SELAMAT DATANG DI "TEOLOGI KAUMAWAM"

Salam dalam Kasih Tuhan Yesus Kristus. Terimakasih telah mampir di blog yg sederhana ini. Kami sangat berterimakasih bila saudara berkenan memberi tanggapan atas tulisan yang saudara baca di blog ini. Karena dengan tanggapan itu kami akan dapat belajar dan berbagi, sebab untuk itulah blog ini dibuat agar hidup kita tetap terpelihara dalam persekutuan. Semua tulisan dalam blog ini dapat dikutip dengan tetap mencantumkan sumbernya. Kiranya Tuhan Yesus memberkati kita. Pax Vobiscum, Erianto Hasibuan

Rabu, 11 Januari 2012

Hedonisme dalam Natal



Natal saat ini seolah sudah dimiliki secara universal, tidak hanya untuk kalangan umat kristiani, setidaknya dari sisi keramaian yang dihasilkan. Lihat saja pusat perbelanjaan di berbagai kota besar, tanpa peduli itu kota berpenduduk kristiani atau tidak. Bulan November Desember pusat perbelanjaan sudah berhiaskan suasana Natal, apakah itu dengan pohon natalnya ataupun sekedar boneka santa claus.  Untuk kota yang penduduknya di dominasi umat Kristen bahkan sejak bulan Oktober sudah berhias diri.
Natal seolah identik dengan Big Sales, santa claus, dan keramaian lainnya, kalau pun ada hiasan bayi yang disertai bunda Maria dan para gembala, itu hanyalah sebuah patung/hiasan bisu tanpa makna, yang tak dapat bercerita apapun dan alpa memberi makna hadirnya sebuah kesederhanaan dibalik datangnya sang penyelamat.
Bila pergeseran makna Natal hanya terjadi di pusat perbelanjaan tiada yang perlu dirisaukan, tetapi bagaimana bila makna Natal yang demikian juga menjalar memasuki ruang ibadah di gereja ?  
Hedonisme suatu trend
            Hedonisme berasal dari kata latin Hedone yang berarti kesenangan, merupakan istilah teknis yang menunjukkan paham yang mementingkan kesenangan dan kemewahan fisik.  Tokoh pertama yang mengajarkan aliran hedonisme adalah Democritus (400-370 SM), menurutnya kesenangan adalah tujuan utama di dalam kehidupan ini. Walaupun yang dimaksud bukan sebatas kesenangan fisik semata, tetapi kesenangan fisik sebagai alat perangsang bagi berkembangnya intelek manusia. Aristippus (395 SM) yang merupakan pengikut Socrates, mengajarkan bahwa kesenangan merupakan satu-satunya yang ingin dicari manusia. Kesenangan didapat langsung dari pancaindera. Orang yang bijaksana selalu mengusahakan kesenangan sebanyak banyaknya, sebab kesakitan adalah suatu pengalaman yang tidak menyenangkan. Sedang tokoh lain Epicurus (341-270 SM) melihat bahwa kesenangan tidak semata-mata bersifat ragawi, tetapi senang baginya bila tidak adanya rasa sakit dalam raga dan atau tidak adanya kesulitan jiwa. Dia berargumen, jika hanya kesenangan ragawi yang menjadi ukuran, maka hal itu dapat menyebabkan rasa sakit, misalnya  banyak makan enak akan menyebabkan sakit perut.
           
            Di era modern saat ini hedonisme terus berkembang dan menjadi trend, hanya saja, fenomena hedonisme di akhir abad ini sudah sedemikian meluas dan mencolok bila dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya. Hedonisme modern tidak dapat dilepaskan dari perkembangan antroposentrisme dan positivisme pada abad pertengahan sebagai reaksi dari perkembangan hegemoni berkembangnya wilayah akal budi manusia. Diikuti dengan gerakan renaisans, humanisme, dan rasionalisme, bahkan ateismematerialisme yang mencapai puncak pada abad 18 yang dikenal dengan sebutan zaman Aufkl ärung atau Enlightenment. Muncul anggapan bahwa agama menjadi penghambat perkembangan otonomi manusia, muncul paham sekularisme sebagai sumber moral manusia modern.
Perkembangan industrialisasi di Barat seiring dengan revolusi industri berdampak pada hilangnya nilai-nilai tradisional. Secara faktual nilai-nilai tradisional itu adalah nilai agama dan nilai rohaniah. Modernisasi tidak berhenti di negara barat, di negara-negara berkembang akibat proses global yang dialaminya terimbas oleh paham materialisme dan sekularisme, yang pada akhirnya bermuara pada hedonisme.
Saat ini tidak lagi ada batas barat, timur. Cara hidup dan gaya hidup seolah tanpa batas, simak saja trend mode, apa yang hari in menjadi gaya hidup di belahan eropa, serta merta menyebar ke Indonesia dan negara-negara lain.
Demikian juga dengan penyambutan Natal, cerita Santa Claus yang berasal dari Lycia, sebuah propinsi dari Byzantine Anatolia (sekarang Turki) walau tidak banyak orang tahu asal muasal cerita ini, tetapi hampir di seluruh dunia mengenal tokoh ini  walaupun mungkin dengan penyebutan yang berbeda.
Tidak hanya warga kristiani, bahkan non kristiani juga mengenal dan menikmati tokoh Santa Claus dengan berbagai acara yang menghibur saat menjelang Natal di berbagai pusat perbelanjaan. Tokoh Santa Claus menjadi magnit bagi para pebisnis untuk memasarkan produknya menjelang akhir tahun, tentu dengan berbagai potongan harga dan bonus menarik. Bahkan kehadiran sang bayi sebagai sebuah hiasan di pusat perbelanjaan dikalahkan oleh kehadiran sosok Santa Claus.
Tak ayal lagi, Natal identik dengan perayaan dan belanja berbagai kebutuhan dan saatnya untuk menghias dan memanjakan diri dengan berbagai kepuasan, apakah itu dalam berbusana ataukah dalam santapan, karena menu khusus juga tak urung disajikan pada bulan ini. Singkatnya kepuasan ragawi menjadi prioritas pada saat-saat menjelang natal.

Kesederhanaan Natal
            Peristiwa kelahiran Yesus di kandang domba yang terbungkus dengan lampin dan terbaring di dalam palungan  (Luk. 2: 12) tidak terasa begitu dramatis jika kita tidak memahami bagaimana Nubuatan nabi Yesaya akan kelahiran sang Mesias.  Nabi Yesaya menubuatkan akan kelahiran seorang anak yang memiliki kekuasaan luar biasa, karena lambang pemerintahan ada di atas bahunya. Nubuatan ini disampaikan Yesaya pada saat Kerajaan Israel Selatan (Yehuda) dalam keadaan “nyaris” tanpa harapan saat mereka akan diserang oleh kerajaan Asyur yang begitu perkasa. Dalam hitungan apapun saat itu, mereka akan kalah dan menjadi porak poranda serta akan dikuasai oleh bangsa Asyur, mereka segera akan menjadi kerajaan jajahan.
            Pada saat yang demikianlah Nabi Yesaya menubuatkan : “Sebab seorang anak telah lahir untuk kita, seorang putera telah diberikan untuk kita; lambang pemerintahan ada di atas bahunya, dan namanya disebutkan orang: Penasihat Ajaib, Allah yang Perkasa, Bapa yang Kekal, Raja Damai”. (Yes. 9:5) Bayangkan bagaimana besarnya seorang putera yang akan lahir tersebut.  Selayaknyalah Ia lahir ditengah soraksorai kemewahan dan penghormatan besar karena kekuasaannya dan harapan yang dibawanya pada bangsa yang sedang kehilangan harapan.  Tetapi apa yang terjadi, secara lahiriah Ia hanya lahir di kandang domba, yang penuh dengan kesederhanaan dan kemiskinan. Sangat dramatis seorang juru selamat lahir dalam kehinaan. Tentu kelahirannya tidak masuk dalam hitungan manusia. Apalagi mereka yang menganut hedonisme, apa enaknya lahir di kandang domba? Siapa yang mau menjadi pengikut Dia yang lahir saja sudah ditengah kemiskinan dan kesusahan ragawi ? 
            Kaum pengikut hedonisme yang menjadikan kesenangan sebagai tujuan hidupnya, sudah barang tentu enggan “melirik” peristiwa kelahiran itu, karena peristiwa itu justru tidak memberikan kesenangan ragawi. Simak saja saat Yesus akan dilahirkan, sudah ada penolakan dengan  tidak tersedianya penginapan bagi sang bayi, sehingga akhirnya dilahirkan  di kandang domba.

Makna Natal : Kesukaan Besar bagi Semua
            Mari kita simak kembali bagaimana kabar yang dibawakan malaikat saat kelahiran Yesus: “sesungguhnya aku memberitakan kepadamu kesukaan besar untuk seluruh bangsa (Luk. 2: 10b)  Jelas bahwa kabar kelahirannya memberikan kesukaan besar bagi seluruh bangsa. Ini sejalan dengan nubuatan nabi Yesaya yang menyatakan bahwa Bangsa yang berjalan di dalam kegelapan telah melihat terang yang besar (Yes. 9:1a). Artinya, kelahiran Yesus selain membawa keselamatan, juga memberikan kesukaan besar bagi siapa saja, bukan hanya bagi golongan tertentu. Demikian juga saat bangsa Israel pada masanya berjalan di dalam kegelapan, meraka melihat terang yang besar. Secercah terang bagi mereka yang sedang mengalami kegelapan sudah merupakan hal yang menakjubkan, apalagi lagi terang yang besar, artinya terang yang dapat dinikmati oleh orang banyak.
            Bagaimana perayaan Natal yang kita lakukan, masikah menyisakan hadirnya kesukaan besar bagi seluruh bangsa, atau setidaknya bagi orang disekitar kita? Ataukah Natal hanya sekedar perayaan yang menjadi pemuas berbagai kebutuhan kita? THR yang kita terima sebagai tambahan penghasilan sekaligus meningkatan daya beli kita?.  Pakaian, hiasan ekslusif dan menu mewah ? Apakah porsi besar anggaran panitia Natal masih tetap saja jatuh pada pos konsumsi dan urusan raga lainnya ?
Penulis bukan anti perayaan natal, tetapi mari kita mencoba mengembalikan makna natal kepada semangat awal kehadiran natal. Penulis tidak bermaksud mengatakan bahwa natal selayaknya tanpa konsumsi, tetapi yang menjadi pokok adalah : mari kita lihat kembali apakah hedonism yang tidak sesuai dengan iman Kristen justru (kita biarkan – red) masuk dalam perayaan Natal yang kita lakukan ?
           
Harapan
            Perayaan natal selalu menjadi saat yang dinantikan, dengan berbagai persepsi masing-masing. Sebagai umat Kristen, selayaknya kita tidak menantikannya karena kesenangan ragawi yang akan kita puaskan pada saat menyambut maupun merayakannya. Karena jika demikian kita tidak lebih seperti laiknya penganut hedonisme.
Menyambut dab merayakan Natal dengan segala yang “wah” dan eksklusif untuk diri sendiri membuat tembok pemisah baru antara kita dan orang lain. Sementara kesukaran besar Natal sesungguhnya berfokus pada orang-orang disekitar kita yang belum dapat melihat terang itu karena berbagai keterbatasan.  Kesukaan besar Natal bukan terletak pada kenikmatan ragawi diri sendiri seperti yang ditawarkan oleh pelaku bisnis melalui kehadiran santa claus. Kesukaan besar Natal semestinya terjadi karena kehadiran Sang Bayi yang memberi harapan bagi mereka yang kehilangan asa, menghadirkan damai bagi orang-orang disekitar kita, utamanya mereka yang ada di ruang gereja tempat kita merayakan natal bersama.
Jika melalui natal, kita dapat dipersatukan setidaknya pada pengakuan akan hari dan perayaan yang sama, setidaknya peristiwa tersebut tidak digunakan untuk mengeliminir batas-batas yang ada di antara individu, antar jemaat dan antar sekat-sekat lain yang kita ciptakan sendiri.
Perubahan secara radikan tentu akan membuat gejolak dan hadirnya resistensi, untuk itu yang perlu ditekankan adalah pemaknaan baru dari kehadiran natal, pesan hakiki dari sebuah natal yang meberikan kesukaan besar bagi semua bangsa. Nilai dan makna itu yang selayaknya menjadi porsi terbesar dari natal.

Makna baru natal seyogianya membuat kita dapat merasakan kesukaan besar dan menghadirkan kesukaan bagi orang disekitar kita. Itulah makna kebahagiaan yang melampui kebahagiaan fana. Jaulah kiranya mengejar kenikmatan ragawi yang dalam Natal. Kita bukan penganut Hedonisme, kita adalah pengikut Kristus. Selamat Natal, Damai Besertamu (Pax Vobiscum) erh22112011 Tulisan Ini dimuat dlam Buletin Mercusuar Edisi 23 Desember 2011
             

Tidak ada komentar: