-->
Oleh : P. Erianto Hasibuan
Saat isteri
ku menanyakan bahwa ia mengasihi aku sejak awal tanpa syarat, rasanya seperti
utopia, walau ia bukan tipe yang idealis. Kalimat “kasih tanpa syarat” menjadi
kalimat yang langka saat ini, karena yang lebih populer adalah kata saling,
dalam arti, saling memberi dan menerima (take and give).
Tidak
hanya di dunia sekular, bahkan masuk melampaui pintu gereja dan memberi corak
dalam kehidupan berjemaat. Saling
mengasihi dimaknai dengan senantiasa membalas kebaikan dengan kebaikan, menjadi
kelaziman bahkan mengarah kepada kewajiban. Itulah etika dan pengajaran yang
diterima secara universal.
Seolah tidak ada yang salah, tetapi pada kenyataanya yang
terjadi adalah semakin meningkatnya keegoisan setiap individu, karena pada
dasarnya kebaikan yang dilakukan berpusat pada kepentingan diri sendiri. Saat kebaikan yang ditebar tidak menghasilkan
seperti yang diharapkan, maka hadirlah sejumlah kekecewaan, bahkan cercaan.
Kasih tidak ubahnya bagaikan iklan yang senantiasa
menyertakan syarat ketentuan berlaku.
Bahkan sejak dalam PL (Perjanjian Lama) hingga masa Yesus, kasih bersyarat
tumbuh subur. Lihat saja bagaimana ketatnya peraturan (tradisi) kaum Yahudi
yang melarang keras mereka bergaul dengan kaum Samaria, demikian halnya dengan
bangsa nonyahudi lainnya. Penulis kitab Kisah Para Rasul bahkan dengan gamblang
menceriterakan, bagaimana perselisihan pengikut Kristus dari golongan bersunat
(sebutan untuk kaum Yahudi) dan tak bersunat (sebutan untuk kaum bukan Yahudi)
atas peristiwa pertemuan Petrus dengan Kornelius (Kis. 11 : 1-18).
Rasul Petrus sendiri yang pernah hidup bersama Yesus,
mengalami pergumulan mendalam untuk memahami bahwa Kasih itu tanpa batasan,
konon lagi para pengikutnya. Bersyukurlah kita yang hidup di era ini, yang
memiliki Alkitab yang menyaksikan bagaimana Rasul Petrus diubahkan sudut
pandangnya dalam melihat tradisi nenek moyangnya dalam relasinya dengan bangsa
lain. Kasih yang dipahami Rasul Petrus berikutnya adalah kasih yang tanpa
dibatasi syarat asal bangsa (Kis. 11:17-18).
Penyaliban Yesus, merupakan karya keselamatan terbesar
sepanjang sejarah, Yesus memperdamaikan semua orang, tanpa peduli ia percaya
atau tidak kepadanya, bahkan mereka yang menyalibkan dan menyiksanya, Ia
memberikan diriNya untuk menjadi korban tebusan agar mereka memperoleh jalan
mencapai keselamatan. Coba lihat, adakah
Yesus meminta syarat kepada Sang Bapa saat Ia berdoa di bukit getsemani?
Ditengah kegundahanNya untuk melaksanakan tugasNya, Ia hanya menyatakan bahwa “Jangan kehendak ku tetapi kehendak Mulah
yang jadi”, artinya Ia tidak meminta apapun sebagai syarat agar umat manusia di perdamaikan dengan Bapa. Kasih Nya
nyata, senyata Allah memberikan sinar mentari kepada siapa saja, yang percaya
atau tidak, baik atau jahat. Lalu
mengapa saat ini kita selalu meminta syarat dalam mengasihi ? Seolah kita
mendapatkan kasih itu dengan usaha kita.
Pemahaman kita akan kasih tanpa syarat (Agape, kasih yang
tidak tergantung pada objeknya) pada masa ini memudar dengan cepat. Seolah
terhimpit oleh kelaziman dan pengajaran universal atas saling, lihat saja sebuah acara PA (Pemahaman
Alkitab) yang dibuat di gereja, pesertanya tidak lebih dari jumlah jemari,
tetapi kala PA di buat di rumah jemaat, jumlahnya akan meningkat drastis bahkan
tak lagi dapat dihitung dengan jemari tangan dan kaki. Mengapa demikian? Karena
kita perlu saling menghargai, jika
kita tidak hadir di rumah si A, bisa jadi pada saat di rumah kita si A juga
tidak hadir, itulah dahsyatnya formula saling.
Mari melihat kembali pengajaran Yesus tentang Penghakiman Terakhir
(Mat. 25 : 31-46). Saat Raja itu
mengatakan kepada mereka yang disebelah kanan Nya: Mari, hai kamu yang
diberkati oleh BapaKu, terimalah Kerajaan yang telah disediakan bagimu sejak
dunia dijadikan (Mat. 25: 35), Siapakah mereka yang masuk dalam kelompok itu?
yaitu mereka yang memberi makan kepada yang lapar, memberi minum kepada yang
haus, memberi tumpangan kepada orang asing, memberi pakaian kepada yang
telanjang, melawat yang sakit,
mengunjungi orang dipenjara. Apakah semua orang yang melakukan hal demikian
mendapat bagian dalam Kerajaan yang telah disediakan? Ternyata tidak, karena mereka yang melakukan
dengan tulus itu pun bertanya. Tuhan bila manakah kami melihat Engkau lapar dan
kami memberi Engkau makan, atau haus dan memberi Engkau minum? … (Mat. 25 :38
…)
Yesus menjelaskan dengan tegas “ Aku
berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah
seorang dari saudaraKu yang paling hina ini, kamu melakukannya untuk Aku”. (Mat
25: 40). Kebaikan sebagai wujud rasa kasih
yang kita lakukan kepada mereka yang paling hina, tentu tanpa kata saling.
Sebab mereka yang paling hina, hanya
dapat menerima tanpa memberi. Pada saat itulah kita dapat menyatakan kasih
tanpa syarat. Pengajaran Yesus ini menjelaskan
kepada kita dengan tegas, bahwa hanya dengan kasih yang demikian kita dapat
merefleksikan kasih Allah (Agape) kepada sesama.
Seorang
pengkotbah mengelompokkan kasih dengan kalimat yang sederhana, menjadi tiga,
yaitu kasih jika, kasih karena dan kasih walaupun. Kasih jika, adalah kasih yang diberikan
kepada pihak lain, jika pihak lain melakukan sesuatu untuk kita. Bagi muda mudi
misalnya, seorang pria mengatakan akan mengasihi si wanita itu, jika ia
menerima ku sebagai kekasihnya. Kasih
karena, adalah kasih yang kita berikan kepada seseorang karena ia adalah
saudara ku, atau karena ia adalah atasanku. Kedua kasih ini sarat dengan
kelaziman saat ini, yaitu untuk Saling. Sedang
kasih walaupun, merupakan kasih yang murni. Aku mengasihi dia walaupun ia orang
yang paling hina dan aku tidak dapat berharap apapun darinya. Lebih jauh lagi,
seperti Yesus mengasihi kita walaupun kita masih berdosa.
Selama ada
hitungan matematis dalam kita berbuat baik kepada orang lain, itu adalah kasih
yang masih berpusat pada diri sendiri atau kasih dengan tujuan saling, bukan
kasih tanpa syarat. Misalnya aku memberi seratus agar aku mendapatkan seratus
atau bahkan lebih, atau tidak masalah aku mendapatkan sepuluh. Tetapi kasih
tanpa syarat adalah memberi seratus dengan berharap nol, karena pemberian itu
didasarkan pada rasa syukur atas besarnya Kasih Tuhan yang sudah kita terima
melalui penebusanNya.
Seyogianya demikianlah kita di dalam kehidupan kita, kasih
terhadap sesama biarlah lahir karena kita sudah merasakan kasih Yesus yang
begitu besar untuk kita, sehingga kita dapat mengasihi sesama, bukan lagi untuk
kepentingan kita, tetapi lebih untuk menyatakan kasih Yesus kepada kita. Itulah
makna Paskah sesungguhnya dalam keseharian kita, yaitu untuk menyatakan bahwa
kasih tanpa syarat itu masih ada dan nyata, senyata terang mentari dan cahaya
rembulan yang dapat dinikmati siapa saja tanpa syarat. SELAMAT PASKAH (ERH Bth 10032012)
Tulisan
ini dimuat dalam Buletin Mercusuar edisi 28 Maret 2013.
1 komentar:
Posting Komentar