SELAMAT DATANG DI "TEOLOGI KAUMAWAM"

Salam dalam Kasih Tuhan Yesus Kristus. Terimakasih telah mampir di blog yg sederhana ini. Kami sangat berterimakasih bila saudara berkenan memberi tanggapan atas tulisan yang saudara baca di blog ini. Karena dengan tanggapan itu kami akan dapat belajar dan berbagi, sebab untuk itulah blog ini dibuat agar hidup kita tetap terpelihara dalam persekutuan. Semua tulisan dalam blog ini dapat dikutip dengan tetap mencantumkan sumbernya. Kiranya Tuhan Yesus memberkati kita. Pax Vobiscum, Erianto Hasibuan

Rabu, 18 Juli 2012

Lima belas tahun


Saat sebelum menikah pernah sekali waktu aku berbincang dengan seorang tua, ia menceritakan dan memberi nasehat bagaimana sebuah pernikahan akan mengalami titik kritis di usia pernikahan 5 tahun, 10 tahun dan 15 tahun. Saat usia pernikahan 5 tahun menurut ybs, sang suami mulai kehilangan perhatian oleh sang isteri karena harus berbagi waktu dengan anak. Anak yang masih kecil akan menghabiskan waktu isteri, sehingga ia tidak lagi memiliki waktu, bukan hanya untuk sang suami, bahkan untuk mengurusi diri sendiri pun sudah tidak ada waktu.
Usia pernikahan yang ke sepuluh, masih menurut si bapak, mulai muncul kebosanan karena tidak ada lagi yang menarik, lihat saja tingkat percaraian sangat tinggi menjelang usia pernikahan ke sepuluh, ujar beliau untuk meyakinkan. Jika lolos dari usia pernikahan tersebut, akan ada fase rawan ketiga, yaitu saat usia pernikahan menuju dan memasuki usia ke lima belas. Banyak hal sudah serasa datar pada situasi ini, pasangan sudah berubah bentuk, komunikasi apa adanya sehingga sang suami mulai mencari ketertarikan yang lain.
Saat mendengar cerita itu, memang langkah menuju pernikahan serasa melemah, tetapi kemudian yang terpikir adalah untuk membuktikan atau mematahkan teori si bapak. Saat setelah menikah aku kerap menceritakan hal ini kepada pasangan ku, dengan tekad untuk mematahkan teori beliau dan merubahnya menjadi fase pernikahan yang menyenangkan.
Sesungguhnya teori si bapak tidak sepenuhnya keliru, yang berbeda adalah sudut pandang kami akan sebuah pernikahan. Beliau melihat sebuah pernikahan yang memiliki opsi break (cerai), sehingga persoalan yang muncul dalam rumah tangga dapat diselesaikan dengan solusi cepat, cari yang lain. Sementara aku tidak melihat opsi tersebut dalam sebuah pernikahan. 
Tanpa opsi perceraian dalam sebuah pernikahan akan mendorong setiap pasangan untuk menyesuaikan diri dengan pasangannya, sekalipun tidak mudah dan kerap menyakitkan (mungkin), tetapi perlahan namun pasti kesesuaian dan saling pengertian akan hadir. 
Pernikahan adalah sebuah kenikmatan jika masing masing pihak mau menikmatinya, tetapi akan menjadi siksaan jika masing-masing atau salah satu pihak merasa terpaksa. 
Saat ini kami memasuki usia pernikahan ke lima belas, tentu penuh liku dan suka duka, tetapi itu akan menjadi perjalanan yang menyenangkan jika masing-masing pihak mau menyesuaikan diri ke arah yang lebih baik, tentu dengan acuan yang sama. Acuannya bagiku adalah Firman yang hidup, Firman itu yang akan mensinkronisasi karakter masing-masing pribadi yang berbeda, bukan yang lain. Tanpa acuan yang sama, mustahil kebahagian yang hakiki dapat dinikmati. (erh,190812).