SELAMAT DATANG DI "TEOLOGI KAUMAWAM"

Salam dalam Kasih Tuhan Yesus Kristus. Terimakasih telah mampir di blog yg sederhana ini. Kami sangat berterimakasih bila saudara berkenan memberi tanggapan atas tulisan yang saudara baca di blog ini. Karena dengan tanggapan itu kami akan dapat belajar dan berbagi, sebab untuk itulah blog ini dibuat agar hidup kita tetap terpelihara dalam persekutuan. Semua tulisan dalam blog ini dapat dikutip dengan tetap mencantumkan sumbernya. Kiranya Tuhan Yesus memberkati kita. Pax Vobiscum, Erianto Hasibuan

Minggu, 28 Oktober 2012

Bocah yang tak pernah memberi

Oleh : P. Erianto Hasibuan
“Dan barangsiapa menyambut seorang anak seperti ini dalam nama-Ku, ia menyambut Aku." (Mat. 18:5)

                Persaingan untuk mendapatkan posisi terbaik sudah ada sejak era purbakala. Persaingan di dorong oleh ambisi untuk mendapat yang terbaik. Tidak kecuali dengan para murid Yesus, mereka berdebat untuk memperbincangkan, siapa diantara mereka yang terbesar dalam Kerajaan Sorga. Meski yang mereka perdebatkan siapa yang terbesar di dalam Kerajaan Sorga, namun pada pokoknya mereka sedang memperbincangkan siapa yang terbesar diantara mereka.
                Mengapa persaiangan ini senantiasa hadir di dalam setiap lini kehidupan? karena setiap orang ingin mendapatkan lebih, bukankah yang terbesar akan mendapatkan bagian terbesar? Itulah pemahaman yang ada diantara para murid, sebagaimana yang diutarakan “the Venerable Bede” (Barclay, 2005 hal.183) bahwa pertengkaran ini timbul berhubung Yesus telah membawa serta Petrus, Yohanes dan Yakobus ke atas gunung pada waktu Yesus dimuliakan (Mat.17: 1). Murid-murid yang lain merasa iri hati. Penulis injil Matius memang tidak menuliskan pertengkaran ini secara eksplisit, tetapi penulis injil Lukas secara eksplisit menuliskannya. (Luk. 9: 46-48)
                Pemahaman para murid akan persaingan, oleh Yesus diluruskan dengan mengambil contoh seorang anak kecil (bocah). Pertanyaannya tentu kenapa harus bocah? apakah tidak ada ilustrasi lain yang lebih tepat utntuk digunakan Yesus ? Bocah, yang ditempatkan di antara keduabelas murid Kristus itu, tentu saja tidak berdiri di situ penuh kesombongan. Kita dapat bayangkan, bahwa sebaliknya anak itu merasa agak malu ditengah-tengah orang dewasa itu, dan dapatlah dikatakan bahwa anak itu menginsafi kekecilannya (Heer, 2003). Di sinilah kepiawaian Yesus dalam memberikan contoh. Yesus meminta mereka untuk bertobabat dan menjadi seperti anak kecil (bocah) dan merendahkan diri menjadi seperti anak kecil (bocah) (Mat. 18:3-4). Pertengkaran para murid jelas dipicu pada rasa untuk “meninggikan diri”, mereka ingin tahu siapa di antara mereka yang terbesar, apakah Yakobus sebagai saudara Yesus ?, atau Petrus seorang yang memberikan pengakuan spektakuler akan kemesiasan Yesus? atau bahkan murid yang lain. Ambisi ini ternyata tidak hanya sebatas di antara para murid, tetapi meluas ke pada orang tua para murid, lihat saja bagaimana ibu Yakobus dan Yohanes yang secara khusus datang menemui Yesus dan meminta agar kedua anaknya mendapat posisi terhormat (Mat. 20: 21).
                Sifat dasar dari seorang bocah adalah ketulusan hatinya, tergambar dari keluguannya. Kita kerap tertawa melihat tingkah pola seorang bocah, karena reaksinya adalah reaksi spontan tanpa kamuflase (kepura-puraan). Bandingkan sifat itu dengan sifat para murid yang telah melakukan kalkulasi, apa yang akan saya dapatkan dengan mengikut Yesus. Sekalipun tidak dikatakan secara eksplisit tetapi pada kesempatan yang lain, Petrus dengan segala sifat ekspresifnya mempertanyakan, apa yang akan diperolehnya setelah ia mengikuti Yesus. (Mat.19:27)  Adakah seorang bocah yang berkenan bermain atau melakukan sesuatu dengan temannya mempertanyakan upah yang akan diterimanya? Sifat bocah penuh dengan sukacita, ia akan melakukan apapun yang ia sukai dengan suka cita, tanpa memperhitungkan seberapa banyak waktu dan energi yang telah dan akan ia keluarkan atau apa upah yang akan dia dapatkan. Tidak demikian dengan orang dewasa, penuh dengan perhitungan. Demikian halnya dengan peran yang akan dimainkan si bocah, ia tidak akan mempertanyakan apakah ia akan jadi pemimpin atau sekedar penggembira, baginya bisa ikut serta dalam aktivitas kelompok mereka adalah sebuah sukacita besar. Karekter inilah yang ingin dihadirkan Yesus melalui perumpamaan seorang bocah.
                Dengan karakter demikian,  pada akhirnya Yesus sampai pada inti yang akan disampaikan kepada para murid perihal motif menjadi murid Yesus, dengan mengumpamakan menyambut seorang bocah sebagai menyambut Yesus.


Motif Pelayanan
                Anda dan saya tentu memiliki motif yang berbeda untuk mengambil bagian dalam pelayanan. Setiap motif yang disampaikan tentu memiliki alasan masing-masing. Namun bagaimana sesungguhnya alasan untuk melayani sebagai murid Yesus ?
                Seorang bocah adalah orang yang lemah, yang menggambarkan tentang orang yang memerlukan sesuatu (Barclay, 2006 hal. 371). Bocah tidak memiliki apapun yang bersumber dari dirinya, kecuali kalau ia diberi. Motif pelayanan terhadap sesama menurut konteks ini adalah MEMBERI bukan menerima, sebagaimana yang dipertengkarkan para murid. Menjadi yang terbesar menurut persepsi para murid saat itu adalah untuk mendapatkan lebih dari yang lain. Menerima saudara (dalam arti seiman maupun sesama manusia ciptaan Tuhan) menurut konteks pengajaran Yesus adalah memberi kepada mereka yang memerlukan.
                Seorang bocah tidak memiliki kekuasaan untuk memberikan anda kenaikan jabatan, bila anda menerima dan melayaninya, ataupun membantu anda untuk memenangkan sebuah tender, atau menambah pundi-pundi harta anda. Yang dapat anda lakukan kepada bocah hanya memberi dan memberi. Memberi hidup bagi pelayanan adalah membantu dan mencintai orang yang di mata dunia tidak mempunyai apa-apa, maka anda dan saya sudah melayani Allah. Jikalau anda bersedia untuk mengorbankan hidupmu untuk melakukan hal-hal yang kelihatannya tidak penting ini dan tidak pernah mencoba untuk menjadi apa yang oleh dunia disebut besar, maka anda akan besar di hadapan Allah (Barclay, 2005 hal. 183).
                Barclay dengan elok menuliskna cerita A.J Cronin mengenai juru rawat desa yang ia kenal ketika berprakterk sebagai dokter. Selama dua puluh tahun, seorang diri juru rawat itu melayani desa yang jaraknya sepuluh mil. “Saya takjub,” kata dokter itu, “atas keberadaannya, keteguhan hati dan keramahtamahannya”. Ia rasanya tidak pernah merasa lelah pada malam hari untuk memenuhi panggilan yang mendadak. Gajinya hanya pas-pasan saja, dan pada suatu malam yang larut sesudah suatu hari yang sangat giat, saya mengajukan protes kepadanya, “ Suster, kenapa anda tidak meminta mereka untuk membayar lebih banyak lagi? Allah tahu bahwa anda layak untuk itu”.  Juru rawat itu menjawab : ”Kalau Allah tahu bahwa saya layak untuk itu, maka hal itu sudah cukup bagiku.” Ia bekerja bukan hanya bagi manusia, tetapi bagi Allah.
                Tidak masalah apa motif anda dan saya saat ini untuk melayani, tetapi mari memperbaharui motif pelayanan kita hingga kita dapat tidak sekedar mengatakan, tetapi melakukan seperti apa yang disampaikan Paulus “Upahku ialah ini : bahwa aku boleh memberitakan Injil tanpa upah, dan bahwa aku tidak mempergunakan hakku sebagai pemberita Injil”. (1 Kor. 9:  18). Jadi tidak peduli saya menjadi apa dan orang lain menjadi apa, yang penting saya dapat memberi dan memberi tanpa memperdebatkan apakah orang lain juga akan memberi seperti yang saya lakukan. SELAMAT MEMBERI untuk MEMBERI. (erh 19052012 pwt) 
Tulisan ini dimuat dalam Buletin Mercusuar Edisi 25 Juli 2012.   

Bacaan :
Barclay, William, The Daily Bible Study : The Gospel of Mark,  Diterjemahkan oleh Wenas Kalangit, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2006.
Barclay, William, The Daily Bible Study : The Gospel of Luke,  Diterjemahkan oleh A.A Yewangoe, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2005.
Heer, J.J. de, Tafsiran Alkitab : Injil Matius pasal 1-22,  BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2003.
http://teologiawam.blogspot.com  di akses 18 Mei 2012.