SELAMAT DATANG DI "TEOLOGI KAUMAWAM"

Salam dalam Kasih Tuhan Yesus Kristus. Terimakasih telah mampir di blog yg sederhana ini. Kami sangat berterimakasih bila saudara berkenan memberi tanggapan atas tulisan yang saudara baca di blog ini. Karena dengan tanggapan itu kami akan dapat belajar dan berbagi, sebab untuk itulah blog ini dibuat agar hidup kita tetap terpelihara dalam persekutuan. Semua tulisan dalam blog ini dapat dikutip dengan tetap mencantumkan sumbernya. Kiranya Tuhan Yesus memberkati kita. Pax Vobiscum, Erianto Hasibuan

Minggu, 15 Januari 2012

Rabu Abu : Upaya Mengembalikan Tanda Pertobatan


Sebagai anggota keluarga yang dibesarkan dilingkungan gereja etnis, ritual Rabu Abu tentu bukan hal yang lazim. Tetapi sebagai seorang yang mendalami bidang teologi, sulit untuk menghindar kala orang-orang dekat bertanya akan makna dari ibadah Rabu Abu.
Sebetulnya, Rabu Abu bukanlah baru muncul pada zaman Gereja Roma Katolik semata. Zaman Perjanjian Lama telah menggunakan Abu dalam liturgi. Abu adalah lambang perkabungan, kefanaan, serta pertobatan. Lihat saja dalam kitab Ester, Mordekhai mengenakan kain kabung dan abu ketika ia mendengar perintah Raja Ahasyweros (485-464 SM) dari Persia untuk membunuh semua orang Yahudi dalam kerajaan Persia (Est 4:1).  Demikian juga dengan Ayub yang menyatakan penyesalannya dengan duduk dalam debu dan abu (Ayb 42:6).
MAKNA ABU DARI WAKTU KE WAKTU
            Dalam Perjanjian Baru, Yesus sendiri juga menyinggung soal penggunaan abu: kepada kota-kota yang menolak untuk bertobat dari dosa-dosa mereka, meskipun mereka telah menyaksikan mukjizat-mukjizat dan mendengar kabar gembira, Kristus berkata, "Seandainya mukjizat-mukjizat yang telah terjadi di tengah-tengahmu terjadi di Tirus dan Sidon, maka sudah lama orang-orang di situ bertobat dengan memakai pakaian kabung dan abu." (Mat 11:21)
Gereja Perdana mewariskan penggunaan abu untuk alasan simbolik yang sama. Dalam bukunya De Poenitentia , Tertulianus (sekitar 160-220) menulis bahwa pendosa yang bertobat haruslah "hidup tanpa bersenang-senang dengan mengenakan kain kabung dan abu." Eusebius (260-340), sejarahwan Gereja perdana yang terkenal, menceritakan dalam bukunya Sejarah Gereja bagaimana seorang murtad bernama Natalis datang kepada Paus Zephyrinus dengan mengenakan kain kabung dan abu untuk memohon pengampunan. Dalam masa yang sama, imam akan mengenakan abu ke kepala setelah pengakuan orang-orang yang diwajibkan untuk menyatakan tobat di hadapan umum.
Dalam abad pertengahan (setidak-tidaknya abad kedelapan), mereka yang menghadapi ajal dibaringkan di tanah di atas kain kabung dan diperciki abu. Imam akan memberkati orang yang menjelang ajal tersebut dengan air suci, sambil mengatakan "Ingat engkau berasal dari debu dan akan kembali menjadi debu." Setelah memercikkan air suci, imam bertanya, "Puaskah engkau dengan kain kabung dan abu sebagai pernyataan tobatmu di hadapan Tuhan pada hari penghakiman? " Pertanyaan itu akan dijawab orang tersebut dengan: "Saya puas." Dalam contoh-contoh di atas, tampak jelas makna abu sebagai lambang perkabungan, ketidakabadian dan tobat.
Akhirnya, abu dipergunakan untuk menandai permulaan Masa Prapaskah, yaitu masa persiapan selama 40 hari (tidak termasuk hari Minggu) menyambut Paskah. Ritual perayaan "Rabu Abu" ditemukan dalam edisi awal Gregorian Sacramentary yang diterbitkan sekitar abad kedelapan. Sekitar tahun 1000, seorang imam Anglo-Saxon bernama Aelfric menyampaikan khotbahnya, "Kita membaca dalam kitab-kitab, baik dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, bahwa mereka yang menyesali dosa-dosanya menaburi diri dengan abu serta membalut tubuh mereka dengan kain kabung. Sekarang, marilah kita melakukannya sedikit pada awal Masa Prapaskah kita, kita menaburkan abu di kepala kita sebagai tanda bahwa kita wajib menyesali dosa-dosa kita terutama selama Masa Prapaskah." Disinilah kita semua mengingat ketidakabadian kita dan menyesali dosa-dosa kita.
Dalam perayaan Rabu Abu, umumnya dipergunakan abu yang berasal dari daun-daun palma yang telah diberkati pada perayaan Minggu Palma tahun sebelumnya yang telah dibakar. Imam memberkati abu dan mengenakannya pada dahi umat beriman dengan membuat tanda salib dan berkata, "Ingat, engkau berasal dari debu dan akan kembali menjadi debu," atau "Bertobatlah dan percayalah kepada Injil."
Kendati sekarang ini masa Natal, masa Pra-Paskah tanpa terasa akan segera tiba. Guna menyambut Paskah, patutlah kita mengingat makna abu yang telah kita terima : kita menyesali dosa-dosa kita. Kita mengarahkan hati kita kepada Kristus, yang segsara, wafat dan bangkit demi keselamatan kita. Kita memperbaharui janji-janji yang kita ucapkan dalam baptisan/pengakuan percaya, yaitu ketika kita mati atas hidup kita yang lama dan bangkit kembali dalam hidup yang baru bersama Kristus. Kita pun menyadari bahwa kerajaan dunia ini segera berlalu. Kita berjuang untuk hidup dalam kerajaan Allah sekarang ini serta merindukan kepenuhannya di surga kelak. Pada intinya, kita mati bagi diri kita sendiri, dan bangkit kembali dalam hidup yang baru dalam Kristus.
ANTARA RITUAL DAN PRILAKU
Perayaan Pasakah dewasa ini telah dirayakan “nyaris” sama dengan perayaan natal. Jika Natal penuh dengan sukacita, namun Paskah kerap melambangkan duka cita sekaligus sukacita atas kemenangan.  Perayaan paskah selalu diwawali dengan pra paskah, namun Rabu Abu sebagai awal dari masa Pra Paskah cenderung terlupakan (dan terabaikan?-red), sekalipun sesungguhnya Rabu Abu merupakan ritual pertobatan dan pengakuan kefanaan umat manusia yang esensial.
Masa Pra Paskah selama enam minggu, sesungguhnya adalah masa pembentukan karakter baru sebagai buah dari pertobatan. Sangatlah disayangkan, apabila masa pra paskah kehilangan momentum awalnya untuk bertobat dan mengakui kefanaan manusia. Umat akan dapat melakukan pelatihan pembentukan karakter baru dan menghilangkan karakter (perbuatan keberdosaan) lama, hanya jika ia telah mengakui adanya pelanggaran dan ketidak sesuaian prilakunya yang lama dengan prilaku yang dikehendaki Tuhan. Tanpa pengakuan dan pertobatan tersebut sulit bagi umat untuk memaknai masa Pra Paskah. Paskah harus dimaknai sebagai sebuah kemenangan karena terbebas dari keterikatan dengan dosa. Sebagaimana umat Israel yang terbebas melewatikematian anak sulung (Kel. 12:23)  ataupun mereka dapat melewati laut Teberau dengan selamat.
Dalam ritual Rabu Abu pengakuan dosa menjadi sentral, kalimat "Bertobatlah dan percayalah kepada Injil," saat memberikan tanda salib di dahi seyogianya merupakan klimas dari pengakuan umat atas dosa dan kesalahannya.  Tentu tidak ada yang dapat mengatakan bahwa saya tidak berdosa sehingga tidak perlu untuk bertobat. Karena jika demikian pastilah kita membuat Dia menjadi pendusta dan firman-Nya tidak ada di dalam kita (1Yoh. 1: 10).
PERTOBATAN SEPERTI APA ?
Yang seharusnya kita lakukan adalah mengakui dosa dan kesalahan kita satu persatu dan bukan secara global. Tentu kecenderungan kita untuk mengakui dosa kita secara global, misalnya : Tuhan, kami telah berdosa kepada mu baik melalui pikiran ucapan maupun prilaku kami.  Pengakuan seperti ini tentu dapat menjadi sarana yang aman bagi kita untuk menyembunyikan kesalahan dan dosa kita yang sebenarnya. Akibatnya, dosa yang telah kita perbuat tidak pernah dibereskan secara menyeluruh dan total di hadapan Allah.
Pengakuan dosa dan kesalahan kita secara rinci kepada Allah, akan membuat hati kita hancur dan merendahkan diri dihadapanNya, jauh dari argumentasi teologis untuk membenarkan diri. Hati yang hancur sudah barang tentu hati yang dipenuhi dengan kejujuran, dalam hal ini Allah berkenan kepada orang yang rendah hati dan jujur dan remuk jiwanya.
Daud seorang Raja yang sangat berkuasa telah memberikan teladan bagi kita, Daud mengungkapkan dan mengakui dosanya dihadapan Allah dengan berkata  : “Sebab aku sendiri sadar akan pelanggaranku, aku senantiasa bergumul dengan dosaku. Terhadap Engkau, terhadap Engkau sajalah aku telah berdosa dan melakukan apa yang Kauanggap jahat, supaya ternyata Engkau adil dalam putusan-Mu, bersih dalam penghukuman-Mu”. (Mzm. 51: 5-6)
Daud dengan penuh kesadaran mengakui seluruh dosanya, bahwa ia telah berdosa dengan melakukan apa yang jahat dimata Allah. Pengakuan ini membuktikan bahwa Daud tidak mau mendustai Allah dengan keahliannya berargumentasi secara teologis dan pembenaran dirinya, karena itu Daud akhirnya tetap hidup berdamai dengan Allah.
Alkitab juga mencatat bagaimana kegagalan umat Israel yang mencari Allah tetapi tidak dengan kerendahan hati, artinya mencari Allah untuk mengenalNya bukan dengan hati, tetapi hanya diri sisi intlektualitas semata. Perhatikan dalam Yesaya 58: 2 : “Memang setiap hari mereka mencari Aku dan suka untuk mengenal segala jalan-Ku. Seperti bangsa yang melakukan yang benar dan yang tidak meninggalkan hukum Allahnya mereka menanyakan Aku tentang hukum-hukum yang benar, mereka suka mendekat menghadap Allah,”  Semestinya bangsa ini akan menjadi bangsa yang menyukakan hati Allah jika mereka mencari Allah dengan hatinya, tetapi apa yang terjadi ?
Sesungguhnya, kamu berpuasa sambil berbantah dan berkelahi serta memukul dengan tinju dengan tidak semena-mena. Dengan caramu berpuasa seperti sekarang ini suaramu tidak akan didengar di tempat tinggi”. (Yes. 58:4)  Ternyata umat Israel hanya mampu berbicara tentang Allah dari sudut otak dan intlektualitas, tetapi dalam praktek mereka gagal.  Bukankah hal yang sama kerap kita lakukan ?  Pdt. Yohanes Bambang Mulyono menyebutnya dengan Syaraf Spiritualitas yang terputus (Pelita Umat, BPK Gunung Mulia, 2011)  dengan mengutip dari buku yang berjudul Jesus Among Other God, karya Ravi Zakharias dikisahkan bagaimana pengalamannya ketika ia tinggal di suatu hotel yang berseberangan dengan sebuah kuil. Ia mengamati betapa antusias ribuan orang yang khusuk berdoa di depan kuil tersebut. Di saat sekedar berjalan di depan kuil itu, mereka akan membuat tanda penghormatan seperti menundukkan kepala dan melipat tangan menyembah kepada Tuhan yang ada di dalam kuil tersebut. Tetapi, setelah beberapa langkah, mereka segera “berjaga-jaga” untuk melihat turis manakah yang dapat mereka perdayai hari itu-dari upaya menunjukkan gambar telanjang atau menawarkan pelayanan seks seorang pelacur hingga menjual jam tangan Rolex palsu. Disatu pihak, mereka jelas sangat hikmat dan menghormati hal-hal religius, tetapi di lain pihak, mereka tidak segan mempraktikkan berbagai tindakan illegal dan amoral.
Ritual memang bukan segalanya, karena Tuhan Yesus sendiri telah mengkritisi ritual-ritual yang dilakukan kaum Farisi dan Ahli Taurat yang ditujukan hanya sekedar untuk mendapatkan pujian dari orang lain dan atau memojokkan orang lain (menjadi batusandungan).
Nabi Yoel dengan tegas menyatakan dalam Yoel 2:13 : “Koyakkanlah hatimu dan jangan pakaianmu, berbaliklah kepada TUHAN, Allahmu, sebab Ia pengasih dan penyayang, panjang sabar dan berlimpah kasih setia, dan Ia menyesal karena hukuman-Nya.”  Yang diinginkan Tuhan bukanlah hanya sekedar ritual tanpa ada hati yang menyesal dan remuk, apalah artinya sebuah ritual tanpa diikuti dengan perubahan sikap sebagai hasil dari sebuah pertobatan.
Sekali lagi Daud memberikan teladannya, saaat ia ditegur oleh Nabi Natan atas dosa perzinahannya dengan Batsyeba. Daud mengungkapkan pengakuannya : “ Sebab Engkau tidak berkenan kepada korban sembelihan; sekiranya kupersembahkan korban bakaran, Engkau tidak menyukainya. Korban sembelihan kepada Allah ialah jiwa yang hancur; hati yang patah dan remuk tidak akan Kaupandang hina, ya Allah. (Mzm. 51: 18-19) Daud tidak lagi menggunakan pengakuan dosanya dengan simbolis ritual, tetapi memilih pengakuan dosa yang lahir dari hati yang hancur.
HARAPAN
            Rangkaian perayaan Paskah akan menjadi lebih bermakna dan mengubahkan, jika diawali dengan pemaknaan secara benar. Rabu Abu sebagai pembuka Pra Paskah, seyogianya dimaknai dengan sebuah pertobatan yang berasal dari hati namun juga tercermin dalam sebuah ibadah yang menggambarkan hati yang hancur dan penuh kerendahan untuk mengubah diri (bertobat).
            Masa Pra Paskah selama enam minggu yang diikuti dengan Puasa (menahan dan membatasi diri sebagai implementasi dari penguasaan diri) adalah masa yang cukup untuk membentuk karakter baru yang jauh dari karakter keberdosaan. Pada akhirnya dalam ibadah Paskah, kita akan menemukan sebuah kemenangan atas prilaku yang lama dan lahirnya sebuah prilaku baru yang seturut dengan kehendak Tuhan. Semoga Rabu Abu bukan awal yang terlupakan, tetapi awal yang mengubahkan. (erh03112011-bdj)
Tulisan ini dimuat dalam Buletin Mercusuar Edisi 23 Desember 2011
Bacaan :
Yohanes Bambang Mulyono, Pdt,  Pelita Umat: ulasan tafsir alkitab yang kritis, mendalam, dan mengugah : BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2011
"YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin The Arlington Catholic Herald."  (Disadur dan diedit oleh: JA Gianto - Sie Katekese)
William P.Saunders, "Straight Answers: The Ashen Cross", Arlington Catholic Herald, Inc; Copyright C2003 Arlington Catholic Herald. "diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell. net/yesaya
atas ijin The Arlington Catholic Herald.

Rabu, 11 Januari 2012

Hedonisme dalam Natal



Natal saat ini seolah sudah dimiliki secara universal, tidak hanya untuk kalangan umat kristiani, setidaknya dari sisi keramaian yang dihasilkan. Lihat saja pusat perbelanjaan di berbagai kota besar, tanpa peduli itu kota berpenduduk kristiani atau tidak. Bulan November Desember pusat perbelanjaan sudah berhiaskan suasana Natal, apakah itu dengan pohon natalnya ataupun sekedar boneka santa claus.  Untuk kota yang penduduknya di dominasi umat Kristen bahkan sejak bulan Oktober sudah berhias diri.
Natal seolah identik dengan Big Sales, santa claus, dan keramaian lainnya, kalau pun ada hiasan bayi yang disertai bunda Maria dan para gembala, itu hanyalah sebuah patung/hiasan bisu tanpa makna, yang tak dapat bercerita apapun dan alpa memberi makna hadirnya sebuah kesederhanaan dibalik datangnya sang penyelamat.
Bila pergeseran makna Natal hanya terjadi di pusat perbelanjaan tiada yang perlu dirisaukan, tetapi bagaimana bila makna Natal yang demikian juga menjalar memasuki ruang ibadah di gereja ?  
Hedonisme suatu trend
            Hedonisme berasal dari kata latin Hedone yang berarti kesenangan, merupakan istilah teknis yang menunjukkan paham yang mementingkan kesenangan dan kemewahan fisik.  Tokoh pertama yang mengajarkan aliran hedonisme adalah Democritus (400-370 SM), menurutnya kesenangan adalah tujuan utama di dalam kehidupan ini. Walaupun yang dimaksud bukan sebatas kesenangan fisik semata, tetapi kesenangan fisik sebagai alat perangsang bagi berkembangnya intelek manusia. Aristippus (395 SM) yang merupakan pengikut Socrates, mengajarkan bahwa kesenangan merupakan satu-satunya yang ingin dicari manusia. Kesenangan didapat langsung dari pancaindera. Orang yang bijaksana selalu mengusahakan kesenangan sebanyak banyaknya, sebab kesakitan adalah suatu pengalaman yang tidak menyenangkan. Sedang tokoh lain Epicurus (341-270 SM) melihat bahwa kesenangan tidak semata-mata bersifat ragawi, tetapi senang baginya bila tidak adanya rasa sakit dalam raga dan atau tidak adanya kesulitan jiwa. Dia berargumen, jika hanya kesenangan ragawi yang menjadi ukuran, maka hal itu dapat menyebabkan rasa sakit, misalnya  banyak makan enak akan menyebabkan sakit perut.
           
            Di era modern saat ini hedonisme terus berkembang dan menjadi trend, hanya saja, fenomena hedonisme di akhir abad ini sudah sedemikian meluas dan mencolok bila dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya. Hedonisme modern tidak dapat dilepaskan dari perkembangan antroposentrisme dan positivisme pada abad pertengahan sebagai reaksi dari perkembangan hegemoni berkembangnya wilayah akal budi manusia. Diikuti dengan gerakan renaisans, humanisme, dan rasionalisme, bahkan ateismematerialisme yang mencapai puncak pada abad 18 yang dikenal dengan sebutan zaman Aufkl ärung atau Enlightenment. Muncul anggapan bahwa agama menjadi penghambat perkembangan otonomi manusia, muncul paham sekularisme sebagai sumber moral manusia modern.
Perkembangan industrialisasi di Barat seiring dengan revolusi industri berdampak pada hilangnya nilai-nilai tradisional. Secara faktual nilai-nilai tradisional itu adalah nilai agama dan nilai rohaniah. Modernisasi tidak berhenti di negara barat, di negara-negara berkembang akibat proses global yang dialaminya terimbas oleh paham materialisme dan sekularisme, yang pada akhirnya bermuara pada hedonisme.
Saat ini tidak lagi ada batas barat, timur. Cara hidup dan gaya hidup seolah tanpa batas, simak saja trend mode, apa yang hari in menjadi gaya hidup di belahan eropa, serta merta menyebar ke Indonesia dan negara-negara lain.
Demikian juga dengan penyambutan Natal, cerita Santa Claus yang berasal dari Lycia, sebuah propinsi dari Byzantine Anatolia (sekarang Turki) walau tidak banyak orang tahu asal muasal cerita ini, tetapi hampir di seluruh dunia mengenal tokoh ini  walaupun mungkin dengan penyebutan yang berbeda.
Tidak hanya warga kristiani, bahkan non kristiani juga mengenal dan menikmati tokoh Santa Claus dengan berbagai acara yang menghibur saat menjelang Natal di berbagai pusat perbelanjaan. Tokoh Santa Claus menjadi magnit bagi para pebisnis untuk memasarkan produknya menjelang akhir tahun, tentu dengan berbagai potongan harga dan bonus menarik. Bahkan kehadiran sang bayi sebagai sebuah hiasan di pusat perbelanjaan dikalahkan oleh kehadiran sosok Santa Claus.
Tak ayal lagi, Natal identik dengan perayaan dan belanja berbagai kebutuhan dan saatnya untuk menghias dan memanjakan diri dengan berbagai kepuasan, apakah itu dalam berbusana ataukah dalam santapan, karena menu khusus juga tak urung disajikan pada bulan ini. Singkatnya kepuasan ragawi menjadi prioritas pada saat-saat menjelang natal.

Kesederhanaan Natal
            Peristiwa kelahiran Yesus di kandang domba yang terbungkus dengan lampin dan terbaring di dalam palungan  (Luk. 2: 12) tidak terasa begitu dramatis jika kita tidak memahami bagaimana Nubuatan nabi Yesaya akan kelahiran sang Mesias.  Nabi Yesaya menubuatkan akan kelahiran seorang anak yang memiliki kekuasaan luar biasa, karena lambang pemerintahan ada di atas bahunya. Nubuatan ini disampaikan Yesaya pada saat Kerajaan Israel Selatan (Yehuda) dalam keadaan “nyaris” tanpa harapan saat mereka akan diserang oleh kerajaan Asyur yang begitu perkasa. Dalam hitungan apapun saat itu, mereka akan kalah dan menjadi porak poranda serta akan dikuasai oleh bangsa Asyur, mereka segera akan menjadi kerajaan jajahan.
            Pada saat yang demikianlah Nabi Yesaya menubuatkan : “Sebab seorang anak telah lahir untuk kita, seorang putera telah diberikan untuk kita; lambang pemerintahan ada di atas bahunya, dan namanya disebutkan orang: Penasihat Ajaib, Allah yang Perkasa, Bapa yang Kekal, Raja Damai”. (Yes. 9:5) Bayangkan bagaimana besarnya seorang putera yang akan lahir tersebut.  Selayaknyalah Ia lahir ditengah soraksorai kemewahan dan penghormatan besar karena kekuasaannya dan harapan yang dibawanya pada bangsa yang sedang kehilangan harapan.  Tetapi apa yang terjadi, secara lahiriah Ia hanya lahir di kandang domba, yang penuh dengan kesederhanaan dan kemiskinan. Sangat dramatis seorang juru selamat lahir dalam kehinaan. Tentu kelahirannya tidak masuk dalam hitungan manusia. Apalagi mereka yang menganut hedonisme, apa enaknya lahir di kandang domba? Siapa yang mau menjadi pengikut Dia yang lahir saja sudah ditengah kemiskinan dan kesusahan ragawi ? 
            Kaum pengikut hedonisme yang menjadikan kesenangan sebagai tujuan hidupnya, sudah barang tentu enggan “melirik” peristiwa kelahiran itu, karena peristiwa itu justru tidak memberikan kesenangan ragawi. Simak saja saat Yesus akan dilahirkan, sudah ada penolakan dengan  tidak tersedianya penginapan bagi sang bayi, sehingga akhirnya dilahirkan  di kandang domba.

Makna Natal : Kesukaan Besar bagi Semua
            Mari kita simak kembali bagaimana kabar yang dibawakan malaikat saat kelahiran Yesus: “sesungguhnya aku memberitakan kepadamu kesukaan besar untuk seluruh bangsa (Luk. 2: 10b)  Jelas bahwa kabar kelahirannya memberikan kesukaan besar bagi seluruh bangsa. Ini sejalan dengan nubuatan nabi Yesaya yang menyatakan bahwa Bangsa yang berjalan di dalam kegelapan telah melihat terang yang besar (Yes. 9:1a). Artinya, kelahiran Yesus selain membawa keselamatan, juga memberikan kesukaan besar bagi siapa saja, bukan hanya bagi golongan tertentu. Demikian juga saat bangsa Israel pada masanya berjalan di dalam kegelapan, meraka melihat terang yang besar. Secercah terang bagi mereka yang sedang mengalami kegelapan sudah merupakan hal yang menakjubkan, apalagi lagi terang yang besar, artinya terang yang dapat dinikmati oleh orang banyak.
            Bagaimana perayaan Natal yang kita lakukan, masikah menyisakan hadirnya kesukaan besar bagi seluruh bangsa, atau setidaknya bagi orang disekitar kita? Ataukah Natal hanya sekedar perayaan yang menjadi pemuas berbagai kebutuhan kita? THR yang kita terima sebagai tambahan penghasilan sekaligus meningkatan daya beli kita?.  Pakaian, hiasan ekslusif dan menu mewah ? Apakah porsi besar anggaran panitia Natal masih tetap saja jatuh pada pos konsumsi dan urusan raga lainnya ?
Penulis bukan anti perayaan natal, tetapi mari kita mencoba mengembalikan makna natal kepada semangat awal kehadiran natal. Penulis tidak bermaksud mengatakan bahwa natal selayaknya tanpa konsumsi, tetapi yang menjadi pokok adalah : mari kita lihat kembali apakah hedonism yang tidak sesuai dengan iman Kristen justru (kita biarkan – red) masuk dalam perayaan Natal yang kita lakukan ?
           
Harapan
            Perayaan natal selalu menjadi saat yang dinantikan, dengan berbagai persepsi masing-masing. Sebagai umat Kristen, selayaknya kita tidak menantikannya karena kesenangan ragawi yang akan kita puaskan pada saat menyambut maupun merayakannya. Karena jika demikian kita tidak lebih seperti laiknya penganut hedonisme.
Menyambut dab merayakan Natal dengan segala yang “wah” dan eksklusif untuk diri sendiri membuat tembok pemisah baru antara kita dan orang lain. Sementara kesukaran besar Natal sesungguhnya berfokus pada orang-orang disekitar kita yang belum dapat melihat terang itu karena berbagai keterbatasan.  Kesukaan besar Natal bukan terletak pada kenikmatan ragawi diri sendiri seperti yang ditawarkan oleh pelaku bisnis melalui kehadiran santa claus. Kesukaan besar Natal semestinya terjadi karena kehadiran Sang Bayi yang memberi harapan bagi mereka yang kehilangan asa, menghadirkan damai bagi orang-orang disekitar kita, utamanya mereka yang ada di ruang gereja tempat kita merayakan natal bersama.
Jika melalui natal, kita dapat dipersatukan setidaknya pada pengakuan akan hari dan perayaan yang sama, setidaknya peristiwa tersebut tidak digunakan untuk mengeliminir batas-batas yang ada di antara individu, antar jemaat dan antar sekat-sekat lain yang kita ciptakan sendiri.
Perubahan secara radikan tentu akan membuat gejolak dan hadirnya resistensi, untuk itu yang perlu ditekankan adalah pemaknaan baru dari kehadiran natal, pesan hakiki dari sebuah natal yang meberikan kesukaan besar bagi semua bangsa. Nilai dan makna itu yang selayaknya menjadi porsi terbesar dari natal.

Makna baru natal seyogianya membuat kita dapat merasakan kesukaan besar dan menghadirkan kesukaan bagi orang disekitar kita. Itulah makna kebahagiaan yang melampui kebahagiaan fana. Jaulah kiranya mengejar kenikmatan ragawi yang dalam Natal. Kita bukan penganut Hedonisme, kita adalah pengikut Kristus. Selamat Natal, Damai Besertamu (Pax Vobiscum) erh22112011 Tulisan Ini dimuat dlam Buletin Mercusuar Edisi 23 Desember 2011
             

Senin, 02 Januari 2012

Hanya karena Permintaan


Oleh : P. Erianto Hasibuan
Setiap pergantian tahun umumnya setiap pribadi memiliki permintaan atau obsesi atau target yg akan dicapai pada tahun yg baru. Terlebih penulis, sebagai etnis batak, ritual rutin setiap pergantian tahun adalah menyampaikan kesaksian dan harapan saat ibadah keluarga menyambut thn baru.
Tentu permintaan yang kita sampaikan sangat beragam, ada yang abstrak, seperti anak bungsu saya yang memohon kepada Tuhan agar dia menjadi anak yang lebih baik, dengan setia kepada Tuhan dan menurut orang tua, atau yang nyata seperti anak sulung saya yang meminta agar dapat lulus level berikutnya kursus biolanya.
Apapun yang anda minta dan inginkan pada tahun 2012, sesungguhnya adalah doa anda yang menggambarkan arah dan tujuan hidup anda. Akan jadi persoalan jika anda tidak meminta apaun, karena akan muncul pertanyaan, "apa yang akan mengendalikan hidup anda"? Ingat istilah MBO (Management by objective) dalam ilmu management. Karena tanpa tujuan (target) maka hidup kita hanya bagaikan pucuk cemara yang senantiasa di kendalikan oleh arah angin, artinya arah hidup kita dikendalikan oleh lingkungan.
Hidup ini seumpama berada di lautan, bagi mereka yang memiliki keterampilan untuk berenang bahkan menyelam, akan memandangnya sebagai kenikmatan karena ia akan dapat menikmati birunya laut, bahkan menyelam menikmati indahnya tumbuhan laut. Tentu mengarungi lautan baginya adalah sebuah anugerah yang selayaknya disyukuri. Tidak demikian bagi mereka yang tidak memiliki keterampilan untuk berenang, apalagi menyelam. Melintasi lautan baginya adalah beban yang menyakitkan dan yang harus segera dihindari. Dapat dibayangkan apa yang akan keluar dari mulut keduanya. Yang pertama akan penuh dengan ucapan syukur sedang yang kedua akan penuh dengan sungut-sungut.
Salomo (Sulaiman) menjadi tokoh yang termasyur bahkan tokoh paling besar di segala abad dari sisi kebijaksanaannya dalam menimbang perkara. Mengapa ia dapat memiliki kemampuan yang begitu tak tertandingi? Rahasianya ternyata sederhana, bahkan sangat sederhana hanya karena permintaan yang tepat.
Saat Tuhan memberikan kesempatan kepada Salomo untuk meminta: "Mintalah apa yang hendak Kuberikan kepadamu."(1 Raj.3:5b), dapat kita bayangkan apa yang akan diminta Salomon pada saat itu? Sebagai pewaris Takhta Daud, pastilah Salomo menginginkan kelanggengan dari kekuasaannya dan umur panjang agar ia dapat menikmati kekuasaannya lebih lama lagi. Mengapa demikian?, karena Salomo adalah pewaris Takhta Daud yang mengalahkan berlaksa-laksa musuh (bandingkan dengan Saul yang hanya mengalahkan beribu), Kerajaan yang diwarisinya berawal dari kerajaan yg berbentuk Theokrasi dimana pemerintahan di pegang oleh Allah yg diwakili oleh para hakim dan selanjutnya diteruskan oleh para Raja.
Dengan bentuk kerajaan demikian, titah raja adalah hukum dan mutlak adanya. Dapat kita bayangkan bagaimana besar dan kuatnya kerajaan yang diwarisi oleh Salomo. Tetapi yang mengherankan, permintaannya tidak seperti yang kita duga, justru yang ia minta adalah HIKMAT untuk bersikap adil dalam memimpin. Coba simak permintaan Salomo: "Maka berikanlah kepada hamba-Mu ini hati yang faham menimbang perkara untuk menghakimi umat-Mu dengan dapat membedakan antara yang baik dan yang jahat, sebab siapakah yang sanggup menghakimi umat-Mu yang sangat besar ini?" (1Raj. 3:9)
Hikmat yang diminta Salomo tidak ubahnya seperti keterampilan untuk dapat berenang dan menyelam, jika kita kaitkan dengan ilustrasi terdahulu. Artinya Salomo memandang perjalannya merupakan anegerah yang yang layak untuk dinikmati karena persoalan yang muncul baginya sama dengan menyelam lebih dalam lagi ke dasar laut untuk menikmati indahnya tumbuhan laut.
Demikian saat memasuki tahun 2012, kita tidak tahu apa yang akan terjadi ke depan, tetapi jika kita memiliki keterampilan (kompetensi) untuk menanganinya, maka persolan itu tak ubahnya seperti seorang penyelam yang menikmati kedalaman laut, semakin dalam semakin indah dan semakin penuh dengan rasa kagum akan kebesaran Sang Khalik yang empunya ciptaan.
Mari saudara ku, kita masuki tahun 2012 dengan terlebih dahulu meminta kepada Tuhan agar kita diperlengkapi, sehingga kita dapat menikmati kedalaman berkat dan persoalan hidup ke depan dengan ucapan syukur, karena seluruhnya adalah kenikmatan yang layak disyukuri, bukan beban yang harus dihindari. SELAMAT MEMASUKI TAHUN 2012. BERKAT TUHAN MENYERTAI ANDA. AMIN!
(erh010112-pwt)