SELAMAT DATANG DI "TEOLOGI KAUMAWAM"

Salam dalam Kasih Tuhan Yesus Kristus. Terimakasih telah mampir di blog yg sederhana ini. Kami sangat berterimakasih bila saudara berkenan memberi tanggapan atas tulisan yang saudara baca di blog ini. Karena dengan tanggapan itu kami akan dapat belajar dan berbagi, sebab untuk itulah blog ini dibuat agar hidup kita tetap terpelihara dalam persekutuan. Semua tulisan dalam blog ini dapat dikutip dengan tetap mencantumkan sumbernya. Kiranya Tuhan Yesus memberkati kita. Pax Vobiscum, Erianto Hasibuan

Minggu, 04 April 2010

Profesi tanpa Roh

Oleh : P. Erianto Hasibuan
Belum lama anak kami bercerita bahwa ada temannya tiba-tiba mogok sekolah, Nanda (bukan nama sebenarnya) hanya mau sekolah bila ditemani oleh keluarganya di dalam kelas. Mendengar cerita tersebut hati kami tergerak dan mencoba mengunjungi keluarga ini. Si anak yatim menurut penuturan si ibu ditinggal pergi Papanya kala ia masih belum sekolah. Sebagai anak tunggal ibunya memberikan kasih sayang yang penuh, si ibu yang single parents kemudian memindahkan sekolah anaknya untuk lebih memudahkan dalam transportasi. Namun perlakuan yang simpatik dari sekolahnya terdahulu tidak ditemukan si anak di sekolah yang baru. Si ibu telah beberapa kali menemui sang guru kelas, bahkan kepala sekolah namun belum ada solusi, bahkan pembicaraan lebih intensif dengan si anak ataupun dengan orang tua belum pernah dilakukan, “ padahal saya kerap membawa kue buat gurunya lho bu” tutur si ibu kepada kami saat berkunjung ke rumah mereka.
Penasaran dengan kondisi tersebut, kami mencoba mencari tahu berbagai informasi mengenai Nanda dan situasi sekolah dari anak kami. Singkat cerita, Nanda saat baru masuk ke kelas (sebagai siswa pindahan) tidak sempat diperkenalkan sang guru dan langsung mengikuti pelajaran sebagaimana siswa yang lain. Pada saat yang bersamaan sang guru menegur dengan keras teman sebangku Nanda. Setelah peristiwa itu Nanda masih bersekolah, namun kemudiaan Nanda kerap di “ledekin” teman sekelasnya dan itulah awal Nanda kerap tidak masuk sekolah, hingga akhirnya terjadi “pemogokan” dan hanya mau ke sekolah bila ditemani orang tua atau saudaranya di dalam kelas.
Dalam keseharian, kami memang kerap mendengar anak kami bercerita bagaimana guru mereka menegur dengan keras teman sekelasnya yang lambat dalam menulis dan mengerjakan pekerjaan di sekolah (PS) maupun yang tidak mengerjakan pekerjaan rumah (PR). Bahkan klaim bahwa si A merupakan calon tidak naik kelas, merupakan menu cerita yang kerap kami dengar.
Input vs Output
Secara kasat mata prestasi sebuah sekolah selalu dinilai dari berapa prosen para siswanya dapat lulus dengan nilai baik (bahkan terbaik) dan dapat melanjutkan ke sekolah favorit (ternama). Ukuran prestasi secara kuantitatif menjadi tujuan utama dari lembaga pendidikan. Tujuan tersebut secara otomatis menjadi sasaran pokok yang ditekankan pengelola lembaga pendidikan kepada setiap guru (tenaga pendidik). Bahkan saat ini sudah bukan rahasia lagi, bahwa mata pelajaran yang di ujikan secara nasional menjadi “primadona”.
Mungkin kurang santun jika dikatakan bahwa profesi pendidik saat inipun sudah diperlakukan laiknya sebuah mesin yang harus bekerja secara efisien dengan ukuran adalah perbandingan input vs output. Sejatinya kondisi tersebut telah menjadi fakta diberbagai tempat.
Pengalaman penulis saat menjadi tenaga pengajar di salah satu STIE (Swasta) di kota Medan, adalah secuil contoh, yang sudah barang tentu belum dapat digeneralisasi. Saat itu beberapa tenaga pengajar dipanggil oleh pengurus Yayasan berkaitan dengan hasil qesioner dari para mahasiswa/i. Pada dasarnya kami diminta untuk dapat meningkatkan rating dari hasil qesioner. Sudah menjadi semacam aksioma, bahwa para anak didik, keinginannya adalah nilai bagus tanpa kerja keras. Sehingga penilaian (qesioner) oleh para mahasiswa/i secara umum akan mengarah kepada para pengajar yang memberi banyak kemudahan (kompromistis) tetapi nilai tetap bagus.
Bagi tenaga pengajar yang tetap bertahan dengan “idealisme”nya, kita sudah pasti bisa menebak ke mana ujungnya. Namun bagi tenaga pengajar yang masih memerlukan pernafkahan dari tempat kerja tersebut, mau tidak mau, suka tidak suka, akan mengikuti arah yang dikehendaki oleh pengelola.
Pada akhirnya Sang tenaga pendidik “cenderung” melihat anak didiknya secara homogen sebagai sebuah input yang harus memberikan output sesuai standard yang ditetapkan bagi sekolahnya, hingga kerap melupakan hal yang paling hakiki dari kemanusiaan yaitu keberagaman dari perasaan. Inilah mungkin yang sedang di alami oleh Nanda, seorang anak yang secara lahiriah tidak memiliki perbedaaan dengan anak yang lain, namun perasaannya yang tak kasat mata membutuhkan sentuhan tersendiri.
Profesi kerap mengalami degradasi saat tiada lagi waktu dan peluang untuk merenung makna hakiki dari profesi yang digeluti, dalam himpitan tuntutan kejaran target bagaikan mengejar bayangan sendiri yang tak kunjung usai. Proses kadang terabaikan demi hasil, sehingga menghadirkan seseorang yang mau mendengar dan memberikan dukungan adalah kelangkaan pada era ini.
Cara Pandang Yesus.
Sejak dari sekolah minggu kita sudah hafal bahwa kedatangan Yesus ke dunia adalah untuk menebus dosa manusia. Jika kita mengibaratkan Yesus adalah seorang profesional, maka tugas pokok dari profesi yang dijalankannya adalah menebus dosa manusia. Namun mengapa dalam perjalanan pelayanannya banyak hal yang dilakukan-Nya seolah menyimpang dari tujuannya ? misalnya mengadakan mujizat melalui penyembuhan orang sakit maupun merubah air menjadi anggur ? apakah itu tidak menyimpang dari tujuan pokoknya datang ke dunia ?
Mari memperhatikan cara pandang Yesus atas mujizat yang dilakukannya, saat menyembuhkan seorang lumpuh sebagaimana yang dituliskan dalam Injil Markus 2:5 (bnd Luk. 5:20), Yesus tidak mengatakan “berjalanlah” tetapi "Hai anak-Ku, dosamu sudah diampuni", apa kaitannya dosa dengan kelumpuhan ?.
Yesus paham betul cara pandang orang Yahudi pada masanya, bahwa sakit penyakit adalah buah dari hukuman karena dosa. Demikian halnya dengan si lumpuh, kesembuhan semata belum dapat mengembalikan kepercayaan dirinya sebagai warga masyarakat yang normal, jika rasa bersalah akan keberdosaannya masih meliputi hati dan pikirannya. Hal yang tak terlihat ini yang dipahami dengan baik oleh Yesus untuk memulihkan si lumpuh dengan seutuhnya dengan mengatakan "Hai anak-Ku, dosamu sudah diampuni". Yesus mampu melihat lebih dari sekedar tampilan luar semata.
Demikian halnya saat Yesus mentahirkan orang kusta (Luk. 5 :13-14), Yesus melarang orang itu untuk memberitahukannya kepada siapapun, tetapi mengatakan : "Pergilah, perlihatkanlah dirimu kepada imam dan persembahkanlah untuk pentahiranmu persembahan seperti yang diperintahkan Musa, sebagai bukti bagi mereka." Penderita kusta adalah kelompok yang “terpinggirkan” dan “terbuang” dari komunitasnya, mereka dapat kembali ke komunitasnya secara utuh hanya bila mereka sudah menjalani prosesi pentahiran dengan persembahan oleh para imam. Yesus memahami dengan baik apa yang dibutuhkan mereka, bukan sekedar pentahiran, tetapi penerimaan oleh masyarakat sebagai warga yang normal. Inilah wujud Kasih yang yang diajarkan Yesus kepada kita yaitu Kasih yang melampaui kasih biasa yang reaktif dan kasat mata.
Contoh lain yang menarik adalah, perumpamaan Yesus tentang Domba yanng sesat dalam Matius 18 : 12-14. Dari seratus ekor domba, ada seekor domba tersesat, maka si pemilik domba meninggalkan yang sembilan puluh sembilan ekor untuk mencari satu ekor yang tersesat. Logika kita di era ini, yang melihat profesi sebagai sebuah proses input dan output, tidak akan melakukan itu, karena kita selalu memandang input secara homogen, sebagaimana kasus yang di alami oleh Nanda. Namun Yesus memberikan pandangan yang hakiki dari sebuah profesi. Jika tujuan profesi adalah menebus dosa manusia, maka ukurannya tidak hanya sekedar input dan output, tetapi lebih dari itu, hingga si pemilik rela berlelah-lelah meninggalkan yang 99 ekor dan mencari seekor yang tersesat. Dengan demikian si pemilik memperoleh kegembiraan yang lebih besar (suka cita).

Refleksi.
Kerap kita merasa bahwa bila kita tidak melanggar ketentuan yang ada pada tempat kerja atau kode etik profesi, kita sudah melaksanakan profesi kita dengan baik. Namun Yesus telah memberikan contoh secara nyata dan jelas, bahwa Yesus tidak hanya sekedar melihat apa yang muncul dipermukaan, tetapi apa yang dapat memulihkan seseorang secara utuh.
Nanda, “mogok” sekolah hanyalah sebuah sympotm namun yang ia butuhkan adalah sebuah perhatian yang melampaui sekedar hubungan transfer knowledge dari sang guru. Kedatangan orang tua ke sekolah berkali-kali adalah sinyal yang kuat bahwa Nanda membutuhkan perhatian lebih untuk memulihkan dia menjadi kembali ke kondisi sedia kala.
Tidak salah secara hukum dan disiplin bagi sang guru untuk tetap melaksanakan tugasnya sebagaimana seharusnya tanpa memberikan perhatian lebih pada Nanda, tetapi itu adalah Sang guru biasa atau sang guru yang melaksanakan profesi nya tanpa Roh, karena belum mampu memaknai teladan yang telah diberikan Yesus dalam melakukan profesinya.
Teladan Yesus menunjukkan sebuah profesi yang dimaknai dengan baik, bagaimana seharusnya kita memulihkan keadaan sesama melalui profesi yang kita jalankan. Tidaklah cukup hanya melihat yang kasat mata, karena itu hanya sebuah profesi yang biasa namun ada kerelaan untuk berlatih bertindak sebagai mana Yesus telah memberi teladan bagi kita semua. Mari mulai melakukan profesi kita sebagai profesi yang jiwa bukan profesi tanpa Roh. Selamat berlatih. (has0210) Tulisan ini di muat dalam Bulletin Mercusuar Edisi 16/Maret 2010. hlm.36-39.