SELAMAT DATANG DI "TEOLOGI KAUMAWAM"

Salam dalam Kasih Tuhan Yesus Kristus. Terimakasih telah mampir di blog yg sederhana ini. Kami sangat berterimakasih bila saudara berkenan memberi tanggapan atas tulisan yang saudara baca di blog ini. Karena dengan tanggapan itu kami akan dapat belajar dan berbagi, sebab untuk itulah blog ini dibuat agar hidup kita tetap terpelihara dalam persekutuan. Semua tulisan dalam blog ini dapat dikutip dengan tetap mencantumkan sumbernya. Kiranya Tuhan Yesus memberkati kita. Pax Vobiscum, Erianto Hasibuan

Kamis, 30 September 2010

Keluarga yang Diberkati

Oleh : P. Erianto Hasibuan, M.Div

Mazmur : 127 : 1-5

127:1 Nyanyian ziarah Salomo. Jikalau bukan TUHAN yang membangun rumah, sia-sialah usaha orang yang membangunnya; jikalau bukan TUHAN yang mengawal kota, sia-sialah pengawal berjaga-jaga. 127:2 Sia-sialah kamu bangun pagi-pagi dan duduk-duduk sampai jauh malam, dan makan roti yang diperoleh dengan susah payah -- sebab Ia memberikannya kepada yang dicintai-Nya pada waktu tidur. 127:3 Sesungguhnya, anak-anak lelaki adalah milik pusaka dari pada TUHAN, dan buah kandungan adalah suatu upah. 127:4 Seperti anak-anak panah di tangan pahlawan, demikianlah anak-anak pada masa muda. 127:5 Berbahagialah orang yang telah membuat penuh tabung panahnya dengan semuanya itu. Ia tidak akan mendapat malu, apabila ia berbicara dengan musuh-musuh di pintu gerbang.

Kitab Mazmur secara keseluruhan di bagi ke dalam 5 kitab, yang meliputi Kitab 1 : Mzm.1-41 : Manusia dan ciptaan; Kitab 2 : Mzm. 24-72 : Pembebasan dan Penebusan; Kitab 3 : 73-89: Penyemmbahan dan tempatnya; Kitab 4: 90-106: Gurun dan jalan-jalan Allah; Kitab 5: 10-150: Firman Allah dan Pujian.

Dengan demikian Mzm. 127 termasuk pada kitab 5 yang membahas Firman Allah dan Pujian. Firman Allah di sini berarti termasuk dalam pengajaran. Pengajaran yang menjadi penekanan pada Mzm. 127 adalah kekawatiran yang menjadi pokok persoalan di dalam kehidupan manusia. Menurut pemazmur ada 4 hal pokok yang menjadi sumber kekawatiran, yaitu :
1. Pembangunan rumah sendiri (1a)
2. Keamanan umum atau nasional (1b)
3. Kemakmuran pribadi (2)
4. Keturunan (anak) (3)

Pemazmur pada dasarnya mengkritik orang yang mengandalkan kepada kekuatannya sendiri, kritik ini bukan berarti pemazmur menyetujui kemalasan dan kelalaian, karena Alkitab sama sekali tidak pernah menjanjikan hadiah apapun bagi kemalasan dan kelalaian (Mzm. 128:2 Apabila engkau memakan hasil jerih payah tanganmu, berbahagialah engkau dan baiklah keadaanmu!)

Kekawatiran pertama yang menjadi topik bahasan kita adalah Pembangunan rumah, tugas pokok kita adalah membangun rumah Allah di bumi, rumah Allah yang termasuk juga rumah tangga kita. Lihat seberapa banyak rumah tangga yang oleng bahkan tenggelam. Atau rumah tangga yang pada akhirnya tidak menghasilkan anak panah yg ditangan pahlawan, tetapi anak panah yang tidak tentu arah.

Membangun dengan Pola Tuhan

Bagaikan seorang “enjiner” yang akan membangun rumah, memerlukan arsitektur bangunan sebagai guidence untuk membangun sesuai dengan gambaran yang digariskan agar bangunan sesuai dengan yang digambarkan.

Demikian halnya dengan seorang kepala rumah tangga dalam membangun rumah tangganya, ia harus memahami POLA YANG BENAR membangun rumah tangga sesuai dengan pola TUHAN. Ilustrasi berikut akan menolong kita untuk memahaminya :

Di kamp tawanan tempat sekumpulan tentara Amerikan ditahan sebagai tawanan perang, diceritakan bahwa karena tidak memiliki uang, mereka terpaksa main barter jika ada seorang tentara memiliki barang yang diingini tentara lain.

Tetapi suatu hari datang sebuah paket yang berisi beberapa permainan monopoli. Para tentara itu gembira, bukan karena permainan tersebut, tetapi karena uang mainan itu. Mereka segera membaginya, masing-masing menerima jumlah yang sama yakni lembaran $500, $100, $50, $10, $5 dan $1. Hal itu membuat berbelanja jadi gampang. Tetapi seorang tentara kapitalis sangat tangkas dalam membeli dan menjual dengan harga mahal. Dalam waktu yang tidak lama ia telah mengumpulkan hampir semua uang di kamp tersebut.

Pada saat itu, para tawanan itu diterbangkan ke Los Angeles. Salah satu hal pertama yang dilakukan oleh teman kapitalis ini adalah pergi ke Bank untuk membuka rekening. Setelah mengisi formulir, ia menyerahkan $325.413. Si Teller mengambil selembar uang itu dan melihat bahwa uang itu adalah uang mainan monopoli kemudian memanggil manajer. Adalah jelas bagi si Teller bahwa tentara itu menderita gangguan jiwa.

Inti dari cerita ini adalah bahwa uang monopoli itu mungkin baik kalau digunakan dalam permainan atau di kamp tahanan, tetapi itu tidak dapat digunakan di dunia perdagangan. Demikian halnya dengan POLA KEBENRAN TUHAN. Banyak orang bahkan di Gereja sekalipun bermain dengan Pola Kebenaran yang mereka yakini sendiri, tetapi tidak sesuai dengan Kebenaran Tuhan. Mereka merasa mereka benar karena mereka unggul dalam banyak hal dari orang lain.

Contoh nyata dalam Alkitab akan hal ini adalah Orang Yahudi, menurut penilaian Rasul Paulus yang juga orang Yahudi. Roma. 10: 2-3 Sebab aku dapat memberi kesaksian tentang mereka, bahwa mereka sungguh-sungguh giat untuk Allah, tetapi tanpa pengertian yang benar. 10:3 Sebab, oleh karena mereka tidak mengenal kebenaran Allah dan oleh karena mereka berusaha untuk mendirikan kebenaran mereka sendiri, maka mereka tidak takluk kepada kebenaran Allah.

Kesia-siaan yang dimaksud Pemazmur adalah kesia-siaan karena apa yang dilakukan tidak dilandaskan akan pemahaman yang benar akan Kebenaran Allah. Kita gagal dalam membangun rumah tangga bukan karena kkita tidak mampu atau kita terlalu egois untuk berbagi, tetapi karena kita tidak memiliki pemahaman yang benar akan rumah tangga yang berkenan pada Allah.

Pola yang diinginkan Tuhan adalah Tuhan akan memberkati mereka yang hidup bukan dengan penuh kekawatiran, tetapi ketenangan, yang digambarkan dengan Ia memberikannya kepada yang dicintai-Nya pada waktu tidur (2) TIDUR adalah perlambang ketenangan (Mat. 6:25)

Materi ini disampaikan pada Ibadah Oikumene di Pd. Gede Bekasi 22 Agustus 2010.

Rabu, 29 September 2010

Benarkah Sorga itu ada?

Oleh : P. Erianto Hasibuan

PENGANTAR
Dalam sebuah pembicaraan saat perjalanan pulang ke rumah dari tempat kerja, seorang teman menceritakan bagaimana ia mulai mengalami pergeseran nilai. Sebagai penganut Khatolik yang taat, baginya tidak ke Gereja adalah “dosa” itu yang ditanamkan oleh keluarga padanya sejak usia dini, namun sejak menikah menjadi berbeda. Hal itu tidak lepas dari “doktrin” yang diberikan sang suami, bahwa ke gereja atau tidak bukan hal yang esensi, tetapi bagaimana berbuat baik terhadap sesama itulah yang esensi. “Toh, kita tidak tahu sorga itu ada atau tidak” ucapnya menirukan sang suami. Yang menarik bagi penulis, bahwa si suami adalah aktivis gereja bahkan pernah sebagai ketua muda/mudi se Indonesia. Bertolak dari diskusi kecil itu, penulis memutuskan untuk mendasari tulisan kali ini atas diskusi kecil itu, dengan judul yang sedikit “menggoda” Benarkah Sorga itu ada ?.

Sejarah Gereja

Era Abraham hingga Musa Pra Perjanjian Sinai, Ritual menjadi media utama umat berhubungan dengan Allah. Ritual pokok yang mereka lakukan adalah memberikan korban bakaran kepada Allah. Belum ada pengajaran pada masa itu.

Era Musa pasca perjanjian Sinai (turunnya Hukum Taurat) Ritual masih menjadi sentral, yang berpusat pada tabut perjanjian sebagai simbol kehadiran Allah. Pembacaan Hukum Taurat telah di lakukan, sebatas ritual dan bukan kajian.

Era Salomo, umat Israel telah memiliki Bait Allah. Upacara telah di pusatkan di Bait Allah. Ritual masih menjadi pokok disertai dengan pemberian korban bakaran. Bait Allah menjadi simbol Kehadiran Allah, dan setiap umat Yahudi dewasa wajib melakukan ziarah ke Bait Allah saat perayaan Paskah.

Pasca pembuangan ke Babel, Bait Allah tidak lagi menjadi sentral karena umat yang berada di pembuangan tidak dapat melakukan ziarah ke Bait Allah karena alasan jarak dan politis. Sinagoge mulai didirikan, tabut perjanjian tidak lagi tersedia, sekalipun ritual tetap dilakukan tetapi pengajaran akan hukum taurat dan kitab para nabi menjadi kebutuhan kaum Yahudi di pembuangan.

Sinagoge kian berkembang sejalan dengan kembalinya para umat dari pembuangan. Sekalipun umat yang kembali dari pembuangan membangun kembali Bait Allah, namun fungsinya laiknya Sinagoge. Pada masa Yesus, Sinagoge (Bait Allah) adalah sentral bagi umat Yahudi dalam mendengarkan pengajaran Taurat dan kitab para nabi, setiap orang yang memiliki kemampuan untuk memberikan pengajaran, diberikan kesempatan untuk mengajar dan berdiskusi di Sinagoge, termasuk Yesus pada masanya.

Ritual dan korban persembahan tetap dilakukan, namun bukan lagi sebagai sentral. Penyimpangan fungsi Bait Allah pada masa Yesus sangat nyata, tempat yang seharusnya digunakan untuk mendiskusikan Taurat Allah dan Kitab para Nabi, serta bersekutu kepada Allah telah menjadi ajang mencari keuntungan. Yesus menghardik mereka yang mengambil keuntungan dari keberadaan Sinagoge (Bait Allah). Sinagoge adalah model buat gereja yang ada saat ini. Ritual tetap dilakukan sejalan dengan pengajaran melalui Kotbah untuk memberikan pertumbuhan iman jemaat.



Masihkah Gereja diperlukan ?

Dalam kehidupan modern dan demokratis saat ini, apapun dapat digagas dan diperdebatkan. Termasuk eksistensi Gereja. Pertanyaan ini umumnya muncul dari mereka yang merasa kecewa dari pelayanan yang diberikan Gereja. Pelayanan Gereja secara umum masih berpusat pada “sang” Pelayan yaitu Pendeta (Hamba Tuhan). Kotbah yang monoton, perkunjungan yang tidak seperti yang diharapkan, belum lagi konflik internal, umunya dijadikan alasan untuk mereduksi peran gereja.

Pendegradasian peran Gereja secara sederhana sesungguhnya sangat tergantung pada sudut pandang jemaat terhadap Gereja. Andai kita mengikuti pendapat Bapa Gereja St. Agustinus yang menyamakan Gereja dengan Kerajaan Allah, maka konflik yang terjadi di tubuh Gereja akan dijadikan pembenaran untuk tidak lagi perlu ke Gereja karena hilangnya peran gereja sebagai Kerajaan Allah. Pertanyaan sederhana akan muncul. “Lho koq di dalam Kerajaan Allah masih ada konflik?”

Para Pelayan Firman masih belum dapat terlepas dari pengajaran “seolah” Gereja adalah sarana untuk menuju ke Kerajaan Sorga. Mereka yang rajin ke Gereja seolah diidentikkan dengan mereka yang akan masuk ke dalam Kerajaan sorga, sementara tidak jarang mereka yang rajin ke gereja bahkan aktif dalam kegiatan di gereja, menjadi trouble maker (pembuat masalah) di lingkungan di mana ia berada. Kondisi tersebut akan memperkuat pendapat yang membenarkan bahwa yang penting adalah berbuat baik, ke gereja “tidak terlalu penting” toh kita juga tidak tahu sorga itu ada atau tidak.

Gereja jalan menuju Sorga atau Menghadirkan Sorga

Jika kepada kita ditanya “ Apakah Gereja ada untuk membawa kita ke Kerajaan Sorga? atau Gereja ada untuk menghadirkan Kerajaan Sorga di dunia?” Andai jawaban kita masih berbeda satu sama lain, artinya kita masih butuh waktu untuk menyamakan persepsi. Kita masih ada pada fase rekonsiliasi belum pada tahapan aktualisasi.

Jika jawaban kita yang pertama, maka itu artinya kita masih ada di era pra Sinagoge, dimana Gereja adalah tempat yang sakral yang dapat memberikan akses kepada kita untuk menuju ke sorga. Impikasinya, seremoni atau ritus ibadah dianggap mahapenting, atau satu-satunya yang penting, maka persoalan-persoalan etika atau moral (sosial, politik, budaya, seks dll) tidak mendapat perhatian serius. Misalnya: seorang warga jemaat bisa sangat terganggu “imannya” melihat seorang Pendeta.atau Penatua yang kebetulan flu, batuk-batuk atau membuang ingus saat memimpin ibadah, namun bisa tidak terusik sama sekali mendengar kabar penggusuran orang-orang miskin tanpa ganti rugi, ketidak adilan yang terjadi, atau melihat koleganya melakukan korupsi.

Mengingat sedemikian sakralnya sebuah ibadah, kadang kita begitu berambisi untuk tetap dapat mengikuti setiap liturgi secara langsung, hingga tempat duduk keluarga kita yang belum dapat dipastikan untuk hadir di gereja sekalipun telah kita sediakan, di bagian yang sangat strategis tentunya, walau hingga akhir ibadah tempat itu tetap kosong, karena keluarga yang telah kita sediakan tempatnya tidak kunjung hadir. Sementara kita tidak merasa tergangu sekalipun telah menyusahkan jemaat lain yang kewalahan mencari tempat duduk.

Pandangan ini boleh jadi terpengaruh oleh pendapat Albert Schweitzer, yang melihat Kerajaan sebagai tempat berkat masa depan yang terjadi pada kedatangan kedua bagi umat Allah (1Kor.15:50; Mat.8:11; 2Pet.1:11; Mat.25:34). Para pengikut Yesus masuk ke dalam Kerajaan ketika ia kembali. Kerajaan yang akan datang akan mengakhiri orde lama kemanusiaan dan memulai kehidupan baru dalam tatanan Sorgawi. Dengan demikian, Kerajaan sama sekali masa depan dan supranatural. Artinya Albert Schweitzer mengakui bahwa Kerajaan Allah tidak bersifat imanen (sekarang) tetapi transenden (masa depan) yang kehadirannya tidak diciptakan manusia, tetapi dari Allah (supranatural).

Risiko terbesar dari pandangan ini telah disampaikan dalam Injil Matius 7 : 21 “ Bukan setiap orang yang berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan! akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga, melainkan dia yang melakukan kehendak Bapa-Ku yang di sorga.”

Jawaban yang kedua menunjukkan kita memahami makna kehadiran Yesus ke dunia, bagaimana Yesus mengembalikan fungsi Bait Allah yang pada masa itu telah berubah menjadi “sarang penyamun”, ke fungsi semula sebagai tempat belajar, di mana Yesus tiap-tiap hari mengajar di Bait Allah (Luk.19:46). Fungsi ritual tetap ada, namun sentralnya adalah bagaimana Firman Tuhan di sampaikan saat ini, sehingga persis seperti apa yang di sampaikan Paulus kepada jemaat di Filipi :” Dan apa yang telah kamu pelajari dan apa yang telah kamu terima, dan apa yang telah kamu dengar dan apa yang telah kamu lihat padaku, lakukanlah itu. Maka Allah sumber damai sejahtera akan menyertai kamu.(Flp.4:9)

Pandangan ini ditegaskan kembali oleh pendapat C.H. Dodd bahwa Kerajaan Allah (baca sorga) itu dinyatakan sepenuhnya dalam pelayanan Yesus. Kerajaan Allah adalah sebuah dunia tempat di mana terdapat kebenaran, kedamaian, dan sukacita. Ini adalah manfaat bagi mereka yang tinggal menyerahkan hidup kepada aturan Roh. KERAJAAN SORGA SEBAGAI REALITAS SEKARANG INI didasarkan pada bagian-bagian seperti Roh Allah yang bekerja nyata dalam kehidupan manusia (Mat.12:28); unsur Kerajaan Allah (Sorga) berupa KEBENARAN, DAMAI SEJAHHTERA DAN SUKACITA oleh Roh Kudus nyata dalam kehidup-an sehari-hari (Rm.14:17), dan Allah menjadi hakim yang memberi kedamaian bagi segala bangsa dengan mengedepankan perdamaian dan kesejahteraan bagi segala bangsa (Yes.2.4).

Eksistensi Sorga

Istilah Sorga sesungguhnya berkaitan dengan Kerajaan Allah ( η βασιλεια του θεου - hê basileia tou theou), dalam Injil Sinoptik hanya Matius yang menggunakan istilah Kerajaan Sorga ( η βασιλεια του ουρανου - hê basileia tou ouranou) Konsep Kerajaan Allah juga mempunyai aspek yang berhubungan dengan masa kini dan masa yang akan datang. Kerajaan itu merupakan suatu kenyataan yang sekarang di dalam dunia ini, sebagaimana Tuhan Yesus berkata "Kerajaan Allah ada di antara kamu" (Luk.17:21), maka berkat-berkat Kerajaan Allah (di antaranya adalah : Pengampunan, Keselamatan, dan Kehidupan kekal) menjadi milik yang dapat dinikmati oleh orang-orang yang percaya, yang dapat dinikmati tidak hanya pada masa yang akan datang, melainkan juga pada masa sekarang ini. Aspek kekinian yang nyata adalah saat Yesus mengajak umat untuk ber-tobat karena waktunya telah genap; Kerajaan Allah sudah dekat. (Mrk.1:15)

Tuhan Yesus mengajarkan bahwa dengan kedatangan DiriNya sendiri, Kerajaan Allah itu sebenarnya sudah datang, dan juga jelas bahwa Ia memandang ke masa yang akan datang pula, saat kuasa Allah yang berdaulat penuh itu pada akhirnya tampak dengan nyata. Murid-muridNya harus berdoa begini "Datanglah KerajaanMu" dan memperlihatkan dengan waspada agar melihat "Kerajaan Allah (telah) datang dengan kuasa" (Mrk.9:1, Mat.25:1). Mujizat-mujizat yang mereka lihat dilakukan oleh Tuhan Yesus, yang mereka sendiri juga lakukan dengan kekuatan Tuhan Yesus adalah tanda yang jelas bahwa Kerajaan itu sudah ada. Tetapi peperangan dengan Iblis masih berlangsung terus dengan seru hingga kemurtadan masih terjadi (1Tim.4:1), perilaku yang tidak sejalan dengan ajaran Yesus masih terjadi (2Tim.3:1-5) sekalipun tidak ada keraguan sedikitpun tentang hasil akhirnya : Baik pada masa sekarang maupun pada masa yang akan datang, Allah yang memerintah sebagai Raja menuntut manusia untuk menyerahkan dirinya dengan penuh ketaatan. Manusia tidak dipanggil untuk membangun atau mendirikan sendiri Kerajaan itu, melainkan hanya mencarinya dan memasukinya : Matius 6:33 Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu.

Dengan pengakuan bahwa sebenarnya Kerajaan Allah itu sudah datang, sebagaimana yang diakui oleh para teolog penting seperti G.E Ladd (1974), E. Stauffer (1955), O. Cullmann (1951), W.G. Kummel (1957) dan H. Ridderbos (1962) yang mengakui aspek ganda (aspek kekinian dan keakanan) Kerajaan Allah, dengan tidak menghilangkan bukti yang ada. Sesungguhnya kita tidak lagi perlu meragukan kehadiran eksistensi Kerajaan Allah (baca : sorga) di bumi saat ini.

Refleksi

Bila kita tidak lagi meragukan eksistensi Kerajaan Allah (baca: sorga), pilihan selanjutnya bahwa Gereja ada untuk menghadirkan Sorga di dunia. Kehadiran sorga di dunia ditandai dengan hadirnya unsur-unsur Kerajaan Allah yaitu kebenaran, damai sejahtera dan sukacita (Rm. 14:17) di dunia saat ini melalui interaksi para warga gereja di manapun mereka di tempatkan.

Bagaimana gereja merealisasikannya, sebagaimana yang dinyatakan Paulus dalam Roma 14:17 ”Sebab Kerajaan Allah bukanlah soal makanan dan minuman, tetapi soal kebenaran, damai sejahtera dan sukacita oleh Roh Kudus.” Artinya Kerajaan Allah (baca : sorga) bukanlah suatu tempat atau wilayah, tetapi SUASANA dimana hadir KEBENARAN, DAMAI SEJAHTERA dan SUKA CITA. GEREJA memiliki PERAN SENTRAL melalui PENGAJARAN BERKELANJUTAN yang mengarahkan warga gereja untuk memiliki karakter yang menggambarkan kehadiran Kerajaan Allah di bumi. Dengan cara ini, eksistensi gereja tidak lagi mengalami set back ke era pra pembuangan (diaspora), dimana Bait Allah berfungsi sentral sebagai wahana ritual semata, atau menjadikan mimbar sebagai wahana hiburan untuk mendengarkan ”KOMEDI” TANPA MAKNA, atau sekedar CERITA PELEPAS RINDU. Bukankah penyimpangan fungsi Bait Allah tersebut secara nyata telah dikembalikan oleh Yesus dengan menghardik para ”penyamun” dan mengembalikan fungsinya sebagai tempat untuk mengajar setiap hari ? Setiap kali kita mengalih fungsikan Bait Allah (baca : mimbar) selain fungsi pengajaran maka secara tidak langsung kita telah mengijinkan ”PARA PENYAMUN” hadir kembali di Bait Allah, sesuatu yang telah di bersihkan oleh Yesus lebih dari 2.000 tahun yang lalu.

Sekali lagi bukan penulis (Erianto) tapi FIRMAN TUHAN yang menegaskan bahwa SORGA ITU ADA, dan telah ada saat ini, tugas Gereja bukan membawa umat ke dalam Kerajaan Sorga, tetapi menghadirkan suasana Kerajaan Sorga di bumi saat ini. Mari mulai untuk mengkonsumsi makanan keras tidak hanya sekedar susu (1Kor.3:2). SELAMAT ULANG TAHUN GKI. PAX VOBISCUM.

Tulisan ini di muat dalam Buletin Mercusar edisi Khusus September 2010.



Bacaaan :

1. Donald Guthrie, Teologi Perjanjian Baru I, diterjemahkan oleh : Lisda Tirtapraja Gamadhi, dkk. BPK Gunung Mulia, cet. 11, Jakarta: 2006

2. Donald Guthrie, Teologi Perjanjian Baru 2, diterjemahkan oleh : Jan. S. Aritonang, BPK Gunung Mulia, cet. 9, Jakarta : 2006

3. George Eldon Ladd, Teologi Perjanjian Baru I, diterjemahkan oleh : Urbanus Selan, dkk., Yayasan Kalam Hidup, Bandung: 2002

4. Hasan Susanto, Perjanjian Baru Interlinear Yunani-Indonesia dan Konkordansi Perjanjian Baru (PBIK), LAI, Jakarta : 2004

5. Myles Mounroe, Rediscovering The Kingdom, diterjemahkan oleh : Sri Wandaningsih, Immanuel Publishing House, Jakarta : 2006.

6. What's All This Kingdom Stuff: An Introduction to Kingdom of God Theology Sumber: http://www.sbl.org/wbs/kingdom di akses (21 Des 2009)

7. Artikel Penuntun Kerajaan Allah, Sumber : http://www.sarapanpagi.org di akses (21 Maret2010)