SELAMAT DATANG DI "TEOLOGI KAUMAWAM"

Salam dalam Kasih Tuhan Yesus Kristus. Terimakasih telah mampir di blog yg sederhana ini. Kami sangat berterimakasih bila saudara berkenan memberi tanggapan atas tulisan yang saudara baca di blog ini. Karena dengan tanggapan itu kami akan dapat belajar dan berbagi, sebab untuk itulah blog ini dibuat agar hidup kita tetap terpelihara dalam persekutuan. Semua tulisan dalam blog ini dapat dikutip dengan tetap mencantumkan sumbernya. Kiranya Tuhan Yesus memberkati kita. Pax Vobiscum, Erianto Hasibuan

Kamis, 19 April 2012

Rabu Abu, Lalu Apa ?


Menilik tulisan “Rabu Abu : Upaya mengembalikan tanda pertobatan” pada edisi 23 yang lalu (Desember 2011), Rabu Abu sebagai tanda pertobatan di masa pra paskah menarik untuk diulas lebih lanjut aspek pertobatannya.
                Pertobatan kerap dikaitkan dengan adanya hukuman. Seseorang dengan segera mengakui kesalahannya (dosanya) karena ia takut akan ganjaran yang akan diterimanya sebagai akibat dari kesalahan itu.  Pernah di salah satu stasion televisi nasional ditayangkan sebuah acara yang membuat seorang pendosa menjadi bertobat. Caranya adalah dengan mengubur si pendosa, mensituasikan seolah ia telah berada di alam “sana” dan akan segera mendapatkan siksaan. Pada penghujung acara, jelas terlihat bagaimana si pendosa menjadi bertobat dan menyesali perbuatannya karena rasa takut luar biasa yang dialaminya. Allah dikesankan sebagai hakim yang kecintaan-Nya adalah menghukum.
                Pertobatan demikiankah yang dimaksudkan dari peringatan rabu abu ? Pertobatan yang didasarkan oleh rasa takut, pada hakikatnya bukanlah pertobatan yang sesungghnya. Pertobatan karena rasa takut hanya merupakan upaya untuk menghindarkan diri dari sebuah hukuman, pertobatan demikian terjadi karena yang bersangkutan tidak ingin menderita akibat menerima ganjaran, seperti seorang pengendara yang mematuhi rambu lalulintas hanya pada saat ada petugas. Pertobatan demikian menurut penulis tidak meningkatkan kualitas hidup si petobat maupun lingkungannya.
                Pertobatan yang sesungguhnya adalah pertobatan yang lahir atas dasar kasih, bukan atas dasar ketakutan. Sebagaimana yang dituliskan Yohanes :“Di dalam kasih tidak ada ketakutan: kasih yang sempurna melenyapkan ketakutan; sebab ketakutan mengandung hukuman dan barangsiapa takut, ia tidak sempurna di dalam kasih.” (I Yoh. 4:18)   Kata Kasih yang digunakan di sini berasal dari kata agape.
                Agape kerap digunakan untuk mengambarakan kasih Allah kepada manusia, yang berarti kasih yang tidak tergantung pada objeknya. Artinya kasih yang tidak didasari pada kepentingan diri sendiri, misalnya karena ketakutan terhadap hukuman yang akan diterima. Kasih agape berdasar pada kesadaran untuk berbuat sesuatu yang menyenangkan pihak lain. Dalam kasih inilah tidak lagi ada ketakutan, tidak ada kepentingan diri, melainkan hanya rasa ingin menyenangkan pihak lain.
                Selama tindakan kita didasarkan pada rasa takut, maka tindakan yang mulia dan suci sekalipun akan menjadi sesuatu yang tidak sempurna. Misalnya tindakan memberi derma pada acara di gereja adalah tindakan yang mulia, namun manakala tindakan itu didasari pada rasa takut disebut pelit, ia akan menjadi tindakan manipulatif dan segera berubah menjadi tindakan untuk mencari pahala. Pertobatan juga tidak didasari oleh semangat kemunafikan, tetapi ketulusan. Baik tindakan mencari pahala maupun tindakan yang didorong oleh semangat kemunafikan adalah tindakan yang berpusat kepada diri sendiri, bukan karena rasa ingin menyenangkan pihak lain.
                Lalu pertobatan seperti apakah yang selayaknya dilakukan pada saat memasuki pra paskah yang diawali dengan Rabu Abu? Pertobatan dengan hati sebagaimana yang diingatkan oleh nabi Yoel dalam Yoel 2:13a, “Koyakanlah hatimu dan jangan pakaianmu, …“ Pertobatan dengan hati penuh dengan kesadaran akan kasih Allah yang telah memberi saat kita masih berlumur dosa. Tidak melihat apakah kita sudah baik atau belum, Allah telah menyatakan KasihNya. Bila seseorang membantu kita tanpa diminta saat kita kesusahan, orang tersebut laiknya pahlawan dalam hidup kita ? Bagaimana dengan Tuhan yang telah menghinakan diriNya menjadi manusia (pencipta menjadi ciptaan) bahkan mengorbankan nyawaNya  buat kita? Bukankah Ia lebih layak lagi untuk mendapatkan (terima) kasih kita dalam rupa perilaku kita yang berkenan kepada-Nya dan menyenangkan hati-Nya.
                Ritual rabu abu sebagai tanda pertobatan dilakukan saat memasuki Pra-Paskah, hingga rangkaian peringatan Kamis Putih, Jumat Agung dan Minggu Paskah. Pertobatan dalam konteks ini jelas tidak dikaitkan dengan hukuman, tetapi pada kasih di mana Allah sendiri yang menanggung hukuman untuk membebaskan manusia dari akibat dosa. Rangkaian hari raya gerejawi ini secara tegas mengajarkan kepada kita bagaimana prespektif kasih mendasari pertobatan bukan ketakutan. 
Kecintaan kita akan kasih Allah tersebutlah seyogianya menjadi dasar kita dalam pertobatan. Kita bertobat karena kita sebagai warga kerajaan Allah belum berprilaku sebagai warga kerajaan Allah. Simaklah apa yang dikatakan Rasul Paulus : “Sebab Kerajaan Allah bukanlah soal makanan dan minuman, tetapi soal kebenaran, damai sejahtera dan sukacita oleh Roh Kudus” (Rom. 14:17). Artinya, pertobatan dengan hati dilakukan dengan penuh suka cita untuk dapat hidup dalam kebenaran (dikaiosune) dengan bertindak seturut kehendak Allah, hidup berdampingan dengan penuh damai sejahtera (eirene) dan memancarkan sukacita (khara) karena menjadikan Roh Allah sebagai penguasa hidup.
                Pertobatan dengan hati pada akhirnya membuat kita lebih dekat dengan Allah. Tanpa rasa takut, melainkan rasa rindu senatiasa, kita hidup lebih dekat dan lebih mengenal kebenaran Allah. Bukan rasa takut yang membuat kita menghindar dan bersembunyi dari hukuman. Rasa rindu untuk dekat dengan Allah itulah upaya kita senantiasa untuk dapat hidup kudus sebagai mana Allah kudus adanya. Kekudusan Allah yang mendorong kita untuk senantiasa berupaya hidup kudus.
Selamat Paskah, dengan memaknai pertobatan yang benar, menjalaninya “sepanjang hidup”, dan senantiasa lebih dekat dengan Allah. (erh20022012)
Tulisan ini di muat dalam Buletin Mercusuar Edisi 24;  Maret 2012.