SELAMAT DATANG DI "TEOLOGI KAUMAWAM"

Salam dalam Kasih Tuhan Yesus Kristus. Terimakasih telah mampir di blog yg sederhana ini. Kami sangat berterimakasih bila saudara berkenan memberi tanggapan atas tulisan yang saudara baca di blog ini. Karena dengan tanggapan itu kami akan dapat belajar dan berbagi, sebab untuk itulah blog ini dibuat agar hidup kita tetap terpelihara dalam persekutuan. Semua tulisan dalam blog ini dapat dikutip dengan tetap mencantumkan sumbernya. Kiranya Tuhan Yesus memberkati kita. Pax Vobiscum, Erianto Hasibuan

Selasa, 10 Maret 2009

Rumah ku dari TUHAN ku

Mazmur 127:1 – 5

Kita umumnya memperoleh pendidikan, motivasi dan asuhan yang berawal dari keluarga, yaitu di dalam rumah. Dari rumah kita memperoleh pengajaran dalam bidang apapun, dengan maksud agar kita dapat berhasil dan menjadi orang yang sukses, sukses di sini dapat diartikan dengan istilah “unggul” . Dalam tulisan Om Anto (Harmanto Edy Djatmiko) di Majalah Swa 22 Januari 2009, dengan judul “Mencetak Manusia Unggul” dalam kalimat pembuka dikatakan “Lingkungan keluarga merupakan wahana utama untuk menempa karakter anak-anak menjadi manusia unggul.”
Bagi orang tua, memiliki anak yang unggul adalah kebanggaan luar biasa, sekalipun tidak jarang orang tua yang berambisi untuk menjadikan anak-anaknya untuk menutupi kegagalannya pada masa lalu, atau menjadikan fotocopy atas kesusksesan dirinya tanpa memperhatikan kehendak si anak sendiri.
Kesuksesan si anak yang menjadi kebanggaan orang tua, kerap menjadi sikap bermegah diri. Dalam pemahaman ini orang merasa bahwa semua keberhasilan yang dicapai dalam studi, pekerjaan dan karier, atau membangun rumah-tangga ditentukan oleh usaha, prestasi dan kemampuan dirinya. Dalam keadaan demikian pemazmur mengingatkan kita: ” Jikalau bukan TUHAN yang membangun rumah, sia-sialah usaha orang yang membangunnya; jikalau bukan TUHAN yang mengawal kota, sia-sialah pengawal berjaga-jaga” (Mzm. 127:1). Firman Tuhan ini pada dasarnya mengingatkan kita, jikalau manusia berusaha sendiri tanpa mengingat pertolongan, campur-tangan dan berkat dari Tuhan; maka segala kerja yang dilakukan hanyalah seperti bayangan yang suatu saat akan lenyap. Karena itu di Mzm. 127:1 menyatakan setiap upaya manusia membangun rumah-tangga, bahkan upaya untuk mengerahkan kekuatan militer secara luar biasa untuk menjaga keamanan kota tidak pernah terwujud secara kekal jikalau manusia mengabaikan Allah.
Beberapa peristiwa penting diberbagai belahan dunia telah membuktikan hal itu, seperti kisah tenggelamnya kapal pesiar Titanic yang anti tenggelam, porak porandanya kota Kobe di Jepang segera setelah mereka memproklamirkan bahwa mereka telah berhasil membangun gedung-gedung “canggih” yang tahan gempa. Dengan perkataan lain, usaha dan kemampuan manusia tidak dapat menjamin keberlangsungan dari apa yang dikerjakannya termasuk rumah megah bukan menjadi jaminan kebahagiaan didalam rumah tangga, tapi bukan berarti didalam rumah yang megah tidak ada kebahagiaan.
Kita mungkin mengatakan, kami melakukan doa bersama saat hendak memulai pemabangunan rumah ini, bahkan saat dalam merencanakan untuk membangun (membeli) rumah ini kami telah menggumulinya dalam doa. Apakah itu belum cukup ? Bahkan saat ini saat memasuki rumah ini kami melakukan ibadah (renungan) dan sebelumnya (mungkin) telah mengundang pelayan Tuihan untuk berdoa. Tetapi mengapa pada kenyataannya keindahan fisik rumah tersebut tidak diikuti dengan keindahan isi hati penghuninya ?
Persoalannya adalah apakah arti firman Tuhan ” Jikalau bukan TUHAN yang membangun rumah, sia-sialah usaha orang yang membangunnya; jikalau bukan TUHAN yang mengawal kota, sia-sialah pengawal berjaga-jaga” menjadi tindakan iman yang kita nyatakan setiap hari?. Kehadiran Tuhan dalam rumah-tangga bukan suatu kehadiran formalitas dalam ritual kebaktian. Tetapi seharusnya dalam kehidupann rumah-tangga kita, Tuhan perlu dihadirkan oleh semua pihak sebagai Allah yang kepadaNya kita berbakti dan melaksanakan kehendakNya dengan setia.
Kehadiran dan penyertaan Tuhan dalam kehidupan sehari-hari perlu direspon oleh pasangan suami-isteri dengan melaksanakan tanggungjawab dan kewajibannya dengan setia. Makna berkat Allah tidak boleh dipahami secara pasif, tetapi sebaliknya harus dipahami secara pro-aktif. Suami dan isteri wajib melakukan tugas-tugasnya agar rumah-tangga mereka dapat kokoh bertahan mengarungi samudera kehidupan ini. Itu sebabnya di ayat 2, pemazmur berkata: ”Sia-sialah kamu bangun pagi-pagi dan duduk-duduk sampai jauh malam, dan makan roti yang diperoleh dengan susah payah--sebab Ia memberikannya kepada yang dicintai-Nya pada waktu tidur”. Perhatikanlah bahwa Allah memberikan berkatNya kepada yang dicintai pada waktu mereka tidur. Maksud firman Tuhan ini adalah bahwa Allah mengaruniakan berkatNya kepada mereka yang terlelap tidur setelah mereka bekerja dengan susah-payah. Jadi Allah tidak akan memberikan berkat dan rezeki kepada mereka yang gemar tidur dengan lelap, tetapi rumah tangga mereka tidak dilandasi oleh kerja dan usaha yang memadai. Landasan rumah tangga tidaklah cukup dengan cinta yang romantis belaka, tetapi perlu dilandasi oleh cinta yang diwujudkan dalam sikap tanggungjawab secara moril dan finansial.
Kata yang dicintai Nya pada ayat 2 mengingatkan kita pada perkataan Paulus pada Roma 8 :28 Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia.
Karena itu marilah kita hayati pemahaman iman yang menyatakan, ” Jikalau bukan TUHAN yang membangun rumah, sia-sialah usaha orang yang membangunnya” secara nyata dalam kehidupan sehari-hari. Khususnya sikap iman kita yang mau menerima apa yang menjadi kehendak Tuhan walaupun seringkali kehendak Tuhan itu tidak sesuai dengan harapan dan cita-cita kita. Kiranya Saudaraku Sari dan Mulyo dapat mengimani bahwa “Rumahku dari Tuhan ku”. Semoga.
*) Disampaikan pada acara ibadah Keluarga pada pertemuan keluarga Yoram Suharso dalam rangka memasuki rumah baru Kel. Mulyo dan Sari di Villa Nusa Indah 5 pada Sabtu 7 Maret 2009.