Oleh : P. Erianto Hasibuan
Jika menyebut nama Dr. Azhari, Noordin M Top dan Amrozi dipastikan persepsi pembaca akan mengarah ke satu kata yang maknanya sama, Terorisme. Namun jika menyebut nama Mangampin Sibuea, David Koresh, sebagian dari pembaca boleh jadi memiliki persepsi yang sama, dan sebagaian telah melupakan peristiwa yang menarik perhatian publik. Mangampin Sibuea adalah seorang pendeta yang kemudian mendirikan sekte sendiri dengan penafsirannya mencoba menghitung saat kiamat, sementara David Koresh adalah pemimpin Branch David yang bersama para pengikutnya mengakhiri hidup mereka sendiri.
Begitu dasyatnya sebuah pemahaman dan kepercayaan, dapat membentuk kepribadian yang berbeda dari pribadi yang lazim. Kepercaayaan yang mengarah kepada fanatisme sempit tentu diawali dari pemahaman dan berkembang menjadi kepercayaan dan keyakinan ybs. Seberapa besar pengaruhnya? Fakta telah menjelaskan lebih dari kata-kata, apa yang dilakukan Amrozi dkk dengan Bom Bali, David Koresh dan pengikutnya yang bersama-sama membakar diri.
Dalam banyak kesempatan, kerap diperdebatkan mana yang benar dalam membangun sebuah bangsa pertama membangun fisik lalu pembangunan karakter (character building), atau sebaliknya. Sekalipun para "pakar" seolah koor untuk menyetujui bahwa pembangunan karakter (character building) yang utama, tetapi pada akhirnya hasil pekerjaan pihak "eksekutif" (termasuk pengurus organisasi, CEO perusahaan) diukur dengan ukuran material berupa output yang riil. Lalu siapa yang peduli dengan hal-hal yang bersifat abstrak yang menyangkut kejiwaan, jika hampir mustahil untuk mengukurnya ?
Budaya Instan.
Cara mudah menilai kemana arah kebijakan suatu organisasi adalah dengan memperhatikan komposisi anggaran belanjanya, termasuk sebuah negara, bahkan gereja sekalipun. Jika komposisi masih didominasi pada bidang-bidang fisik, seperti membangun gedung dan sarana lainnya tanpa mempertimbangkan aspek manusia yang terlibat didalamnya, maka sulit untuk mengatakan bahwa organisasi tersebut memiliki visi jangka panjang.
Pembangunan fisik merupakan pekerjaan yang dapat dengan mudah dinilai bahkan dengan kasat mata sekalipun, pertanggung jawaban anggaran dapat dilakukan dengan cepat. Namun pembangunan jiwa (karakter) sangat abstrak dan penilaiannya membutuhkan waktu panjang. Tidak banyak orang yang memiliki keberanian untuk melakukannya, utamanya menyangkut aspek pertanggung jawaban.
Coba lihat para petinju kita, hanya sedikit dari mereka yang mau berlelah-lelah mengawali karirnya dari amatir, penyanyi tenar dengan instan dapat dicetak melalui "idol" dan sejenisnya, mahasiswa cukup baca diktat, text book terlalu tebal dan bertele-tele. Outputnya, begitu banyak petinju kita yang meninggal di atas ring, penyanyi yang eksistensinya tidak berakar hingga mudah hilang dari pasaran, para sarjana yang dipertanyakan kualitasnya dst.
Membangun Jiwa
Pada abad ke 16, Inggris dan Spanyol adalah dua negara besar, tetapi kemudian Inggris semakin besar sedangkan Spanyol semakin lemah. Seorang psikolog sosial David McClelland melakukan penelitian dan McClelland menemukan dongeng dan cerita anak Inggris abad ke-16 mengandung 'virus' yang menyebabkan pembaca atau pendengar terjangkit penyakit The need for Achievement (Kebutuhan Berprestasi) yang kemudian terkenal sebagai n-Ach. Sedangkan cerita dan dongeng Spanyol justru meninabobokan rakyatnya.
Dalam artikel The Need for Achievement, ia
mengungkapkan kalau dongeng dan cerita anak memiliki fungsi lain selain daripada sekedar membawa pesan moral. Ia menemukan bahwa dongeng sebelum tidur mempengaruhi nasib sebuah bangsa.
Bagaimana virus n-Ach dapat mempengaruhi nasib suatu bangsa? Lebih lanjut David McClelland dengan bantuan ahli yang netral, menemukan puisi, drama, pidato penguburan, kisah epik di Inggris ternyata menunjukkan optimisme yang tinggi, keberanian untuk mengubah nasib, dan sikap tidak cepat menyerah. Cerita-cerita seperti ini dianggap memiliki nilai n-Ach tinggi. Lalu ia juga menemukan pertumbuhan ekonomi yang sangat tinggi selalu didahului oleh The Need for Achievement yang tinggi dalam karya sastra masa itu.
Selanjutnya, ia mengumpulkan 1.300 dongeng dan cerita anak dari berbagai negara era tahun 1925 dan 1950, dan mendapati cerita atau dongeng yang mengandung nilai n-Ach tinggi selalu diikuti pertumbuhan ekonomi yang tinggi di negara itu dalam kurun waktu 25 tahun kemudian.
Waktu 25 tahun bagi bangsa yang terbiasa dengan budaya instan adalah kemustahilan, tidak demikian halnya bagi bangsa yang terbiasa memiliki "mimpi/visi". Dua puluh lima tahun bukanlah halangan untuk merubah karakter suatu bangsa, karena seluruh organisasi di negara tersebut dapat mengatakan: "dalam 10 tahun kedepan kami akan berubah", setiap rumah tangga dapat berubah dalam waktu 3 tahun dan bukan tidak mungkin bagi individu untuk merubah diri dalam 2 tahun. Masih sangat cukup waktu bagi suatu bangsa untuk mengkonsolidasikan dan mensinergikan perubabahan dan membentuk karakter baru.
Dasar Firman Tuhan
Jika David McClelland dengan teori The need for Achievement, bagaimana dengan Firman Tuhan dalam Alkitab. Adakah "Virus" n-Ach terdapat dalam Alkitab ?.
Abraham yang ketika itu masih sebagai Abram, saat dipanggil Allah, yang diberikan adalah sebuah "Janji/Visi" bahwa Allah akan memberikan suatu negeri kepada keturanannya (Kej. 12:7) janji yang sama diberikan kepada Musa saat ia hendak diutus Tuhan memimpin orang Israel keluar dari tanah Mesir "Aku akan memberikannya kepadamu untuk menjadi milikmu" (Kel 6:7), demikian halnya dengan janji Allah untuk memberikan keluarga yang teguh bagi Salomo seperti yang diberkan Allah kepada Daud (I Raj.11:38).
Janji yang diberikan tidak lalu menjadi kenyataaan tanpa upaya apapun. Abram selanjutnya mengalami proses pembentukan agar menjadi Abraham, Musa harus meninggalkan kenikmatan Istana. Janji yang dari Allah sekalipun harus dicapai dengan penuh kerja keras dan pengorbanan yang tidak kecil. Cerita perjuangan yang penuh heroik tersebut tidak hanya menjadi sebuah sejarah yang mati bagi generasi berikutnya, tetapi melekat bagi setiap perintah yang diberikan Allah kepada umat Israel. Llihat saja kata pembuka dari Dasa Titah " Akulah TUHAN, Allahmu yang membawa engkau keluar dari Tanah Mesir, dari tanah perbudakan". (Kel.5:6) pesan ini dimaksudkan agar umat Israel mengingat bagaimana besarnya kasih Allah kepada leluhur mereka dan kasih yang sama juga tetap menyertai mereka.
Pada bagian selanjutnya mereka diwajibkan tidak hanya sekedar berpengang pada perintah yang telah diberikan Allah kepada mereka, tetapi lebih dari itu "haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun. (Ul. 6: 6-7) Perintah yang sama juga disampaikan kepada Yosua (1:8).
Dalam Perjanjian Baru, kita melihat bagaimana Paulus sebagai seorang yang visioner dengan goal setting yang jelas, mengumpamakan pelayanannya sebagai sebuah pertandingan yang harus dikejar dengan berlari demi mencapai tujuan dan mendapatkan hadiah (Flp 3: 13-14), visi yang sama juga ditanamkannya kepada muridnya Timotius (I Tim. 4:10)
Sesungguhnya jika ditelaah lebih lanjut, di dalam Firman Tuhan begitu banyak kandungan "virus" n Ach. Namun kerap kita tidak menyadari keberadaannya, atau sebagaian telah menyadarinya tetapi belum terbiasa untuk mebicarakannya, jangankan siang dan malam bahkan sekali seminggu juga masih penuh dengan kealpaan.
Peran Gereja dan Keluarga
Pdt. Dr. Andar Ismail dalam tulisannya di harian Suara Pembaruan 9 Juni 2009 yang berjudul Gereja yang Membaca dana Menulis, mengungkapkan hasil survey yang pernah dilakukan oleh Pdt. Dr. Andar Ismail dan Pdt. Dr. Eka Darmaputra kepada para pendeta di Jakarta tentang sebuah buku tafsiran tulisan seorang pakar biblika terbitan BPK Gunung Mulia. Buku itu sudah dua tahun tersedia, tidak terlalu tebal dan tidak terlalu mahal. Ternyata, kebanyakan pendeta tidak tahu tentang buku itu. Sebagian kecil pendeta tahu, namun belum membeli. Sebagian kecil lagi sudah membeli, namun belum membacanya. Ternyata, jumlah pendeta yang sudah membaca buku itu hanya sedikit.
Pada bagian lain dalam tulisannya, diceritakan bagaimana dimasa mudanya kedua pendeta ini pada akhir tahun1960-an, ketika Pdt. Eka baru menjadi pendeta di Jatinegara dan Pdt. Andar di Samanhudi, tiap Senin mereka berdua bertemu untuk melatih diri membaca dan menulis. Mereka sengaja memilih buku teologi yang sulit lalu mereka saling uji apakah betul sudah mengerti isinya. Konsep teologis yang berat dan susah mereka ubah menjadi yang ringan dan mudah. Tujuannya agar kemudian mereka menghasilkan tulisan yang bisa menumbuhkan dan mendewasakan iman umat. Umat dan pendeta perlu membaca buku bermutu supaya penghayatan iman tidak kerdil dan wawasan iman tidak sempit. Pada akhir tulisannya Pdt. Andar menyatakan bahwa hakikat gereja adalah komunitas yang belajar dan mengajar. Gereja adalah komunitas yang membaca dan menulis.
Jika gereja adalah komunitas yang membaca dan menulis, maka pribadi lepas pribadi yang menjadi warga gereja selayaknya juga adalah pribadi yang membaca dan menulis, dengan demikian umat tidak lagi senantiasa mencari hal-hal yang instan, karena disetiap rumah tangga, anak menyaksikan orang tuanya yang lebih banyak meluangkan waktu membaca daripada menonton sinetron, lebih sering mendengar orang tuanya membicarakan Firman Tuhan daripada "ngerumpuii" para tetangga.
Dalam hal sunagoge berarti rumah belajar, maka Gereja yang kita kenal saat ini sebagai kelanjutan tradisi tersebut selayaknya adalah rumah belajar. Sebagai rumah belajar dapat dipastikan aktivitas yang dilakukan lebih kepada pembangunan karakter dengan menularkan "virus" n-Ach kepada jemaatnya dengan mengajak jemaatnya untuk memiliki mimpi/visi sebagai umat pemenang. Memberi Visi bukan berarti memberi semacam "bius" yang meninabobokkan jemaatnya untuk beranggapan bahwa segala sesuatu masalah akan selesai bila kita berdoa kepada Tuhan yang penuh dengan berkat. Dan juga tidak untuk mengatakan bahwa mujizat adalah kemustahilan. Tetapi yang dimaksud adalah adanya sebuah proses yang akan dilalui dengan berbagai upaya untuk mewujudkan sebuah visi menjadi kenyataan. Upaya yang dilakukan akan serasa indah jika dilakukan dengan penuh suka cita karena dilakukan demi kemuliaan nama Tuhan.
Harapan
Membangun karakter bukanlah pekerjaan mudah dan singkat, namun bukan kemustahilan untuk melakukannya. Jika tidak dimulai sejak dini, yang terjadi adalah penyesalan yang berkepanjangan. Tidak jarang kita menyaksikan seseorang yang sukses dibidang pendidikan namun kurang berhasil dalam meniti karir atau bahkan sulit baginya untuk mendapatkan pekerjaan. IQ yang semula menjadi ukuran utama, saat ini telah dikenal berbagai ukuran lain seperti EQ dan SQ. Kedua ukuran terakhir adalah ukuran-ukuran yang cenderung kepada karakter seseorang. Karakter dipegaruhi banyak hal, namun biarlah Gereja dan Keluarga dapat memberikan kontribusi berarti dalam membentuk "karakter pemengang", caranya mulailah menularkan "virus" n-Ach dengan tidak lupa membagi cerita kepada anak-anak yang masih belia, melailah bercerita dari SEKARANG !. (has300809) Tulisan ini dimuat pada Bulletin Mercu Suar Edisi 14 Oktober 2009.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar