SELAMAT DATANG DI "TEOLOGI KAUMAWAM"

Salam dalam Kasih Tuhan Yesus Kristus. Terimakasih telah mampir di blog yg sederhana ini. Kami sangat berterimakasih bila saudara berkenan memberi tanggapan atas tulisan yang saudara baca di blog ini. Karena dengan tanggapan itu kami akan dapat belajar dan berbagi, sebab untuk itulah blog ini dibuat agar hidup kita tetap terpelihara dalam persekutuan. Semua tulisan dalam blog ini dapat dikutip dengan tetap mencantumkan sumbernya. Kiranya Tuhan Yesus memberkati kita. Pax Vobiscum, Erianto Hasibuan

Minggu, 16 Agustus 2009

Benarkah TUHAN mengijinkan Perceraian ?

Oleh : P. Erianto Hasibuan

Beberapa waktu yang lalu kepada penulis ditanyakan, apakah dalam pernikahan Kristen diijinkan adanya perceraian ?. Semula penulis menjawab dengan ringan tidak, tetapi setelah dikejar, bagaimana dengan yang tertulis di Mat. 19 : 1-12 ? bukankah dikatakan dengan alasan perzinahan perceraian diizinkan ?. Penulis sambil menghela nafas, menanyakan lebih lanjut kepada si penanya apa gerangan yang sedang terjadi .

Ketidak setiaan Pasangan.

Berawal dari tugas sang suami yang berbeda kota dengan sang isteri, keluarga muda ini sebut saja keluarga Jati, ternyata telah lama memendam luka satu sama lain. Sang isteri telah berkali-kali dihianati oleh sang suami, dalam skala kecil maupun skala besar. Tetapi karena riwayat pernikahan pasangan Jati tidak mendapatkan restu yang baik dari keluarga, sang isteri tidak ingin keburukan pasangannya diketahui oleh keluarga besarnya. Hal hasil seluruh sakit hati dipendamnya sendiri, sementara sang suami yang mengetahui kondisi tersebut "seolah" memanfaatkan situasi untuk terus menerus menorehkan luka di hati pasangannya.

Puncaknya, saat kelakuan sang suami di "pergoki" oleh seseorang yang mengenal dengan baik keluarga sang isteri. Pemergokan ini sebetulnya bukan yang pertama kali, tetapi karena yang memergoki seorang majelis gereja, dan "teman kencannya" juga rekan dari keluarga sang majelis akhirnya kasusnya tak lagi dapat dipendam, bak durian matang yang tetap mengeluarkan bau tak sedap bagi yang bukan pencinta durian, tetapi aroma yang menyegarkan bagi mereka yang menikmatinya.

Kepedihan hati sang isteri yang sekian lama terpendam, lalu tumpah bagaikan "banjir bandang" tak terbendung. Keputusan pun dilontarkan untuk "BERCERAI". Keluarga dari pihak isteri seolah "koor" untuk mendukung, sementara keluarga dari pihak sang suami, sepertinya telah bosan dengan prilaku yang berkisar pada ketidaksetiaan terhadap pasangan dan pekerjaan. Kebosanan itu berbuntut pada kepasrahan untuk tidak lagi sudi ikut campur tangan terhadap masalah tersebut.

Sebagai keluarga yang terbiasa hidup secara religious, walau mungkin lebih kepada seremonial dan organisasi. Pihak keluarga meminta pendapat kepada Pdt. Jemaat. Dengan lugas dan bersahaja sang Pdt menunjukkan ayat referensi pada Mat. 19 : 1-12 sebagai referensi bahwa dengan alasan perzinahan, perceraian dimungkinkan, termasuk bila pasangan tidak lagi seiman.

Makna Pasangan

Pada era yang serba instant saat ini, hampir seluruh lini kehidupan telah dirasuki dengan paradigma instant. Mulai dari mie, susu, bahkan cari pasangan instant (lewat rubrik jodoh misalnya), demikian halnya dengan pemaknaan sebuah pernikahan. Pernikahan "nyaris" diartikan sebagai legitimasi hubungan "jasmani" antara dua individu yang berlainan jenis. (defenisi ini tidak lagi berlaku bagi Negara yg telah melegalisasi pernikahan sejenis). Bagaimana tidak, sebuah pernikahan yang bersifat temporer menjadi hal yang biasa. Sekalipun hal itu tidak lebih dari sebuah "legitimasi kehidupan free sex" atau dengan bahasa yang lebih halus pendegradasian nilai sebuah pernikahan yang sakral menjadi sekedar wadah untuk berhubungan badan secara legal.

Pendegradasian yang lebih halus masih kerap terjadi pada sebuah pernikahan yang berakhir dengan alasan ketiadaan keturunan, bahkan dietnis tertentu ketiadaan anak laki-laki dapat menjadi pemicu terjadinya perceraian.

Mengapa demikian ?, karena tidak banyak orang yang mau bersusah-susah untuk meng-hayati makna berpasangan sebagaimana yang semula diajarkan oleh Allah. Jika kita menilik pada penciptaan, Allah pada mulanya menciptakan segala sesuatu dengan sungguh amat baik. (Kej. 1:31) termasuk didalamnya adalah manusia laki-laki dan perempuan. Perempuan diciptakan karena menurut Allah TIDAK BAIK, kalau manusia itu seorang diri saja (Kej. 2: 18). Lalu dijadikan penolong yang sepadan dengan dia. Ternyata binatang hutan dan burung yang dibentuk Allah dari tanah tidaklah dapat menjadi penolong yang sepadan, hingga akhirnya Allah membangun seorang perempuan dari rusuk sang pria untuk menjadi penolong yang sepadan. Perempuan itu kemudian dibawa kepada manusia itu (laki-laki) dan mereka menjadi satu daging (Kej.2:24).

Sejak semula konsep berpasangan adalah sebagai PENOLONG, menjadi satu daging (sarx) hendaklah tidak terdegradasi pengertiaannya sebatas hubungan badan. Menjadi satu daging dalam hal ini adalah hubungan yang tidak terpisahkan karena sudah menjadi satu, tidak hanya sebatas yang tidak terlihat (hati dan perasaan) tetapi melingkupi yang terlihat secara kasat mata, yaitu kedagingan. Lebih lanjut, selayaknyalah bahwa orang yang berpasangan, secara kedagingan orang dapat melihat bahwa keduanya menjadi penolong satu sama lain, sekalipun kita belum diberitahu bahwa mereka berpasangan, tetapi prilaku mereka menunjukkan hal tersebut.

Makna pernikahan ini telah dipertegas kembali oleh Paulus dengan menguraikan peran para pihak (suami dan isteri), tuntutan terhadap isteri hanya satu yaitu tunduk terhadap suami seperti kepada Tuhan. (Ef.5 :22), sementara kepada Suami tuntutannya adalah sebagai kepala isteri seperti Kristus adalah kepala jemaat (Ef.5:23) dan lebih jauh Suami harus mengasihi isterinya sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan diri-Nya baginya (26) pada akhirnya Paulus menyimpulkan bahwa suami isteri akan menjadi satu daging (31), kesimpulan ini kembali mempertegas akan makna pernikahan sejak semula yaitu menjadi satu daging (Kej.2:24).

Perceraian

Sudah menjadi tontonan yang "biasa" bagi masyarakat dewasa ini, bagaimana para selebriti secara luas diberitakan dalam berbagai media memberi keterangan dalam proses perceraian mereka. Alasan yang selalu diberikan para pihak utamanya adalah, perceraian tersebut adalah kehendak sang Khalik dan merupakan cara yang terbaik buat kebaikan anak-anak mereka.

Bagi sebagian masyarakat yang memiliki keterbatasan pemahaman, hal ini sedikit banyak akan mempengaruhi, utamanya para anak dan remaja yang dalam proses pendewasaan, mereka akan melihat bahwa argumentasi tersebut adalah argumentasi yang sarat dengan kebenaran, utamanya bila dalam pemberitaan tidak diikuti pembahasan secara proporsional, untuk mengkaji lebih lanjut bahwa apa yang disampaikan para news maker tersebut sesungguhnya jauh dari kebenaran.

Saat kepada Yesus sendiri ditanyakan oleh para Parisi tentang perceraian, semangatnya adalah untuk mencobai Yesus. Dengan tegas Yesus mengatakan bahwa Musa mengijinkan memberikan surat cerai (Ul. 24 : 1-5) hanyalah karena ketegaran hati umat Yahudi. Sedang sejak semula tidaklah demikian (Mat. 19:8). Dengan tegas penulis surat Maleakhi mengatakan "Aku membenci perceraian, firman Tuhan" (Mal. 2 :16).

Perzinahan kerap menjadi dasar bagi umat untuk membenarkan adanya perceraian, bahkan pekerja gereja sekalipun (Pdt, Pnt dst) kerap tergelincir dalam hal ini dengan menggunakan Mat. 19: 9. Jika kita mengkaji lebih lanjut, injil Matius menjadikan Injil Markus sebagai sumbernya, dengan demikian menurut penulis kata-kata "kecuali karena zinah" adalah kata tambahan ybs, sedang dalam Injil Markus kata itu tidak ada. Penulis injil Markus menulis lebih tegas dengan membawa kita ke konteks penciptaan, "pada awal dunia Allah menjadikan mereka laki-laki dan perempuan, .. Demikianlah mereka tidak lagi dua melainkan menjadi satu, karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah tidak boleh diceraikan manusia." (Mark. 10 : 6-9)

Pengampunan

Perceraian menurut penulis, adalah gambaran nyata bagaimana kita belum dapat memahami dengan baik konsep PENGAMPUNAN dan KASIH. Perumpamaan tentang anak yang hilang pada Luk. 15 : 11-32 adalah kisah bagaimana besarnya Kasih seorang Bapa kepada anaknya. Begitu banyak dosa yang dilakukan si anak bungsu kepada bapanya, pertama ia meminta warisan pada saat bapanya masih hidup. Bukankah ini sama artinya dengan mengharapkan agar bapanya segera meninggal ?, lalu menghabur-hamburkan segala yang dimilikinya dengan bermewah-mewah, dan dapat dipastikan ia juga menggunakan uang itu untuk berzinah. Tetapi pada saat si anak menyadari keadaannya dan ia mau mengambil langkah kembali dan merendahkan diri, si bapa sama sekali tidak memperhitungkan kesalahannya, yang ada adalah sukacita menyambut kembalinya si anak yang hilang. Lalu bagaimana dengan kita ? Sudah sejauh itukah kesalahan para pasangan kita ?.

Pada bagian lain, saat Petrus bertanya kepada Yesus, Tuhan berapa kali aku harus mengampuni, tujuh kali ? Yesus menjawab "tujuh puluh kali tujuh kali" (Mat.18:22). Ini bukan soal angka empat ratus sembilan puluh kali, tetapi angka tujuh adalah simbol kesempurnaan, artinya tiada batas bagi kita untuk mengampuni. Mengapa demikian ? karena kasih tidak berkesudahan, nubuat akan berakhir, bahasa roh akan berhenti pengetahuan akan lenyap sebagaimana dikatakan Paulus dalam 1 Kor. 13 : 8.

Harapan

Atas dasar pemahaman tersebut, penulis meyakinkan kepada keluarga Jati dan keluarga besarnya, bahwa perceraian yang telah mereka gagas, bukalah solusi yang Alkitabiah, sebab bagaimana mungkin kita dapat membenarkan PERCERAIAN, sementara kita diajar untuk MENGASIHI SESAMA ?, bukankah Yohanes menuliskan secara tegas " Seseorang yang mengatakan bahwa ia mengasihi Allah tetapi pada saat yang sama membenci saudaranya adalah seorang pendusta (1 Yoh.4 :20) Dapatkah seseorang yang akan menceraikan pasangannya mengatakan, bahwa tindakan tersebut didasarkan pada rasa kasihnya ? bukankah itu merupakan buah dari kebenciannya terhadap pasangannya ?. Lalu masikah anda dapat mengatakan bahwa PERCERAIAN ini adalah HAL TERBAIK yang dikehendaki SANG KHALIK untuk kami ? Seberapa lama dan seberapa dalam anda akan menjadi PENDUSTA ?

Dengan jelas dapat kita simpulkan bahwa PERCERAIAN pada dasarnya adalah kehendak manusia semata. Kehendak Allah dari umat manusia adalah untuk saling mengasihi dan senantiasa bersekutu. Untuk hal itu TUHAN bersabda "Aku membenci perceraian" (Mal. 2 :16). Kesalahan yang dilakukan pasangan bukan sesuatu yang dapat dibenarkan, tetapi PENGAMPUNAN yang kita miliki seyogiayanya melampaui kesalahan-kesalahan dari pasagan kita. Semoga kita masih memiliki rasa pengampunan setidaknya 70 X 7. (Tulisan ini dimuat dalam Buletin Mercu Suar Juni 2009)