Oleh : P. Erianto Hasibuan, M. Div
Pagi
tadi saat mengikuti kebaktian di gereja, hati ini terusik saat menyaksikan
seorang bapak paruh baya yang duduk di sebelah. Entah karena sibuknya si bapak,
ia ke gereja dengan bekal dua gadget dan satu tablet. Sejak awal kebaktian ia
sudah disibukkan dengan kedua gadgetnya dan satu tablet saat mulai kotbah.
Entah sepenting apa aktivitasnya hingga ia sibuk mengirimkan pesan secara
bergantian dari gadget yang satu ke yang lain.
Mungkin
pemandangan seperti ini banyak ditemukan di tempat lain. Tetapi peristiwa itu
menjadi inspirasi penulis untuk menulisan karena kebetulan kotabah di mimbar tadi
berkaitan dengan peristiwa Marta dan Maria. (Luk. 10 : 38-42)
Ada
benarnya apa yang banyak dibicarakan orang menyangkut kehadiran smart phone akhir-akhir ini, apakah itu
HP, BB, iPhone, iPad, Tablet dan apapun jenis dan namanya yaitu “menjauhkan yang dekat dan mendekatkan yang
jauh”. Sudah lazim melihat sebuah
keluarga duduk di rumah makan sambil menunggu pesanan, tetapi tidak satu pun
dari mereka yang berkomunikasi satu sama lain, tetapi masing-masing tertunduk
menatap gadgetnya dengan serius sambil tersenyum sendiri. Padahal semula tujuan
mereka makan ke luar bukan semata karena tidak ada makanan di rumah, tetapi untuk “wisata
kuliner” dan menjalin keakraban, karena sepanjang hari bahkan minggu
masing-masing telah disibukkan oleh urusan masing-masing. Sayangnya, makna kebersamaannya hilang karena
di renggut oleh kehadiran gadget yang lebih memesona dibandingkan dengan
keakraban “live” tiap individu.
Tak
ayal lagi dengan si bapak di sebelah
penulis, dia memang ke gereja untuk memuji dan memuliakan Nama Tuhan.
Secara fisik yah, tetapi apakah dia memberi waktu dan hatinya pada hadirat
Tuhan yang tidak lebih dari dua jam ?
Itulah yang dilakukan Marta, saat Yesus mampir ke rumahnya, ia sibuk dgn
urusan yang dia anggap penting bagi Tuhan, tanpa pernah bertanya “apakah yang Tuhan ingin aku lakukan buat
Tuhan?”
Saat
ia merasa tidak diperhatikan oleh Tuhan Yesus, sementara kelelahan melingkupi
dirinya, ia mulai protes kepada Tuhan.
Protes tanda kecemburuan mulai hadir saat ia mempersalahkan saudaranya
Maria yang hanya duduk manis di dekat Yesus. Mari kita lihat lebih jauh produk
karakter Marta. Orang banyak akan melihat Marta adalah orang yang dekat dengan
Yesus dan mengenal Yesus dengan baik, karena Tuhan kerap mampir di rumahnya.
Tetapi sesungguhnya Marta tidak mengenal Yesus dengan baik, perhatikan saat
saudaranya Lazarus meninggal dunia dan Yesus datang, keraguan Marta mempertegas
“aku tahu bahwa ia akan bangkit pada
waktu orang-orang bangkit pada akhir zaman” (Yoh. 11:24b).
Marta
ternyata tidak mengenal Yesus dengan baik, walaupun ia kerap ada di mana Yesus
ada. Ia hadir tetapi tidak memberi hatinya, ia ada tetapi seolah tiada. Berapa
banyak kita memberi waktu “untuk Tuhan” menurut pemikiran kita, bukan menurut
Tuhan. Kita mungkin menghabiskan waktu berjam-jam untuk melayani dan bekerja
untuk aktivitas gerejawi atau rohani, tetapi kita melupakan memberikan hati dan
telinga kita buat mendengar apa yang Tuhan mau kita lakukan.
Saat
kita lelah dan harapan-harapan kita tidak tergapai, kita mulai memprotes Tuhan
seperti Marta mempersalahkan saudaranya Maria yang duduk saja. Kita mulai
memperbandingkan diri kita dengan orang lain yang “kelihatannya” tidak seaktif
kita di gereja atau aktivitas lainnya. Pada hal sesungguhnya Tuhan justru
menertawakan kita, sebagai mana Yesus menjawab Marta : “Marta, Marta, Engkau kuatir dan menyusahkan diri dengan banyak
perkara, tetapi hanya satu yang perlu :
Maria telah memilih bagian yang terbaik, yang tidak akan diambil daripadanya.” (Luk.
10: 41b-42)
Masih
adakah waktu untuk Tuhan? Bukan dimaksudkan untuk menghitung kuantitas semata,
tetapi kualitas. Saat kita menyatakan bahwa waktu ini untuk Tuhan di Gereja,
Kebaktian Rumah Tangga, PA dan apapun itu, biarlah itu seratus persen untuk
Tuhan. Jika Gadget membuat hatimu
terpaut tinggalkanlah itu, tidak sekedar silent.
Jika kebaktian Rumah tangga atau PA dimulai, lupakanalah seluruh aktivitas yang
lain, ikutilah dengan baik, jika memang belum siap lebih baik kita tunda. Anak
kecil sekalipun harus dididik untuk memberi waktu untuk Tuhan secara utuh.
Bukan hanya kehadiran semata tanpa makna dan pemahaman.
Semoga tidak perlu lagi ada
tulisan di gereja sebelum ibadah untuk menonaktifkan HP atau sejenisnya, karena
seluruh jemaat telah “mengharamkannya” untuk ikut ibadah bersamanya. erh-bth, 21072013.
1 komentar:
Terimakasih Pak EH
Ya benar sekali, melalui karakter Marta ini anak2 Tuhan ditegur setidaknya dalam dua hal:
1. Banyak anak Tuhan merasa sudah melayani dengan berbuat berbagai hal, bahkan menuduh orang lain tidak berbuat apa2 dan menganggap dialah yg paling benar. Bahkan Marta telah berani memerintah Tuhan untuk menegur Maria. Kitapun sering dalam doa kita, kita mengucapkan doa yg memerintah Tuhan berbuat sesuatu. Marta lupa yg dikerjakannya itu sanggup disediakan Tuhan jika memang perlu.
2. Hal kedua, Marta sangat khawatir akan banyak perkara duniawi ini, sehingga menyusahkannnya sendiri. Kita juga sering sangat khawatir tentang hidup ini. Apa yg harus kita buat untuk menyongsong masa depan. Khawatir dengan usaha kita, khawatir dengan persiapan anak kita, dll, dll. Percuma rasanya kita mempunyai Tuhan yg sanggup mengubah seluruh yg kelihatannya mustahil menjadi kenyataan. Oleh sebab itu, ketika kita datang kepada Tuhan percayakan saja segala sesuatu tentang hidup kita kepada Tuhan, yg perlu hanya datang mendengarkan Dia dan berbincang dari hati ke hati.
LUAR BIASA SEKALI TUHAN KITA. JBU.
Posting Komentar