Sebagai
pengikut Kristus, sudah pasti kita dituntut menjadi orang-orang yang istimewa,
artinya tidak biasa. Sebut saja kejahatan, selayaknya dibalas dengan kejahatan,
sebagaimana thema film laga dan sinetron yang tak lepas dari “balas dendam”.
Namum Yesus mengajarkan untuk mengasihi musuh dan berdoa buat orang yang
menganiaya kita (Mat. 5:44).
Demikian
halnya dengan pengampunan, secara sadar maupun tidak sadar, dunia telah
mengajarkan kepada kita, bahwa mengampuni adalah sebuah kekalahan besar. Setiap
orang yang mengampuni sesamanya di”persepsikan” kehilangan banyak hal. Rugi
besar istilah orang dagang. Kalau kita mau untung, kita harus menghukum
seberat-beratnya (menghakimi) orang yang bersalah, agar kita di”persepsikan” mendapat
kemenangan besar.
Setidaknya situasi tersebut terjadi pada
jemaat di Roma, mereka yang memegang teguh peraturan-peraturan, termasuk soal
makanan dan memelihara hari-hari tertentu, mengahakimi kelompok yang tidak
melakukan hal tersebut sebagai “terdakwa”. Sebaliknya kelompok yang mempercayai
kebebasan kristen, sehingga tidak lagi tunduk terhadap larangan soal makan dan
hari-hari tertentu , menghina kelompok lain.
Masing-masing
kelompok menggunakan pengetahuan dan pemahamannya bukan sebagai berkat bagi
orang lain, tetapi sebagai sarana untuk mencari kesalahan orang lain.
Masing-masing kelompok “asyik” untuk mencari kesalahan orang lain, sebagai
sarana untuk menghakimi, bukan untuk bertumbuh dan saling menguatkan.
Menjadi
Kristen tidaklah otomatis membuat kita mampu mengerti sepenuhnya anugerah Allah
dan pola hidup baru di dalam kristus. Yusuf adalah tokoh yang mengerti benar
akan hal itu. Saat Yakub meninggal dan saudaranya cemas akan pembalasan yang
akan dilakukan Yusuf kepada mereka atas dosa masa lalu mereka, dan Yusuf
memiliki kekuasaan dan kesempatan untuk membalaskannya. Tetapi yang diucapkan
Yusuf adalah “ …aku inikah pengganti
Allah? (Kej.50:19b), ini adalah pengakuan yang sempurna akan anugerah
Allah, bahwa Yusuf tidak berkehendak “merampas”
kedaulatan Allah, dan ia mengampuni dan menerima saudara-saudaranya tanpa
syarat, bahkan menjamin kehidupan mereka.
Yusuf
tidak berlaku seperti seorang hamba raja, yang berhutang sepuluh ribu talenta,
saat hutangnya yang sangat besar dan bahkan tidak mungkin untuk dilunasinya,
dihapuskan, oleh karena raja berbelas kasihan (Mat.18:24-27), tetapi hamba itu gagal mengampuni orang lain yang
berhutang padanya hanya seratus dinar, suatu jumlah yang sangat tidak berarti
(Mat.18:28-30). Yusuf istimewa, karena ia memiliki pengakuan yang tidak biasa: “Memang
kamu telah mereka-rekakan yang jahat terhadap aku, tetapi Allah telah
mereka-rekakannya untuk kebaikan, … (Kej. 50:20)
Tidak
ada yang berkurang dari Yusuf saat dia mengampuni, justru yang terjadi dia
menghilangkan seluruh beban masa lalunya, dan menggapai masa depan yang sangat
cerah dan penuh dengan keberhasilan, sekalipun banyak orang yang mereka-rekakan
yang jahat bagi dia. Anda ingin hidup terbebas dari masa lalu yang suram?
Dapatkan kebebasan anda dengan cara mengampuni secara total, tanpa pernah
merampas hak Allah untuk menghakimi. (ERH08092011) Dimuat pada Renungan Warta
Minggu, 11 September 2011-GKI KP