SELAMAT DATANG DI "TEOLOGI KAUMAWAM"

Salam dalam Kasih Tuhan Yesus Kristus. Terimakasih telah mampir di blog yg sederhana ini. Kami sangat berterimakasih bila saudara berkenan memberi tanggapan atas tulisan yang saudara baca di blog ini. Karena dengan tanggapan itu kami akan dapat belajar dan berbagi, sebab untuk itulah blog ini dibuat agar hidup kita tetap terpelihara dalam persekutuan. Semua tulisan dalam blog ini dapat dikutip dengan tetap mencantumkan sumbernya. Kiranya Tuhan Yesus memberkati kita. Pax Vobiscum, Erianto Hasibuan

Rabu, 28 November 2012

Masikah keluarga menjadi tempat menabur asa ?

Oleh : P. Erianto Hasibuan

Judul tulisan di atas bukan untuk menggambarkan pesimisme bahwa keluarga bukanlah tempat yang nyaman lagi utuk menabur asa (harapan), atau dengan kata lain bukanlah suatu padangan yang mereduksi peran keluarga. Tetapi mencoba melihat, apakah ditengah-tengah perubahan era seperti hadirnya finger generation yang lebih menikmati bermain gadget daripada bercengkrama satu sama lain. Masikah kebersamaan di dalam keluarga efektif menjalin komunikasi satu sama lain, ditengah persaingan hiburan yang mengasikkan seperti televise, game dan gadget. Setiap anggota keluarga seolah kehabisan waktu untuk bercengkrama satu sama lain, sekalipun jarak tak membatasi mereka. Dalam kondisi tersebut, apakah keluarga masih mampu menjadi tempat untuk menabur asa ?
Belajar dari Keluarga Timotius
Sebab aku teringat akan imanmu yang tulus ikhlas, yaitu iman yang pertama-tama hidup di dalam nenekmu Lois dan di dalam ibumu Eunike dan yang aku yakin hidup juga di dalam dirimu. (2 Tim. 1:5)

Menarik untuk mengenal lebih jauh keluarga Timotius di era heteroginitas saat ini, Timotius dilahirkan oleh seorang ibu Yahudi yang telah menjadi percaya sedangkan ayahnya seorang Yunani. Alkitab tidak mencatat secara eksplisit apakah ayah Timotius orang percaya atau tidak. Tetapi Alkitab menegaskan secara eksplisit, bahwa iman yang tulus ikhlas dalam diri Timotius tidak lepas dari peran nenknya Lois dan ibunya Eunike
Sebagai seorang Yahudi, Lois dan Eunike tentu sangat kental dengan ajaran Musa yang memerintahkan umatnya untuk mengajarkan hukum Taurat kepada anak-anak mereka (Ul. 32:45) sebagaimana mereka sendiri harus memperkatakan kitab Taurat dan merenungkannya siang dan malam, agar mereka dapat bertindak hati-hati dengan demikian mereka akan mendapatkan keberhasilan (Yos. 1:8). Berlandaskan pada perintah tersebut dapat dipastikan bahwa Lois dan Eunike sejak usia dini, kerap memperbincangkan Firman Allah kepada Timotius, sehingga Timotius muda mendapatkan pengajaran sejak dini untuk mengenal kebenaran Firman Tuhan.
Pertanyaan kepada kita pribadi lepas pribadi, masihkah suasana seperti itu ada dalam keluarga kita ? Masikah kita memiliki waktu untuk memperbincangkan Firman Tuhan dengan keluarga kita? ataukah kita lebih banyak menghabiskan waktu untuk menikmati permainan yang begitu mengasyikkan dan memperbincangkan kenikmatan dari permainan tersebut?.
Memperbincangkan kebenaran Firman Tuhan di dalam keluarga tentu bukan sekedar sebuah pengajaran yang monolog, tetapi menjadi diskusi yang hangat dan bahkan terefleksi dari prilaku orang tua sebagai pemberi contoh. Lihat misalnya pengakuan Paulus akan ketulusan iman Timotius yang diperoleh pertama-tama dari neneknya Lois dan di dalam ibunya Eunike. Artinya Nenek dan Ibu Timotius sesungguhnya telah memberikan contoh (teladan) kepada Timotius muda untuk tumbuh dengan asa yang kuat akan penyertaan Tuhan dalam hidupnya. Faktor itulah yang membuat Timotius memiliki karakter terpuji, sehingga ia dikenal baik oleh saudara-saudara di Listra dan Ikonium (Kis. 16 :2)
Asa Vs Disiplin
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi adalah sebuah keniscayaan, perkembangan itu senantiasa mempengaruhi pola pikir dan pola hidup insan sesuai eranya. Tidak ada yang salah dengan perkembangan tersebut sepanjang tidak merubah karakter ke imanan.  Bagaimana agar karakter ke imanan tersebut tetap bertahan ? Carl Jung  dengan teori kepribadian psikoanalitiknya mengemukakan bahwa tingkah laku manusia ditentukan tidak hanya oleh sejarah individu dan rasi (kasualitas) tetapi juga oleh tujuan-tujuan dan aspirasi-aspirasi (teologi).
Teori ini setidaknya membantu kita untuk menjelaskan secara ilmiah bahwa apa yang dilakukan Lois dan Eunike kepada Timotius adalah penguatan atas asa yang berupa tujuan-tujuan yang disampaikan secara berulang dan terus menerus. Alam bawa sadar Timotius dibentuk oleh asa yang dibangun oleh Ibu dan neneknya.
Tidak sedikit keluarga saat ini yang membangun kepribadian anak bukan dengan menabur asa, tetapi melalui pembiaran. Membiarkan si anak melakukan apapun demi alasan memberi kebebasan berkembangnya kepribadiaan si anak. Tidak jarang orang tua memberikan apa saja yang si anak inginkan, sekalipun si anak belum mampu untuk menyeleksi dengan baik kemanfaatan akan benda tersebut.
Membiarkan si anak berteriak sekerasnya di keramaian, atau melakukan sesuatu yang tidak sewajarnya dan mengusik ketenangan orang lain, atau mengizinkan si anak membawa dan memainkan gadget ataupun game di sekolah minggu, atau di tempat lain, di mana seharusnya si anak harus mendengarkan dengan tekun, menurut penulis hal ini bukanlah bagian dari pendewasaan karakter, karena pembentukan karakter disamping dengan memberi asa namun juga dengan disiplin. Hanya dengan kedisiplinan seorang ibu seperti Eunike dapat memiliki waktu dengan Timotius muda bercengkrama dan berdiskusi akan imannya kepada anaknya.
Tanpa dibarengi dengan kedispilinan adalah kemustahilan bagi sebuah keluarga untuk memiliki waktu bersekutu bersama. Menjadikan persekutuan di dalam keluarga menjadi sebuah kebutuhan memerlukan disiplin dan konsistensi, tetapi manakala hal itu tercipta, anak dan anggota keluarga secara tidak langsung sedang mengasah kompetensi yang dimilikinya, setidaknya setiap individu akan belajar untuk berani mengemukakan pendapat dan menghargai pendapat orang lain dan tentunya menjadi bertanggung jawab. Penulis melihat perilaku ini dilakukan oleh Ompung (kakek/nenek dalam etnis Batak) penulis semasa hidupnya, mereka tidak pernah keluar rumah sebelum bersekutu bersama, demikian juga saat sebelum tidur. Seorang isteri (nenek) yang buta huruf, pada akhirnya mampu membaca sendiri Alkitab (Bibel-Alkitab berbahasa Batak) karena ketekunan dan kedisiplinan si suami (kakek) untuk mengajarinya. Contoh ini membekas sangat jelas bagi penulis, sekalipun beliau tidak pernah meminta penulis untuk melakukan hal demikian, tetapi contoh yang penulis saksikan saat masih kanak-kanak menjadi pelajaran yang tak pernah lekang dari ingatan.
Harapan
Dalam era perkembangan teknologi informasi dan hiburan yang sangat pesat saat ini, seolah menjadi kemustahilan untuk memiliki waktu bersama meski hanya kurang dari lima belas menit, tanpa ditemani oleh peralatan teknologi informasi. Ketergantungan itu terjadi, selain karena fungsi tetapi juga karena mengasikkan. Orang tua sebagai pemimpin keluarga perlu lebih kreatif lagi untuk membuat acara bersekutu bersama keluarga menjadi menarik dan diminati anggota keluarga lainnya. Saat acara itu menjadi kebutuhan, maka keluarga akan menjadi tempat menabur asa yang paling efektif bukan hanya pada acara bersekutu bersama untuk membahas Firman Tuhan, tetapi dalam setiap interaksi dalam keluarga, merupakan ajang pemberi asa tanpa terkesan menggurui. 
Semoga persekutuan yang dibangun di setiap keluarga dapat mendekatkan yang jauh dan mengakrabkan yang dekat. (erh 25082012bdj).

Tulisan ini dimuat dalam Buletin Mercusuar  Edisi 26 September 2012  p. 30-32