SELAMAT DATANG DI "TEOLOGI KAUMAWAM"

Salam dalam Kasih Tuhan Yesus Kristus. Terimakasih telah mampir di blog yg sederhana ini. Kami sangat berterimakasih bila saudara berkenan memberi tanggapan atas tulisan yang saudara baca di blog ini. Karena dengan tanggapan itu kami akan dapat belajar dan berbagi, sebab untuk itulah blog ini dibuat agar hidup kita tetap terpelihara dalam persekutuan. Semua tulisan dalam blog ini dapat dikutip dengan tetap mencantumkan sumbernya. Kiranya Tuhan Yesus memberkati kita. Pax Vobiscum, Erianto Hasibuan

Senin, 18 April 2011

Benarkah TUHAN mengijinkan Perceraian ? (Jilid 2)

Pengantar
Masih ingat dengan tulisan di Mercusuar edisi Juni 2009 ? dengan judul “Benarkah TUHAN mengijinkan Perceraian?” Sekedar mengingatkan, pada tulisan itu dikisahkan bagaimana keluarga muda “Jati” yang “nyaris” bercerai karena persoalan ketidaksetiaan sang suami. Suara mayorotas dari pihak keluarga isteri dan suami pada saat itu adalah perceraian. Bahkan langkah tersebut seolah direstui oleh gereja di mana mereka tercatat sebagai jemaat.

Sekalipun pilihan untuk tetap mempertahankan kelangsungan pernikahan seolah menjadi kemustahilan, tetapi penulis masih tetap mendorong langkah tersebut. Pada tulisan awal difokuskan pada kajian teologis untuk meyakinkan pembaca bahwa perceraian bukanlah langkah yang dapat diterima secara alkitabiah, namun bagaimana implementasi hal tersebut pada pasangan muda Jati masih menjadi tanda tanya besar, sehingga wajar jika mungkin ada pembaca yang beropini bahwa kondisi dalam tulisan tersebut hanyalah sebuah gambaran untuk meyakinkan pembacanya, tetapi dalam kehidupan nyata niscaya sulit untuk terlaksana.

Tulisan ini dimaksudkan untuk menyajikan bagaimana kajian teologis tersebut coba diimplementasikan dalam sebuah langkah pastoral dan penerimaannya bagi mereka yang mengalaminya.

Pertobatan Palsu

Kata pertobatan kerap kita dengar dari mereka yang melakukan kesalahan dan bermaksud berbalik ke jalan Tuhan, sejatinya pengertian tobat adalah sesal atau menyesal akan dosanya dan berniat tetap hendak memperbaiki hidupnya atau pulang kepada Tuhan (dengan meninggalkan kejahatannya). Perdefenisi di atas, mereka yang bertobat seyogianya adalah mereka yang telah sungguh-sungguh menyadari kesalahannya dan bermaksud memperbaiki diri, namun pada prakteknya tidaklah sesederhana dimaksud.

Seseorang yang menyatakan dirinya bertobat, dapat saja dilakukan bukan karena dorongan hatinya karena kesadaran akan kesalahanya dan bermaksud memperbaiki diri, namun “tobat” yang dilakukan sekedar untuk meyakinkan orang-orang sekitar agar bersedia memenuhi keinginannya. Tobat seperti ini kerap membuat orang sekitarnya bertambah kecewa, karena yang bersangkutan melakukan lagi kesalahan yang sama.

Demikian yang terjadi dengan kasus keluarga Jati, si suami saat tidak mampu lagi berkelit dari kesalahannya, ia “mengaku” salah dan berjanji dihadapan keluarga dan majelis jemaat (bukan pengakuan dosa di gereja) “seolah” mengakui kesalahannya dan akan kembali kepada keluarganya. Namun hal ini tidak berlangsung lama, ia kembali kepada kesalahan yang sama. Pada situasi ini, penulis memang mengalami kendala untuk meyakinkan si isteri dan keluarga untuk dapat mengampuni kembali. Semula penulis menyampaikan kepada si isteri, bahwa suaminya melakukan hal tersebut bisa saja tidak semata karena keinginan hatinya, namun ada faktor psikologis (sejenis traumatis masa kecil) yang mendorongnya untuk melakukan hal tersebut. Untuk itu penulis meminta kepada sang isteri agar dapat memaklumi dan menerima si suami meskipun telah penuh dengan “lumpur” dosa.

Dengan berulangnya kesalahan yang sama, sulit bagi penulis untuk meyakinkan lebih lanjut, namun penulis tetap meyakinkan bahwa saat itu adalah fase penantian. Sebagaimana perumpamaan anak yang hilang dalam Luk. 15 :11-32, pada fase tersebut si bapa tidak lagi mencari anaknya, tetapi menantikan saja.

Memasuki fase penantian kerap banyak orang yang kehilangan kesabarannya, lalu mengambil langkah yang tidak sejalan dengan kehendak Tuhan. Dengan argumentasi bahwa mereka telah pernah memaafkan, namun masih mengulangi kesalahan yang sama, akhirnya fase ini tidak dapat dilalui dengan baik.

Bapa yang mengasihi

Perumpamaan tentang anak yang hilang dalam Luk. 15 :11-32 menurut William Barclay lebih baik kalau perumpamaan ini disebut “Perumpamaan mengenai Bapa yang mengasihi”, demikian halnya dengan B.J Boland melihat bahwa yang menjadi pokok inti dari perumpamaan ini bukanlah “si anak hilang” tetapi “si Bapa yang penuh kasih”

Terlepas dari kesesuaian perikop dari perumpamaan di atas, umumnya umat kristen telah terbiasa dengan perumpamaan di maksud. Bahkan beberapa pakar teologia menyebutkan perumpamaan tersebut sebagai injil di dalam injil. Di dalam injil Lukas ayat 15, terdapat 3 perumpamaan yang secara berturut-turut disampaikan, yaitu domba yang hilang (1-7); dirham yang hilang (8-10) hingga puncaknya pada anak yang hilang (11-32).

Berdasarkan ketiga perumpamaan tersebut, dapat digambarkan bagaimana upaya yang dilakukan untuk mendapatkan kembali seseorang yang hilang. Perumpamaan domba yang hilang dengan jelas menunjukkan upaya sang gembala yang meninggalkan kumpulan sembilanpuluh sembilan dombanya untuk mencari seekor domba yang terhilang. Inisiatif berasal dari sang gembala karena dengan kebodohannya seekor domba tak mampu kembali ke kawanannya jika telah terpisah.

Perumpamaan tentang dirham menggambarkan upaya si pemilik dirham untuk berusaha mendapatkan kembali dirham nya yang hilang, karena dirham itu begitu berarti baginya, baik sebagai perhiasan maupun sebagai alat tukar. Dirham yang hilang di sini dapat menggambarkan seseorang yang jatuh dalam dosa karena terpengaruh atau karena tekanan pihak lain, bukan karena kemauannya sendiri. Untuk mendapatkan dirhamnya kembali, si pemilik akan menyalakan pelita untuk menerangi rumahnya dan membersihkannya.

Pada akhirnya adalah anak yang hilang, menggambarkan bahwa inisiatif bukan berasal dari si Bapa, tetapi dari si anak yang hilang untuk menyadari keadaannya. Anak yang hilang menggambarkan pemberontakan yang datang atas kesadaran sendiri. Kesadaran anak yang hilang hadir saat ia tidak lagi dapat memenuhi kebutuhan dasarnya, yaitu makan. Pada saat itu ia menyadari keadaannya hingga ia mengambil inisiatif untuk kembali ke rumah bapanya walau sebagai orang upahan sekalipun.

Sang suami pada kasus keluarga jati, sesungguhnya mengalami hal yang proporsional dengan kasus anak yang hilang. Setelah ia “seolah” bertobat namun kembali berbuat apa yang tidak seharusnya. Dalam periode tersebut upaya untuk bercerai tetap menjadi pilihan, namun penulis tetap meyakinkan untuk tidak menempuh langkah tersebut.

Akhir dari masa penantian tersebut kini hadir, sebuah peristiwa yang memprihatinkan menghantarkan si suami ke dalam penjara setelah mengalami penyiksaan sebelumnya. Selama di penjara ia kehilangan tente dan nenek yang dikasihinya. Seirama sepenarian dengan kasus anak yang hilang, pada masa paling sulit ia kembali kepada sang isteri. Keluarga bereaksi untuk tidak menerima karena beranggapan bahwa langkah tersebut adalah sandiwara semata untuk menggapai sesuatu dan bukan pertobatan yang sesungguhnya.

Pihak gereja sulit untuk menerima, bahkan ketika ybs meminta untuk mengaku dosa dan menjalani pengembalaan khusus. Pro kontra mulai terjadi, sebagian sudi menerima pengakuan dosa dan pengembalaan khusus, sebagian meminta pembuktian terlebih dahulu setidaknya satu hingga dua tahun ke depan setelah ada bukti kesungguhan.

Syukurlah, sekalipun masih diiringi dengan kecurigaan keluarga dapat menerima dan gereja bersedia menerima pengakuan dosa dan pengembalaan khusus. Ritual pengakuan dosa sesungguhnya adalah simbol yang menyatakan kepada Tuhan dan jemaat-Nya bahwa ybs dengan sungguh-sungguh ingin kembali kepada Nya. Tahapan yang utama adalah masa pengembalaan khusus untuk memulihkan hubungan ybs dengan Tuuhan dan sesama.

Pemulihan

Kembali ke Lukas 15 :11-32 perumpamaan tentang anak yang hilang, si Bapa sama sekali tidak mempertanyakan apaun tentang kesalahan si anak, yang ia lakukan adalah mengembalikan posisi si anak “ Tetapi ayah itu berkata kepada hamba-hambanya: Lekaslah bawa ke mari jubah yang terbaik, pakaikanlah itu kepadanya dan kenakanlah cincin pada jarinya dan sepatu pada kakinya. (22) Jubah adalah pertanda penghormatan si bapa terhadap langkah yang di ambil anaknya, si bapa mengampuni anaknya tanpa tuduhan-tuduhan. Adalah buruk, ketika seseorang diampuni, tetapi senantiasa disertai dengan kata dan ancaman mengenai dosa yang ditanggungkan kepadanya.

Barclalay menggambarkan pengampunan tersebut secara apik dengan mengutip kisah Lincoln, saat kepadanya ditanyakan bagaimanakah ia memperlakukan kaum selatan (A.S bagian selatan) ketika mereka dikalahkan dan kemudian kembali kepada kesatuan Amerika Serikat. Penanya itu mengharapkan bahwa Lincoln akan mengambil sikap pembalasan dendam, tetapi ia menjawab, “saya akan memperlakukan mereka seakan-akan mereka selama ini tidak pernah memberontak.

Cincin adalah tanda kedudukan yang tinggi dan kekuasaan yang diberikan, sekalipun si anak telah terlebih dahulu memintak bagian warisannya, tetapi si bapa tetap memperlakukannya sebagai anak yang memiliki hak waris. Sepatu menunjukkan bahwa si bapa tidak menganggap ia sebagai orang upahan (misthios) sebagaimana harapan si anak, tetapi menjadi orang merdeka yaitu sebagai anak (huios).

Tahapan pemulihan dari sebuah pertobatan tidak jarang digagalkan dari prilaku orang disekitar. Dari satu sisi, mereka yang bertobat sesungguhnya telah berbeban berat akibat konsekuensi dari dosa dan kesalahannya, pada sisi lain orang disekitarnya penuh dengan kecurigaan hingga tidak dapat menunjukkan rasa penerimaan.

Si anak sulung yang selama ini tinggal bersama sang bapa, ternyata tidak melihat hubungannya sebagai hubunga anak dan bapa, tetapi lebih kepada hubungan yang penuh dengan kewajiban laiknya hubungan majikan dan buruh, sebgaiamana pengakuannya sendiri : “Telah bertahun-tahun aku melayani bapa dan belum pernah aku melanggar perintah bapa, tetapi kepadaku belum pernah bapa memberikan seekor anak kambing untuk bersukacita dengan sahabat-sahabatku(29). Demikian pandangannya akan hubungannya dengan sang adik, ia tidak memandang sebagai saudara tetapi ia mengatakan: Tetapi baru saja datang anak bapa yang telah memboroskan harta kekayaan bapa bersama-sama dengan pelacur-pelacur, … (30). Ia termasuk pada jenis orang yang mempunyai watak membenarkan diri yang suka untuk menjatuhkan orang yang sudah jatuh untuk seterusnya.

Yang lebih memprihatinkan adalah cara si anak sulung memandang hubungannya dengan sang bapa sebagai hubungan yang penuh dengan kewajiban, bukan hubungan atas dasar kasih, sebagaimana pandangan bapanya : Anakku, engkau selalu bersama-sama dengan aku, dan segala kepunyaanku adalah kepunyaanmu (31).

Perumpamaan ini dengan jelas memperlihatkan kepada kita sebuah kebenaran, bahwa lebih mudah untuk mengaku kepada Allah dari pada kepada manusia, bahwa Allah lebih berbelas-kasih dalam penghakimannya daripada kebanyakan manusia, bahwa Allah dapat mengampuni dimana manusia menolak untuk mengampuni.

Pemulihan si suami dari keluarga jati dalam kisah di atas, adalah penerimaan dari orang-orang disekitarnya. Pertumbuhan rasa penerimaan itu bahkan lebih cepat dibanding pertumbuhan si suami dalam pengembalaan khusus.

Keluarga “jati” saat ini menjadi keluarga yang utuh dan bahagia, mereka bersatu kembali, hubungan keluarga dipulihkan. Keluarga ini tidak hanya hidup untuk dirinya sendiri, mereka (suami, isteri dan satu anak) telah menjadi berkat bagi banyak keluarga. Mereka dipakai Allah untuk membuktikan, kasih Allah sanggup memulihkan sebuah keluarga, sekalipun menurut pandangan manusia mustahil untuk dipulihkan, tetapi dalam rencana Allah segala sesuatu akan mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia (Rom. 8:28).

Harapan

Disekitar kita akan ada dan selalu ada mereka yang karena ketidak tahuan, atau karena lingkungan bahkan karena kehendaknya sendiri menjadi terhilang. Kita dihadirkan ke dunia bukan sebagai “hakim” untuk membuat daftar kesalahan mereka. Kehadiran kita selayaknya bagaikan sang bapa, yang menyambut dengan sukacita kehadiran anak yang hilang, tanpa mempertanyakan kesalahan, namun memulihkan hubungan.

Bila kita telah memutuskan sebagai pengikut Kristus, itu berarti kita juga telah memutuskan sebagai pemaaf yang tak pernah berpikir ulang untuk berbalik sebagai penghakim. Hubungan kita dengan bapa adalah hubungan kasih, bukan hubungan yang sarat dengan kewajiban, dengan demikian kita selayaknya juga mendasari hubungan kita dengan sesama atas dasar kasih. Jangan pernah undur (no turning back) dari pribadi si bapa menjadi pribadi si anak sulung.
(http:\\teologiawam.blogspot.com)
Tulisan ini di publikasikan di Buletin Mercusuar Edisi 20 Maret 2011.

Bacaan :
B.J Booland dan P.S Naipospos, Tafsiran Alkitab Kitab Injil Lukas, BPK Gunung Mulia, Jakarta :2003.

William Barclay, Pemahaman Alkitab Setiap Hari Injil Lukas, diterjemahkan oleh A.A Yewangoe, BPK Gunung Mulia, Jakarta :2005.

Sabtu, 16 April 2011

Hamba, bukan sebatas nama

Oleh : P. Erianto Hasibuan, M. Div.

HARI Minggu ini dalam kalender gerejawi desebut dengan hari Minggu Palmarum. Minggu Palmarum menjadi penting karena lima hari setelahnya adalah Hari Raya Jumat Agung. Lima hari sebelum Jumat Agung (Penyaliban), Tuhan Yesus dieluelukan dengan penuh antusias oleh penduduk kota Yerusalem. Mereka berharap, Yesus dapat mereka angkat menjadi Raja Israel, sebuah harapan bangsa yang telah lama terjajah.

Mereka mengumandangkan mazmur pujian kepada Allah, seperti yang diajarkan oleh nenek moyang mereka ketika berziarah ke Bait Allah di Kota Jerusalem. Mazmur pujian itu berlatar belakang kemenangan nenek moyang mereka dalam peperangan pada masa lalu. Pujian mereka benar-benar menyanjung dan menghormati Tuhan Yesus dengan kutipan Mazmur 118:26. “Hosana!” yang berarti “Selamat sekarang”. Lalu seruan mereka berlanjut, “Diberkatilah Dia yang datang dalam nama Tuhan!” Nyata sekali bahwa kedatangan-Nya ke Jerusalem pada dasarnya adalah dengan tujuan baik, nama Tuhan disertakan dan diharapkan membawa berkat. Tetapi yang disayangkan, mereka tidak memperhatikan makna rohani dan lebih mementingkan pada gerakan politik untuk melawan pemerintah penjajahan Romawi.

Terabaikannya makna rohani atas pujian penduduk kota Israel, dibuktikan pada lima hari kemudian, saat harapan mereka tidak menjadi kenyataan, penduduk yang sama kembali berseru tetapi bukan lagi dengan seruan Hosana! tetapi menjadi, “Salibkan Dia!”

Hamba dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI) berarti budak, sedang dalam bahasa Yunani digunakan doulos yang berarti hamba atau orang yang bergantung pada. Jika kita mengaku bahwa kita adalah hamba Tuhan (yang dimaksud sudah barang tentu kita semua, bukan hanya terbatas pada mereka yang terlibat dalam jabatan-jabatan pelayanan) maka kita adalah orang yang bergantung pada Tuhan. Yesus telah memberikan teladan bagi kita, bagaimana Ia sebagai hamba yang bergantung pada Allah Bapa. Dia yang adalah Sang Pencipta rela mengambil rupa ciptaan (manusia) bahkan mengambil rupa yang paling hina yaitu hamba (Flp. 2:6-8). Hingga kematiannya pun disejajarkan dengan seorang penjahat (disalibkan).

Pujian yang dikumandangkan penduduk Yerusalem, tidak menggoyahkan pendiriannya sebagai hamba Allah yang mengemban tugas untuk menyelamatkan umat manusia, sekalipun itu penuh dengan derita di kayu salib. Itulah panggilan sejati, hamba buknan hanya sebatas nama yang diemban kala menyenangkan namun dilupakan kala penderita, hingga orang sekitar tidak dapat melihat dengan jelas makna hamba dalam kehidupan keseharian.

Minggu ini, anak-anak kita menerima Sakramen Pengakuan Iman/Sidi, selama sembilan bulan mereka telah dipersiapkan secara intensif oleh gereja sebagai katekisan, dan sepanjang usia mereka orang tua mereka telah membimbing mereka. Pengakuan Iman ini merupakan peristiwa penting yang mengantar mereka menjadi warga gereja yang dewasa. Kedewasaan tidak datang secara instan, tetapi memerlukan proses, jika lalai dalam proses maka para katekisan hanya akan mengkonsumsi “susu” sebagaiman kekecewaan Paulus pada jemaat di Korintus (1 Kor.3 :2)

Jadi, mari menjadi jemaat yang dewasa, bukan hanya sekedar sebutan pasca pengakuan Iman, tetapi dewasa karena kita mengetahui apa yang berkenan pada-Nya dan bertumbuh dalam pengetahuan yang benar tentang Allah. (Kol. 1:10)

Akhirnya, jika Yesus sendiri telah memberikan teladan bagi kita, bahwa Ia telah menjadi hamba dalam arti yang sesungguhnya, adakah kita lebih terhormat daripada Nya untuk mengambil kemuliaan bagi diri kita sendiri dengan menjadi majikan bagi hati kita ? (has10042011)
Tulisan ini merupakan renungan yang disampaikan di Warta Jemaat GKI KP Minggu 17 April 2011.