Oleh : P. Erianto Hasibuan
Judul
tulisan di atas bukan untuk menggambarkan pesimisme bahwa keluarga bukanlah
tempat yang nyaman lagi utuk menabur asa (harapan), atau dengan kata lain
bukanlah suatu padangan yang mereduksi peran keluarga. Tetapi mencoba melihat,
apakah ditengah-tengah perubahan era seperti hadirnya finger generation yang lebih menikmati bermain gadget daripada
bercengkrama satu sama lain. Masikah kebersamaan di dalam keluarga efektif
menjalin komunikasi satu sama lain, ditengah persaingan hiburan yang
mengasikkan seperti televise, game dan gadget. Setiap anggota keluarga seolah
kehabisan waktu untuk bercengkrama satu sama lain, sekalipun jarak tak
membatasi mereka. Dalam kondisi tersebut, apakah keluarga masih mampu menjadi
tempat untuk menabur asa ?
Belajar dari Keluarga Timotius
Sebab aku teringat akan imanmu yang tulus
ikhlas, yaitu iman yang pertama-tama hidup di dalam nenekmu Lois dan di dalam
ibumu Eunike dan
yang aku yakin hidup juga di dalam dirimu. (2 Tim. 1:5)
Menarik untuk
mengenal lebih jauh keluarga Timotius di era heteroginitas saat ini, Timotius
dilahirkan oleh seorang ibu Yahudi yang telah menjadi percaya sedangkan ayahnya
seorang Yunani. Alkitab tidak mencatat secara eksplisit apakah ayah Timotius
orang percaya atau tidak. Tetapi Alkitab menegaskan secara eksplisit, bahwa
iman yang tulus ikhlas dalam diri Timotius tidak lepas dari peran nenknya Lois
dan ibunya Eunike
Sebagai
seorang Yahudi, Lois dan Eunike tentu sangat kental dengan ajaran Musa yang
memerintahkan umatnya untuk mengajarkan hukum Taurat kepada anak-anak mereka
(Ul. 32:45) sebagaimana mereka sendiri harus memperkatakan kitab Taurat dan
merenungkannya siang dan malam, agar mereka dapat bertindak hati-hati dengan
demikian mereka akan mendapatkan keberhasilan (Yos. 1:8). Berlandaskan pada
perintah tersebut dapat dipastikan bahwa Lois dan Eunike sejak usia dini, kerap
memperbincangkan Firman Allah kepada Timotius, sehingga Timotius muda
mendapatkan pengajaran sejak dini untuk mengenal kebenaran Firman Tuhan.
Pertanyaan
kepada kita pribadi lepas pribadi, masihkah suasana seperti itu ada dalam
keluarga kita ? Masikah kita memiliki waktu untuk memperbincangkan Firman Tuhan
dengan keluarga kita? ataukah kita lebih banyak menghabiskan waktu untuk
menikmati permainan yang begitu mengasyikkan dan memperbincangkan kenikmatan
dari permainan tersebut?.
Memperbincangkan
kebenaran Firman Tuhan di dalam keluarga tentu bukan sekedar sebuah pengajaran
yang monolog, tetapi menjadi diskusi yang hangat dan bahkan terefleksi dari
prilaku orang tua sebagai pemberi contoh. Lihat misalnya pengakuan Paulus akan
ketulusan iman Timotius yang diperoleh pertama-tama dari neneknya Lois dan di dalam ibunya Eunike. Artinya Nenek dan Ibu Timotius sesungguhnya telah memberikan
contoh (teladan) kepada Timotius muda untuk tumbuh dengan asa yang kuat akan
penyertaan Tuhan dalam hidupnya. Faktor itulah yang membuat Timotius memiliki
karakter terpuji, sehingga ia dikenal baik oleh saudara-saudara di Listra dan
Ikonium (Kis. 16 :2)
Asa Vs Disiplin
Perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi adalah sebuah keniscayaan, perkembangan itu
senantiasa mempengaruhi pola pikir dan pola hidup insan sesuai eranya. Tidak
ada yang salah dengan perkembangan tersebut sepanjang tidak merubah karakter ke
imanan. Bagaimana agar karakter ke
imanan tersebut tetap bertahan ? Carl Jung dengan teori kepribadian psikoanalitiknya
mengemukakan bahwa tingkah laku manusia ditentukan tidak hanya oleh sejarah
individu dan rasi (kasualitas) tetapi juga oleh tujuan-tujuan dan
aspirasi-aspirasi (teologi).
Teori ini
setidaknya membantu kita untuk menjelaskan secara ilmiah bahwa apa yang
dilakukan Lois dan Eunike kepada Timotius adalah penguatan atas asa yang berupa
tujuan-tujuan yang disampaikan secara berulang dan terus menerus. Alam bawa
sadar Timotius dibentuk oleh asa yang dibangun oleh Ibu dan neneknya.
Tidak
sedikit keluarga saat ini yang membangun kepribadian anak bukan dengan menabur
asa, tetapi melalui pembiaran. Membiarkan si anak melakukan apapun demi alasan
memberi kebebasan berkembangnya kepribadiaan si anak. Tidak jarang orang tua
memberikan apa saja yang si anak inginkan, sekalipun si anak belum mampu untuk
menyeleksi dengan baik kemanfaatan akan benda tersebut.
Membiarkan
si anak berteriak sekerasnya di keramaian, atau melakukan sesuatu yang tidak
sewajarnya dan mengusik ketenangan orang lain, atau mengizinkan si anak membawa
dan memainkan gadget ataupun game di sekolah minggu, atau di tempat lain, di
mana seharusnya si anak harus mendengarkan dengan tekun, menurut penulis hal
ini bukanlah bagian dari pendewasaan karakter, karena pembentukan karakter
disamping dengan memberi asa namun juga dengan disiplin. Hanya dengan
kedisiplinan seorang ibu seperti Eunike dapat memiliki waktu dengan Timotius
muda bercengkrama dan berdiskusi akan imannya kepada anaknya.
Tanpa
dibarengi dengan kedispilinan adalah kemustahilan bagi sebuah keluarga untuk
memiliki waktu bersekutu bersama. Menjadikan persekutuan di dalam keluarga
menjadi sebuah kebutuhan memerlukan disiplin dan konsistensi, tetapi manakala
hal itu tercipta, anak dan anggota keluarga secara tidak langsung sedang
mengasah kompetensi yang dimilikinya, setidaknya setiap individu akan belajar
untuk berani mengemukakan pendapat dan menghargai pendapat orang lain dan
tentunya menjadi bertanggung jawab. Penulis melihat perilaku ini dilakukan oleh
Ompung (kakek/nenek dalam etnis Batak) penulis semasa hidupnya, mereka tidak
pernah keluar rumah sebelum bersekutu bersama, demikian juga saat sebelum tidur.
Seorang isteri (nenek) yang buta huruf, pada akhirnya mampu membaca sendiri
Alkitab (Bibel-Alkitab berbahasa Batak) karena ketekunan dan kedisiplinan si
suami (kakek) untuk mengajarinya. Contoh ini membekas sangat jelas bagi
penulis, sekalipun beliau tidak pernah meminta penulis untuk melakukan hal
demikian, tetapi contoh yang penulis saksikan saat masih kanak-kanak menjadi
pelajaran yang tak pernah lekang dari ingatan.
Harapan
Dalam era
perkembangan teknologi informasi dan hiburan yang sangat pesat saat ini, seolah
menjadi kemustahilan untuk memiliki waktu bersama meski hanya kurang dari lima
belas menit, tanpa ditemani oleh peralatan teknologi informasi. Ketergantungan
itu terjadi, selain karena fungsi tetapi juga karena mengasikkan. Orang tua
sebagai pemimpin keluarga perlu lebih kreatif lagi untuk membuat acara
bersekutu bersama keluarga menjadi menarik dan diminati anggota keluarga
lainnya. Saat acara itu menjadi kebutuhan, maka keluarga akan menjadi tempat
menabur asa yang paling efektif bukan hanya pada acara bersekutu bersama untuk
membahas Firman Tuhan, tetapi dalam setiap interaksi dalam keluarga, merupakan
ajang pemberi asa tanpa terkesan menggurui.
Semoga
persekutuan yang dibangun di setiap keluarga dapat mendekatkan yang jauh dan
mengakrabkan yang dekat. (erh 25082012bdj).
Tulisan ini dimuat dalam Buletin
Mercusuar Edisi 26 September 2012 p. 30-32