Oleh : P. Erianto Hasibuan
“Dan barangsiapa
menyambut seorang anak seperti ini dalam nama-Ku, ia menyambut Aku." (Mat.
18:5)
Persaingan
untuk mendapatkan posisi terbaik sudah ada sejak era purbakala. Persaingan di
dorong oleh ambisi untuk mendapat yang terbaik. Tidak kecuali dengan para murid
Yesus, mereka berdebat untuk memperbincangkan, siapa diantara mereka yang
terbesar dalam Kerajaan Sorga. Meski yang mereka perdebatkan siapa yang
terbesar di dalam Kerajaan Sorga, namun pada pokoknya mereka sedang
memperbincangkan siapa yang terbesar diantara mereka.
Mengapa
persaiangan ini senantiasa hadir di dalam setiap lini kehidupan? karena setiap
orang ingin mendapatkan lebih, bukankah yang terbesar akan mendapatkan bagian
terbesar? Itulah pemahaman yang ada diantara para murid, sebagaimana yang
diutarakan “the Venerable Bede”
(Barclay, 2005 hal.183) bahwa pertengkaran ini timbul berhubung Yesus telah
membawa serta Petrus, Yohanes dan Yakobus ke atas gunung pada waktu Yesus dimuliakan
(Mat.17: 1). Murid-murid yang lain merasa iri hati. Penulis injil Matius memang
tidak menuliskan pertengkaran ini secara eksplisit, tetapi penulis injil Lukas
secara eksplisit menuliskannya. (Luk. 9: 46-48)
Pemahaman
para murid akan persaingan, oleh Yesus diluruskan dengan mengambil contoh
seorang anak kecil (bocah). Pertanyaannya tentu kenapa harus bocah? apakah
tidak ada ilustrasi lain yang lebih tepat utntuk digunakan Yesus ? Bocah, yang
ditempatkan di antara keduabelas murid Kristus itu, tentu saja tidak berdiri di
situ penuh kesombongan. Kita dapat bayangkan, bahwa sebaliknya anak itu merasa
agak malu ditengah-tengah orang dewasa itu, dan dapatlah dikatakan bahwa anak
itu menginsafi kekecilannya (Heer, 2003). Di sinilah kepiawaian Yesus dalam
memberikan contoh. Yesus meminta mereka untuk bertobabat dan menjadi seperti
anak kecil (bocah) dan merendahkan diri menjadi seperti anak kecil (bocah)
(Mat. 18:3-4). Pertengkaran para murid jelas dipicu pada rasa untuk
“meninggikan diri”, mereka ingin tahu siapa di antara mereka yang terbesar,
apakah Yakobus sebagai saudara Yesus ?, atau Petrus seorang yang memberikan
pengakuan spektakuler akan kemesiasan Yesus? atau bahkan murid yang lain. Ambisi
ini ternyata tidak hanya sebatas di antara para murid, tetapi meluas ke pada orang
tua para murid, lihat saja bagaimana ibu Yakobus dan Yohanes yang secara khusus
datang menemui Yesus dan meminta agar kedua anaknya mendapat posisi terhormat
(Mat. 20: 21).
Sifat
dasar dari seorang bocah adalah ketulusan hatinya, tergambar dari keluguannya.
Kita kerap tertawa melihat tingkah pola seorang bocah, karena reaksinya adalah
reaksi spontan tanpa kamuflase (kepura-puraan). Bandingkan sifat itu dengan
sifat para murid yang telah melakukan kalkulasi, apa yang akan saya dapatkan
dengan mengikut Yesus. Sekalipun tidak dikatakan secara eksplisit tetapi pada
kesempatan yang lain, Petrus dengan segala sifat ekspresifnya mempertanyakan,
apa yang akan diperolehnya setelah ia mengikuti Yesus. (Mat.19:27) Adakah seorang bocah yang berkenan bermain
atau melakukan sesuatu dengan temannya mempertanyakan upah yang akan
diterimanya? Sifat bocah penuh dengan sukacita, ia akan melakukan apapun yang
ia sukai dengan suka cita, tanpa memperhitungkan seberapa banyak waktu dan
energi yang telah dan akan ia keluarkan atau apa upah yang akan dia dapatkan.
Tidak demikian dengan orang dewasa, penuh dengan perhitungan. Demikian halnya
dengan peran yang akan dimainkan si bocah, ia tidak akan mempertanyakan apakah
ia akan jadi pemimpin atau sekedar penggembira, baginya bisa ikut serta dalam
aktivitas kelompok mereka adalah sebuah sukacita besar. Karekter inilah yang
ingin dihadirkan Yesus melalui perumpamaan seorang bocah.
Dengan
karakter demikian, pada akhirnya Yesus
sampai pada inti yang akan disampaikan kepada para murid perihal motif menjadi
murid Yesus, dengan mengumpamakan menyambut seorang bocah sebagai menyambut
Yesus.
Motif Pelayanan
Anda
dan saya tentu memiliki motif yang berbeda untuk mengambil bagian dalam
pelayanan. Setiap motif yang disampaikan tentu memiliki alasan masing-masing.
Namun bagaimana sesungguhnya alasan untuk melayani sebagai murid Yesus ?
Seorang
bocah adalah orang yang lemah, yang menggambarkan tentang orang yang memerlukan
sesuatu (Barclay, 2006 hal. 371). Bocah tidak memiliki apapun yang bersumber
dari dirinya, kecuali kalau ia diberi. Motif pelayanan terhadap sesama menurut
konteks ini adalah MEMBERI bukan
menerima, sebagaimana yang dipertengkarkan para murid. Menjadi yang terbesar
menurut persepsi para murid saat itu adalah untuk mendapatkan lebih dari yang
lain. Menerima saudara (dalam arti seiman maupun sesama manusia ciptaan Tuhan) menurut
konteks pengajaran Yesus adalah memberi kepada mereka yang memerlukan.
Seorang
bocah tidak memiliki kekuasaan untuk memberikan anda kenaikan jabatan, bila
anda menerima dan melayaninya, ataupun membantu anda untuk memenangkan sebuah
tender, atau menambah pundi-pundi harta anda. Yang dapat anda lakukan kepada
bocah hanya memberi dan memberi. Memberi hidup bagi pelayanan adalah membantu
dan mencintai orang yang di mata dunia tidak mempunyai apa-apa, maka anda dan
saya sudah melayani Allah. Jikalau anda bersedia untuk mengorbankan hidupmu
untuk melakukan hal-hal yang kelihatannya tidak penting ini dan tidak pernah
mencoba untuk menjadi apa yang oleh dunia disebut besar, maka anda akan besar
di hadapan Allah (Barclay, 2005 hal. 183).
Barclay
dengan elok menuliskna cerita A.J Cronin mengenai juru rawat desa yang ia kenal
ketika berprakterk sebagai dokter. Selama dua puluh tahun, seorang diri juru
rawat itu melayani desa yang jaraknya sepuluh mil. “Saya takjub,” kata dokter
itu, “atas keberadaannya, keteguhan hati dan keramahtamahannya”. Ia rasanya
tidak pernah merasa lelah pada malam hari untuk memenuhi panggilan yang
mendadak. Gajinya hanya pas-pasan saja, dan pada suatu malam yang larut sesudah
suatu hari yang sangat giat, saya mengajukan protes kepadanya, “ Suster, kenapa
anda tidak meminta mereka untuk membayar lebih banyak lagi? Allah tahu bahwa
anda layak untuk itu”. Juru rawat itu
menjawab : ”Kalau Allah tahu bahwa saya layak untuk itu, maka hal itu sudah
cukup bagiku.” Ia bekerja bukan hanya bagi manusia, tetapi bagi Allah.
Tidak
masalah apa motif anda dan saya saat ini untuk melayani, tetapi mari
memperbaharui motif pelayanan kita hingga kita dapat tidak sekedar mengatakan,
tetapi melakukan seperti apa yang disampaikan Paulus “Upahku ialah ini : bahwa
aku boleh memberitakan Injil tanpa upah, dan bahwa aku tidak mempergunakan
hakku sebagai pemberita Injil”. (1 Kor. 9:
18). Jadi tidak peduli saya menjadi apa dan orang lain menjadi apa, yang
penting saya dapat memberi dan memberi tanpa memperdebatkan apakah orang lain
juga akan memberi seperti yang saya lakukan. SELAMAT MEMBERI untuk MEMBERI.
(erh 19052012 pwt)
Tulisan ini dimuat dalam Buletin Mercusuar Edisi 25
Juli 2012.
Bacaan :
Barclay, William, The Daily Bible Study : The Gospel of Mark, Diterjemahkan oleh Wenas Kalangit, BPK Gunung
Mulia, Jakarta, 2006.
Barclay, William, The Daily Bible Study : The Gospel of Luke, Diterjemahkan oleh A.A Yewangoe, BPK Gunung
Mulia, Jakarta, 2005.
Heer, J.J. de, Tafsiran Alkitab : Injil Matius pasal 1-22, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2003.
http://teologiawam.blogspot.com di akses 18 Mei 2012.