SELAMAT DATANG DI "TEOLOGI KAUMAWAM"

Salam dalam Kasih Tuhan Yesus Kristus. Terimakasih telah mampir di blog yg sederhana ini. Kami sangat berterimakasih bila saudara berkenan memberi tanggapan atas tulisan yang saudara baca di blog ini. Karena dengan tanggapan itu kami akan dapat belajar dan berbagi, sebab untuk itulah blog ini dibuat agar hidup kita tetap terpelihara dalam persekutuan. Semua tulisan dalam blog ini dapat dikutip dengan tetap mencantumkan sumbernya. Kiranya Tuhan Yesus memberkati kita. Pax Vobiscum, Erianto Hasibuan

Minggu, 18 Juli 2010

Pemungut Cukai haruskah dibenci?

Oleh : P. Erianto Hasibuan
Istilah pemungut cukai (Yunani : telones) dalam PB adalah pengumpul cukai atau bea demi kepentingan Roma, yang ditugasi oleh kontraktor. Pola pengumpulan cukai atau bea (pajak) di era PB tidaklah sama dengan apa yang diterapkan di negara kita saat ini. Para pemungut (kontraktor) diberi target tertentu oleh penguasa (Roma) dan mereka dapat secara bebas memungutnya dari masyarakat, karena masyarakat umum juga tidak memahami dengan baik perhitungan tarif yang digunakan. Selisih antara target yang ditetapkan pemerintah Roma dengan yang berhasil meraka pungut akan menjadi keuntungan bagi para pemungut cukai. Jadi tidak heran jika para kontraktor (pemugut cukai) menjadi kaya, sebagaimana Zakheus, kepala pemungut cukai, seorang yang kaya (Luk.19:2).
Dalam melakukan pemungutan di wilayah kerjanya, para kontraktor juga dapat mempekerjakan para sub kontraktor pribumi yang membantu mereka dalam memungut pajak. Dapat dibayangkan bagaimana para pemungut cukai dapat memperkaya diri dengan menerapkan beban pajak semau mereka, sebagaimana yang diakui sendiri oleh Zakheus dalam Luk. 19:8… sekiranya ada sesuatu yang kuperas dari seseorang…, jadi wajar jika Cicero menganggap jabatan pemungut pajak rendah, karena kebencian yang diakibatkannya.
Orang Yahudi fanatik (seperti kaum Zelot) sangat membenci kelompok ini, bahkan menganggap para pemungut cukai adalah najis, karena mereka senantiasa berhubungan dengan kafir dan bekerja pada hari sabat. Kenajisan ini, dan ajaran para nabi bahwa murid mereka tidak boleh makan bersama orang-orang demikian, menjelaskan sikap yang nampak pada ungkapan pemungut cukai dan pendosa. (Mat.9:10 dab,11:19;Mrk.2:15 dab; Luk.5:30,7:34,15:1).
Intlektualitas Vs Kehendak Allah.
Masih ingat dengan nama Don Wolf ?, seorang ilmuawan dari Oregon Regional Primate Centre di Beaverton yang mempublikasikan hasil cloning terhadap kera, sebagaimana yang dipulikasikan pada majalah New Scientist terbitan Inggeris. Dr. Richard Seed bahkan mengatakan bahwa manusia klona yang pertama akan lahir sebelum tahun 2001, pada bulan September 1998 dia mengumumkan rencananya untuk mengklona dirinya dan isterinya bersedia mengandung klona tersebut. Menurut Dr. Ian Wilmut, jika memang penelitian dilanjutkan pada manusia, hanya dalam waktu dua tahun teknik yang mereka kembangkan bisa diterapkan untuk membuat klona manusia dari sel tubuh manusia, bukan dari sel embrio. Artinya mungkin saja seorang meminta anaknya yang karena meninggal dalam kecelakaan lalu-lintas, diklona dari sel rambut atau sel kulitnya.
Kita tentu telah mengetahui bagaimana kelanjutan cerita, dari penemuan yang spektakuler tersebut. Penolakan besar-besaran terjadi dari sebagaian besar kalangan karena ada hal esensi yang dilangar dari sang peneliti yang “amat cerdas” tersebut, yaitu kehendak Allah memberikan anak adalah melalui hasil hubungan antara suami dan isteri, sedang klona adalah perbuatan yang menentang kehendak Allah.
Demikian halnya di negeri ini, para KORUPOR umumnya adalah dari mereka yang memiliki kekuasaan dan terdidik, bahkan “hot news” belakangan ini mengagetkan berbagai kalangan dengan “Skandal Perpajakan”. Keterlibatan para pegawai pajak, pamen dan pati (maaf tidak dimaksudkan mendahului putusan pengadilan) yang adalah mereka “kalangan terpilih”, menjadi keprihatinan tersendiri setidaknya bagi penulis. Jika disimak lebih lanjut kasus “mafia peradilan” yang belakangan ini banyak diberitakan, pihak yang terlibat sudah melibatkan secara signifikan kalangan teman seiman.
Kemampuan intlektual yang tidak diikuti dengan pemahaman kehendak Allah, akan sangat rentan menghasilkan generasi yang kurang memiliki pertimbangan etis teologis sebagaimana yang diperlihatkan Don Wolf dan Dr. Richard Seed, mereka memang tidak merugikan orang lain, sebagaimana yang dilakukan oleh para Koruptor di negeri ini, tetapi mereka alpa atas batasan hak Ilahi yang esensi, demikian halnya para Koruptor.
Salah Siapa ?
Persoalannya adalah, mengapa dengan kemampuan intlektual mereka yang di atas rata-rata tidak membawa berkat bagi orang disekitarnya, tetapi merugikan banyak orang, bahkan Negara?. Adakah kesalahan tersebut semata-mata berada ditangan mereka ataukah kita yang merupakan bagian dari lingkungan di mana mereka berada juga berperan ?.
Aspek pendidikan dan lingkungan saat ini, yang cenderung mengutamakan hal-hal yang sangat kuantitatif, bisa jadi memberi kontribusi besar. Lihat saja misalnya lembaga pendidikan yang ada di negeri ini, dengan tegas mendikotomi kalangan berduit dan kalangan “kere” bahkan sejak play grup sekalipun sudah terdikotomi sedemikan rupa, hingga masuk ke PTN (Perguruan Tinggi Negeri). Bukan rahasia lagi adanya jalur masuk yang “dipengaruhi” oleh kekuatan “sumbangan” dari para orang tua si anak didik.
Lingkungan tempat tinggal juga tidak kalah sengitnya, bahkan dikotomi tersebut sangat nyata, hanya dengan menyebut kompleks tertentu yang dikenal sebagai perumahan “mewah” seseorang serta merta dapat diperlakukan secara istimewa.
Singkat cerita, keunggulan seseorang cenderung dilihat dari apa yang mereka gunakan (merek produk juga bagian dari pencitraan target market-nya), di mana mereka tinggal, apa profesi mereka, dst. Sesungguhnya tidak ada yang salah dengan kesuksesan yang diraih seseorang dengan kerja keras, sehingga ia mendapatkan berbagai fasilitas yang membuat mereka menjadi unggul dan dihormati di masyarakat. Namun, sudut pandang yang mendominasi faktor apa yang dimiliki oleh seseorang, akan mereduksi pandangan yang lebih mulia dengan melihat apa yang dilakukan seseorang. Materi memang penting, namun seyogianya tidak berada di atas nilai-nilai etis teologis yang seharusnya.
Peristiwa seorang siswa “mencontek” saat ujian adalah symptom dari apa yang kerap diharapkan orang tua dan pendidik sebagai lingkungan. Siswa yang ingin “dihormati” oleh lingkungannya dengan cara instan akan menempuh cara apapun untuk mendapatkan hasil ujian yanga baik, bahkan yang sangat memprihatinkan, orang tua sendiri ikut serta mencarikan “joki” atau “bocoran” jawaban soal bagi anaknya yang akan ujian.
Mengapa peristiwa ini terjadi ? sudah barang tentu adalah keinginan untuk mendapatkan hasil yang “cemerlang” dengan cara instan dan tetap mendapatkan penghormatan dari lingkungannya (masyarakat), celakanya lagi lingkungan juga merespon hal demikian secara positif, dan menganggap hal yang wajar dan lumrah.
Artinya peristiwa para Koruptor, sesungguhnya tidak berdiri sendiri, kita sebagai bagian dari masyarakat yang memberikian apresiasi secara berlebih terhadap materi (hedoisme) juga berperan untuk menciptakan para “koruptor-koruptor” baru. Bayangkan jika gereja dalam melakukan aktivitasnya juga mendapatkan kontribusi pembiayaan secara signifikan dari mereka yang mendapatkan penghasilan dengan cara yang demikian, masikah kita dapat mengatakan bahwa gereja adalah tempat bagi orang-orang yang dipilih ?
Dasar Firman Tuhan
Bayangkan jika anda bagian dari keluarga salah satu Koruptor, dan telah menikmati berbagai fasilitas dan bantuan dari mereka. Apa yang anda akan lakukan, saat mengetahui bahwa orang yang selama ini anda sanjung-sanjung dan banggakan, karena berbagai bantuan dan fasilitas yang diberikannya ternyata memperoleh penghasilannya dengan cara yang tidak semestinya ?. Akankah anda ikut serta menghinanya dan memungkiri segala pemberian yang telah anda terima? Sekaligus mengucilkan mereka?, atau anda justru membelanya sebagai balas jasa dari apa yang telah anda terima selama ini? Atau jika anda adalah tetangga dari mereka, yang selama ini memandang mereka seolah sebagai “problem solver” dari berbagai persoalan dilingkungan, utamanya yang berkaitan dengan keuangan. Bagaimana sikap anda?
Cara pandang Kaum Yahudi terhadap para pemungut cukai sangat jelas, mereka adalah pendosa, yang dipandang rendah oleh masyarakat. Sekalipun pandangan umum di antara orang Yahudi pada zaman PB ialah bahwa menjadi kaya merupakan tanda dari anugerah khusus Allah dan bahwa menjadi miskin merupakan tanda ketidak setiaan pada pihak orang yang bersangkutan dan ketidak senangan pada pihak Allah (APHB : hlm. 1674)
Sekalipun para pemungut cukai adalah orang kaya, namun kaum Yahudi menolak pandangan mereka sendiri perihal kekayaan secara khusus terhadap para pemungut cukai seperti Zakheus. Dengan demikian jelas bahwa para pemungut cukai, sekalipun mereka kaya tetapi mereka adalah kalangan yang ditolak oleh masyarakat.
Yesus bukan tidak mengetahui bahwa Zakheus adalah seorang pemungut cukai, tetapi sapaan yang diberikan pada Zakheus dan ajakan untuk menumpang dirumahnya, dalam bahasa Yunani digunakan kata μείναι (meinai) untuk kata menumpang KJV menggunakan kata abide yang berarti tinggal. Bagaimana mungkin Yesus sebagai seorang Yahudi dapat tinggal di rumah Zakheus yang adalah seorang pemungut cukai, sementara untuk makan bersama saja bagi orang Yahudi sudah merupakan larangan keras, konon lagi untuk tingga di rumah pemungut cukai?
Yesus tidak memandang Zakheus sebagai seorang pemungut cukai semata, tetapi Zakheus sebagai orang yang terhilang dan memerlukan keselamatan. Karena untuk itulah Yesus datang dan memberitakan Injil, maka Yesus berkenan untuk tidak hanya sekedar makan bersama Zakheus, tetapi tinggal di rumahnya, yang artinya adalah membebaskan Zakheus dari penolakan.
Firman Tuhan dengan jelas memberikan pandangan yang bertentangan dengan pemahaman yang ada di masyarakat. Yesus di pandang aneh dan menjadi “musuh bersama” para kaum Farisi, Saduki dan kalangan Yahudi lainnya karena tindakan tersebut, namun tindakan Yesus yang penuh risiko telah memberikan pemahaman baru bagi kita secara konkret, akan arti sebuah sapaan yang menyelamatkan jiwa Zakheus, yang adalah perlambang dari kalangan yang terhilang.
Peran Gereja dan Keluarga
Gereja sebagai sebagai organisasi tempat para jemaat (ekklesia) berkumpul seogianya memberikan peran penting dalam membebaskan Zakheus- Zakheus masa kini dan mencegah kehadiran Zakheus- Zakheus baru yang tak kunjung bertobat.
Pembebasan dapat dilakukan dengan menyapa mereka bukan sebagai “anak yang hilang” tetapi bagaikan domba yang hilang atau dirham yang hilang (Luk.15:1-10), artinya ada usaha proaktif dari Geraja untuk menolong mereka kembali dalam persekutuan yang aktif. Upaya ini memang memerlukan usaha yang tidak sedikit, tidak cukup hanya KOMISI PELAWAT yang melakukan pelawatan, tetapi sudah mengarah pada aktivitas PASTORAL KONSELING. Berbeda dengan konsep “anak yang hilang” dimana gereja lebih bersifat pasif, tetapi dalam hal ini GEREJA yang PROAKTIF untuk menemukan para Zakheus.
Hambatan pokok dalam upaya ini umumnya ada pada keterbatasan tenaga yang tersedia, pengalaman penulis sebelumnya menunjukkan, bahkan angota jemaat yang telah lebih dari setahun tidak ikut bersekutu, gereja kadang tidak mengetahui, konon lagi mencari yang terhilang? Namun upaya sistematis kearah perbaikan bukan hal yang mustahil jika setiap pekerja gereja dan elemen yang ada di dalamnya memahami tugas panggilan pokoknya dengan baik. (dengan kata lain, para pekerja gereja mau mendengar, mau melihat, rajin berpikir dan belajar sertaberupaya memetakan dan memenuhi kebutuhan unat – red)
Upaya pencegahan sesungguhnya adalah hal terbaik untuk melahirkan para kaum intlektual kristen yang cerdas dan berkarakter Kristus. Kotbah-kotbah mingguan dan PA memang sangat membantu jemaat untuk membimbing kepada prilaku sesuai kehendak Allah. Namun dalam kehidupan yang sangat dinamis saat ini, menurut penulis upaya konvensional tersebut tidak lagi cukup.
Gereja selaiknya dapat memformulasikan program secara klasikal dan periodikal kepada para anggota jemaat yang akan memasuki fase tertentu dalam kehidupan dan pekerjaan. Seperti halnya dengan pra nikah, mengapa tidak dilakukan kepada para karyawan dan pengusaha yang akan mengemban tugas dan tanggung jawab yang lebih besar?.
Aspek teknis dan organisasi sudah barang tentu disiapkan oleh perusahaan atau dunia usaha masing-masing, namun aspek keimanan senantiasa luput, padahal aspek ini yang sangat penting dalam memberikan pertahanan terakhir, bagi setiap individu dalam menghadapi berbagai godaan dalam tugas dan tanggung jawab yang lebih besar.
Keluarga adalah inti dari lingkungan, sebagai anggota jemaat kita juga adalah anggota keluarga. Semakin kerap kita menilai kesuksesan seseorang dari materi yang dimiliki, semakin kita berperan untuk menciptakan Zakheus-Zakheus baru (tanpa pertobatan). Peran anggota keluarga dapat berbeda-beda, dari yang tidak mendorong kepada hedoisme hingga yang menolak ketidak wajaran. Misalnya, seorang isteri yang mengetahui gaji suaminya per bulan delapan angka rendah selayaknya mempertanyakan sumber dananya saat sang suami membeli rumah seharga sepuluh angka rendah (Rp. 1 M).
Harapan
Keprihatinan atas kondisi bangsa ini yang dipenuhi dengan kasus Korupsi, tidaklah cukup jika tidak diikuti dengan upaya untuk memperbaikinya. Yesus telah memberikan contoh bagi kita secara konkret bagaimana Zakheus disapa hingga ia bertobat.
Gereja dan keluarga memiliki peran sentral untuk mencegah lahirnya Koruptor-koruptor baru dari kalangan umat Kristen. Keberanian diperlukan, sebagaimana Yesus berani untuk tidak populer demi keselamatan jiwa Zakheus, Gereja dan Keluarga selaiknya juga memiliki keberanian untuk mengambil langkah proaktif baik dalam mengembalikan Zakheus- Zakheus yang ada ke dalam persekutuan dan mencegah lahirnya koruptor-koruptor baru. SELAMAT BERBUAT.

Bacaaan :
-, Alkitab Penuntun Hidup Berkelimpapahan, Gandum Mas, Malang: 2006.
KJV : King James Version
Tulisan ini di muat di Bulletin Mercuasuar, edisi 17 Juni 2010. hlm. 59-63.