SELAMAT DATANG DI "TEOLOGI KAUMAWAM"

Salam dalam Kasih Tuhan Yesus Kristus. Terimakasih telah mampir di blog yg sederhana ini. Kami sangat berterimakasih bila saudara berkenan memberi tanggapan atas tulisan yang saudara baca di blog ini. Karena dengan tanggapan itu kami akan dapat belajar dan berbagi, sebab untuk itulah blog ini dibuat agar hidup kita tetap terpelihara dalam persekutuan. Semua tulisan dalam blog ini dapat dikutip dengan tetap mencantumkan sumbernya. Kiranya Tuhan Yesus memberkati kita. Pax Vobiscum, Erianto Hasibuan

Minggu, 19 Mei 2013

Masih adakah kasih tanpa syarat ?

-->
Oleh : P. Erianto Hasibuan
Saat isteri ku menanyakan bahwa ia mengasihi aku sejak awal tanpa syarat, rasanya seperti utopia, walau ia bukan tipe yang idealis. Kalimat “kasih tanpa syarat” menjadi kalimat yang langka saat ini, karena yang lebih populer adalah kata saling, dalam arti, saling memberi dan menerima (take and give).
Tidak hanya di dunia sekular, bahkan masuk melampaui pintu gereja dan memberi corak dalam kehidupan berjemaat. Saling mengasihi dimaknai dengan senantiasa membalas kebaikan dengan kebaikan, menjadi kelaziman bahkan mengarah kepada kewajiban. Itulah etika dan pengajaran yang diterima secara universal.
Seolah tidak ada yang salah, tetapi pada kenyataanya yang terjadi adalah semakin meningkatnya keegoisan setiap individu, karena pada dasarnya kebaikan yang dilakukan berpusat pada kepentingan diri sendiri.  Saat kebaikan yang ditebar tidak menghasilkan seperti yang diharapkan, maka hadirlah sejumlah kekecewaan, bahkan cercaan.
Kasih tidak ubahnya bagaikan iklan yang senantiasa menyertakan syarat ketentuan berlaku. Bahkan sejak dalam PL (Perjanjian Lama) hingga masa Yesus, kasih bersyarat tumbuh subur. Lihat saja bagaimana ketatnya peraturan (tradisi) kaum Yahudi yang melarang keras mereka bergaul dengan kaum Samaria, demikian halnya dengan bangsa nonyahudi lainnya. Penulis kitab Kisah Para Rasul bahkan dengan gamblang menceriterakan, bagaimana perselisihan pengikut Kristus dari golongan bersunat (sebutan untuk kaum Yahudi) dan tak bersunat (sebutan untuk kaum bukan Yahudi) atas peristiwa pertemuan Petrus dengan Kornelius (Kis. 11 : 1-18).
Rasul Petrus sendiri yang pernah hidup bersama Yesus, mengalami pergumulan mendalam untuk memahami bahwa Kasih itu tanpa batasan, konon lagi para pengikutnya. Bersyukurlah kita yang hidup di era ini, yang memiliki Alkitab yang menyaksikan bagaimana Rasul Petrus diubahkan sudut pandangnya dalam melihat tradisi nenek moyangnya dalam relasinya dengan bangsa lain. Kasih yang dipahami Rasul Petrus berikutnya adalah kasih yang tanpa dibatasi syarat asal bangsa (Kis. 11:17-18).
Penyaliban Yesus, merupakan karya keselamatan terbesar sepanjang sejarah, Yesus memperdamaikan semua orang, tanpa peduli ia percaya atau tidak kepadanya, bahkan mereka yang menyalibkan dan menyiksanya, Ia memberikan diriNya untuk menjadi korban tebusan agar mereka memperoleh jalan mencapai keselamatan.  Coba lihat, adakah Yesus meminta syarat kepada Sang Bapa saat Ia berdoa di bukit getsemani? Ditengah kegundahanNya untuk melaksanakan tugasNya, Ia hanya menyatakan bahwa “Jangan kehendak ku tetapi kehendak Mulah yang jadi”, artinya Ia tidak meminta apapun sebagai syarat agar umat  manusia di perdamaikan dengan Bapa. Kasih Nya nyata, senyata Allah memberikan sinar mentari kepada siapa saja, yang percaya atau tidak, baik atau jahat.  Lalu mengapa saat ini kita selalu meminta syarat dalam mengasihi ? Seolah kita mendapatkan kasih itu dengan usaha kita.
Pemahaman kita akan kasih tanpa syarat (Agape, kasih yang tidak tergantung pada objeknya) pada masa ini memudar dengan cepat. Seolah terhimpit oleh kelaziman dan pengajaran universal atas saling, lihat saja sebuah acara PA (Pemahaman Alkitab) yang dibuat di gereja, pesertanya tidak lebih dari jumlah jemari, tetapi kala PA di buat di rumah jemaat, jumlahnya akan meningkat drastis bahkan tak lagi dapat dihitung dengan jemari tangan dan kaki. Mengapa demikian? Karena kita perlu saling menghargai, jika kita tidak hadir di rumah si A, bisa jadi pada saat di rumah kita si A juga tidak hadir, itulah dahsyatnya formula saling.
Mari melihat kembali pengajaran Yesus tentang Penghakiman Terakhir (Mat. 25 : 31-46).  Saat Raja itu mengatakan kepada mereka yang disebelah kanan Nya: Mari, hai kamu yang diberkati oleh BapaKu, terimalah Kerajaan yang telah disediakan bagimu sejak dunia dijadikan (Mat. 25: 35), Siapakah mereka yang masuk dalam kelompok itu? yaitu mereka yang memberi makan kepada yang lapar, memberi minum kepada yang haus, memberi tumpangan kepada orang asing, memberi pakaian kepada yang telanjang, melawat yang sakit,  mengunjungi orang dipenjara.  Apakah semua orang yang melakukan hal demikian mendapat bagian dalam Kerajaan yang telah disediakan?  Ternyata tidak, karena mereka yang melakukan dengan tulus itu pun bertanya. Tuhan bila manakah kami melihat Engkau lapar dan kami memberi Engkau makan, atau haus dan memberi Engkau minum? … (Mat. 25 :38 …) 
Yesus menjelaskan dengan  tegas “ Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudaraKu yang paling hina ini, kamu melakukannya untuk Aku”. (Mat 25: 40).  Kebaikan sebagai wujud rasa kasih yang kita lakukan kepada mereka yang paling hina, tentu tanpa kata saling.  Sebab mereka yang paling hina, hanya dapat menerima tanpa memberi. Pada saat itulah kita dapat menyatakan kasih tanpa syarat.  Pengajaran Yesus ini menjelaskan kepada kita dengan tegas, bahwa hanya dengan kasih yang demikian kita dapat merefleksikan kasih Allah (Agape) kepada sesama.
Seorang pengkotbah mengelompokkan kasih dengan kalimat yang sederhana, menjadi tiga, yaitu kasih jika, kasih karena dan kasih walaupun.  Kasih jika, adalah kasih yang diberikan kepada pihak lain, jika pihak lain melakukan sesuatu untuk kita. Bagi muda mudi misalnya, seorang pria mengatakan akan mengasihi si wanita itu, jika ia menerima ku sebagai kekasihnya.  Kasih karena, adalah kasih yang kita berikan kepada seseorang karena ia adalah saudara ku, atau karena ia adalah atasanku. Kedua kasih ini sarat dengan kelaziman saat ini, yaitu untuk Saling. Sedang kasih walaupun, merupakan kasih yang murni. Aku mengasihi dia walaupun ia orang yang paling hina dan aku tidak dapat berharap apapun darinya. Lebih jauh lagi, seperti Yesus mengasihi kita walaupun kita masih berdosa.
Selama ada hitungan matematis dalam kita berbuat baik kepada orang lain, itu adalah kasih yang masih berpusat pada diri sendiri atau kasih dengan tujuan saling, bukan kasih tanpa syarat. Misalnya aku memberi seratus agar aku mendapatkan seratus atau bahkan lebih, atau tidak masalah aku mendapatkan sepuluh. Tetapi kasih tanpa syarat adalah memberi seratus dengan berharap nol, karena pemberian itu didasarkan pada rasa syukur atas besarnya Kasih Tuhan yang sudah kita terima melalui penebusanNya.
Seyogianya demikianlah kita di dalam kehidupan kita, kasih terhadap sesama biarlah lahir karena kita sudah merasakan kasih Yesus yang begitu besar untuk kita, sehingga kita dapat mengasihi sesama, bukan lagi untuk kepentingan kita, tetapi lebih untuk menyatakan kasih Yesus kepada kita. Itulah makna Paskah sesungguhnya dalam keseharian kita, yaitu untuk menyatakan bahwa kasih tanpa syarat itu masih ada dan nyata, senyata terang mentari dan cahaya rembulan yang dapat dinikmati siapa saja tanpa syarat. SELAMAT PASKAH  (ERH Bth 10032012)
Tulisan ini dimuat dalam Buletin Mercusuar edisi 28 Maret 2013.