihatkan kemurahan, menolong orang lain dalam kesusahan atau sekedar memperlihatkan rasa simpatik adalah pelayanan yang lebih rendah dibanding dengan karunia-karunia karismatis yang jelas lebih “rohani”. Itulah yang dilupakan orang-orang korintus, yang mengejar karunia-karunia tanpa pelayanan kasih kepada orang lain (bnd. 1Kor. 13).

Aktivitas warga jemaat dalam komisi pelawatan saat menghibur orang sakit, ataupun menguatkan mereka yang berduka, tidaklah lebih rendah nilainya dibandingkan kotbah seorang pengkotbah di atas mimbar. Itulah kira-kira yang diingatkan Paulus kepada kita saat ini.

Allah dalam memperlengkapi umat-Nya dengan karunia-Nya tidaklah dimaksudkan diberikan untuk dinikmati secara pribadi, melainkan untuk kepentingan bersama. Seperti suatu tindakan mungkin sah, tetapi tidak baik bila tidak berhasil melayani orang lain (1kor.6 :12; 10 :23), demikian halnya dengan memiliki karunia roh tidak banyak artinya (kecuali, mungkin untuk kebanggaan pribadi) bila tidak digunakan untuk kepentingan orang lain.

Dalam konteks pelayanan, Paulus tidak berbicara tentang jemaat sebagai sebuah oraganisasi, melainkan organisme. Ia bukanlah sebuah sturuktur eksternal, melainkan orang-orang yang terjalin bersama, dengan masing-masing anggotanya melayani keseluruhan tubuh itu dengan memenuhi fungsi yang telah ditetapkan kepadanya. Lebih jauh, jemaat itu bukanlah semata-mata seperti sebuah tubuh; ia adalah tubuh Kristus (1Kor.12 :4-11).

Sebagaimana Paulus menggambarkan dalam Roma 12 :4-5 contoh tubuh manusia itu meng-gambarkan kepelbagaian rohani di dalam satu Tubuh Kristus. Orang-orang Korintus tahu benar tentang kepelbagaian ini, jadi maksud utamanya bukanlah kepelbagaian karunia dan anggota melainkan keesaan jemaat. Itu sebabnya Paulus memulai dengan pernyataan sentral : Tubuh manusia itu satu, sekalipun banyak, merupakan satu tubuh; tidak ada satu bagian atau organ pun yang dapat berada atau berfungsi di dalam dirinya sendiri, yang dapat mengklaim bahwa ia adalah sesuatu yang terpisah dari kesatuan organisme yang hidup keseluruhannya. Demikian pula Kristus di dalam Tubuh-Nya yaitu jemaat.

Singkatatnya Paulus tidak melihat anggota jemaat terpisah satu sama lain, dengan pandangan yang sama, Ia melihat setiap anggota memiliki peran dalam membangun sebuah jemaat dengan talenta yang dimilikinya. Tangan tidaklah lebih berharga dibandingkan dengan mata atau mulut, demikian halnya dengan kaki. Penerima tamu dengan sapaannya yang menghangatkan tidaklah kurang penting dibandingkan dengan pemimpin pujian atau lektor bahkan pengkotbah sekalipun. Masing-masing pelayan memiliki keunikan fungsi masing-masing untuk mendukung keutuhan pelayanan bagi kemuliaan nama Tuhan.

Merubah Pola Pikir

Bukan Paulus namanya jika tidak memberikan jalan keluar terhadap persoalan yang menjadi keprihatinannya. Demikian halnya dengan persoalan yang ada di jemaat Roma dan Korintus. Pertikaian yang terjadi menurut Paulus adalah buah dari kegagalan mereka dalam memahami makna pelayanan dan peran setiap anggota jemaat di dalam sebuah jemaat.

Paulus dengan tegas memberikan cara untuk dapat mengambil peran yang semestinya sebagai pengikut Tuhan, yaitu dengan cara berubah (metamorphousthai-Yun) melalui pembaharuan pemikiran (nous-Yun) LAI menerjemahkan budi (mind –NIV) lebih tegas CEV menerjemahkan but let God change the way you think (Rom.12: 2b).

Kata metamorphousthai dengan akar kata morphe berarti suatu bentuk atau unsur pokok yang tidak berubah, pengertian ini berbeda dengan schema yang merupakan bentuk luar yang selalu berubah-ubah. Dalam hal ini Roma 12 :2 “Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna.” Berarti untuk tidak sama dengan dunia yang penampilan luarnya selalu berubah (schema), kita harus mengalami perubahan (morphe) hingga unsur pokok pemikiran tidak berubah. Dalam kondisi ini kita dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna.

Dengan bahasa yang lebih sederhana dapat disampaikan, bahwa untuk mengerti kehendak Allah, dan memahami peran di dalam jemaat diperlukan pembaharuan pola pikir secara permanen di dalam roh kudus. Pola pikir yang berubah dimaksud Paulus bukan yang tergantung pada situasi. Artinya saat posisi yang menguntungkan dalam pelayanan (misalnya ditempatkan pada posisi yang dikehendaki) dengan senang hati mengambil peran, namun saat sebaliknya sulit untuk memberikan dukungan. Atau saat pihak yang kita sukai mengambil peran kita sudi melibatkan diri, namun jika tidak, kita hanya sebagai penonton. Jika itu yang terjadi, kita masih sama dengan dunia yang senantiasa mengalami perubahan pada sisi luar semata (schema), tetapi Paulus menginginkan kita berubah secara total (morphe).

Gereja masa kini

Andai Paulus akan menuliskan suratnya kepada jemaat kita saat ini, apakah ia akan menuliskan sebuah keprihatinan atau pujian kebanggaan seperti kepada jemaat di Filipi ?

Kehidupan jemaat di dalam gereja modern saat ini kadang menjadi antiklimaks, dengan alasan kesatuan dan damai sejahtera, perbedaan pendapat seolah menjadi kealpaan demi menciptakan damai sejahtera. Kecenderungan yang terjadi bahwa perbedaan pendapat menjadi “tabu” kritik menjadi “haram” hingga segala ide diputuskan “nyaris” dengan kata bulat sesuai hirarkhi jabatan gerejawi. Hakiki hal ini tidaklah salah jika apa yang diputuskan menjadi milik bersama. Namun yang kerap disayangkan keputusan seolah menjadi milik si penggagas, sementara para “follower” (partisipan) cukup menjadi penonton akibat lemahnya pembedahan konsep sebelum diputus atau ketiadaan rasa memiliki terhadap keputusan yang diambil.

Benarkah gereja harus berjalan tanpa perbedaan pendapat dan daya kritis? Mari melihat hubungan Paulus dan Petrus. Petrus adalah pemimpin jemaat mula-mula bersama Yakobus saudara Yesus, sedang Paulus bukan termasuk dari keduabelas murid Yesus yang setia menemaninya di kala Yesus hidup. Namum saat Petrus berlaku “munafik” terhadap kalangan kristen non Yahudi, secara tegas Paulus mengkritik. Yang terjadi kemudian adalah pembaruan dalam pola pikir Yakobus terhadap keselamatan bagi kaum non Yahudi. Pada sisi lain, hubungan Petrus dengan Paulus tidak mengalami kerenggangan.

Tentu tidak seluruh perselisihan di antara para Rasul membawa “happy ending” lihat saja hubungan Paulus dan Barnabas, mereka akhirnya berpisah dalam pelayanan karena berbeda pendapat perihal Yohanes yang disebut Markus (Kis.15: 37-41), tetapi mereka tetap tidak berubah dalam panggilannya untuk memberitakan kabar baik.

Menurut penulis kondisi tersebut tercipta setidaknya di dasari pada dua hal, pertama Paulus, Petrus maupun Barnabas memiliki tujuan yang sama, yaitu melayani Tuhan dengan memberitakan kabar baik. Paulus, Petrus dan Barnabas, dapat dipastikan memiliki kepentingan pribadi yang berbeda, tetapi kepentingan pribadi mereka tidak melampaui tujuan bersama sebagai hamba Tuhan, yaitu melayani Tuhan. Kedua mereka terbuka terhadap pembaharuan. Petrus terbuka untuk dikoreksi walaupun oleh seorang pengikut Kristus yang lebih junior, Paulus bersedia menerima perbedaan pendapat dengan Barnabas, walau Barnabaslah yang pertama kali mengenalkan Paulus kepada para murid, (Kis.4 :36) dan teman sepelayanannya.

Tidak jarang symptom (gejala) dari perpecahan di dalam jemaat diawali dari lemahnya pemahaman akan tujuan yang sama dari setiap warga jemaat. Kepentingan kelompok misalnya melampaui tujuan, sentimen pribadi melampaui panggilan tugas pelayanan. Perbedaan pandangan belum menjadi sebuah proses untuk menghasilkan hal yang lebih baik. Respon yang memadai terhadap symptom diharapkan akan mencegah munculnya ketidakpedulian terhadap aktivitas geraja bahkan konflik yang terbuka.

Harapan

Kesatuan dalam kepelbagaian bukanlah suatu proses instan yang dapat dicapai dalam waktu singkat, ini adalah proses yang berkelanjutan yang dimulai dari proses kepekaan setiap jemaat akan perannya di dalam sebuah jemaat.

Bagaikan anak kecil yang kerap diingatkan untuk memberi salam kepada orang yang ditemuinya, pada saatnya ia akan melakukan hal tersebut tanpa harus diingatkan. Demikian halnya dengan jemaat, kepekaan akan hadir bila hal itu kerap diperbincangkan. Media terdepan dalam sebuah gereja adalah kotbah.

Kebiasaan memperbincangkan kehidupan jemaat sebagai sebuah ilustrasi yang relevan dengan topik kotbah menurut penulis dapat mendorong kepekaan dan kepedulian diantara sesama jemaat. Setidaknya ajakan untuk berbagi kasih kepada jemaat dalam arti luas, yang kerap disampaikan dalam doa, tentu pada waktunya akan membuahkan kepekaan satu sama lain.

Jika Paulus seorang penganiaya jemaat dapat merubah pola pikirnya menjadi pelayan jemaat Tuhan, maka bukan hal yang sulit bagi kita sebagai anggota jemaat yang memiliki Alkitab untuk dapat merubah pola pikir untuk ambil peran.

Akhirnya, biarlah kita berharap jika Paulus akan menuliskan suratnya kepada kita, yang tertulis sebagai kata pembukanya adalah “Aku mengucap syukur kepada Allahku setiap kali aku mengingat kamu. Dan setiap kali aku berdoa untuk kamu semua, aku selalu berdoa dengan sukacita. Aku mengucap syukur kepada Allahku karena persekutuanmu dalam Berita Injil mulai dari hari pertama sampai sekarang ini. (Flp. 1 :3-5)

Bacaan :

1. Dave Hagelberg, Tafsiran Surat Roma dari Bahasa Yunani, Yayasan Kalam Hidup, Bandung, 2004.

2. Th van den End, Tafsiran Alkitab : Surat Roma, BPK Gunung Mulia, Jakarta :2003.

3. Hasan Susanto, Perjanjian Baru Interlinear Yunani-Indonesia dan Konkordansi Perjanjian Baru (PBIK), LAI, Jakarta : 2004

4. R.A. Jaffray, Tafsiran Surat Roma, Yayasan Kalam Hidup, Bandung, 2007.

5. V.C. Pfitzner, Kesatuan dalam Kepelbagaian : Tafsiran atas surat 1 Korintus, BPK Gunung Mulia, Jakarta :2004.

6. William Barclay, Pemahaman Alkitab setiap hari Surat Roma, BPK Gunung Mulia, Jakarta :2003.

7. William Barclay, Pemahaman Alkitab setiap hari Surat 1 & 2 Korintus, BPK Gunung Mulia, Jakarta :2008.
Tulisan ini dimuat dalam Buletin Mercusuar Edisi 19/Desember 2010.